4. Kelvin Hardinata
Aku menatap pantulan diriku di cermin. Kemeja biru dongker melekat sempurna di tubuh tegapku, aku tersenyum puas. Malam ini aku akan menemuinya, lagi.
Aku lelaki yang pantang menyerah, bukan?
Haha, tentu saja. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja.
Sudah sekian lama aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan, dan kini ... akhirnya aku bisa lebih dekat lagi dengannya tanpa halangan. Bukankah itu suatu berkah?
Sebenarnya aku merasa sakit—yah, sedikit—saat Clarissa menolakku terang-terangan kemarin. Tapi, hal itu tidak membuat nyaliku menciut, justru itu membuatku lebih bersemangat. Aku harus berusaha lebih keras lagi. Aku suka tantangan.
"Kelvin ... turun, Nak. Kita makan malam bersama." Suara panggilan Mama dari bawah menyadarkanku. Kulihat sekali lagi penampilanku di cermin sebelum akhirnya melangkah keluar.
***
Aku melangkah pelan menuju ruang makan sembari bersiul kecil. Tak lama, atensiku menemukan sosok Papa dan Mama yang sudah menduduki kursinya masing-masing. Kulangkahkan kakiku menuju kursi kosong di sebelah Mama.
Setelah duduk, ku ambil segala masakan menggugah selera yang tersaji di atas meja. Namun, saat satu suapan menuju mulutku, Mama menghentikanku.
"Eits, berdoa dulu," ucap Mama, mengingatkan. Ia menyatukan kedua telapak tangan, menyuruhku berdoa sebelum makan.
Aku hanya tersenyum kikuk melihatnya, sebab cacing di dalam perutku sudah berdemo meminta makan sedari tadi. Sedangkan Papa hanya tersenyum geli menatapku.
Kukatupkan kedua telapak tanganku, kemudian memejamkan mata, berdoa. "Selamat makan," ucapku selanjutnya.
"Kau rapi sekali, Vin. Mau ke mana lagi?"
Aku menghentikan pergerakan tanganku setelah mendengarkan pertanyaan Papa.
"Ke rumah Paman Dedi, Pa," jawabku. Dedi Wibowo adalah nama ayah Clarissa.
"Menemui Clarissa lagi?" kali ini Mama yang bertanya.
"Iya."
Papa terlihat menggeleng dengan kekehan ringan. "Belum menyerah juga anak ini."
"Aku sedang berusaha, Pa. Doakan ya." Aku tersenyum ketika berkata. Setahuku, Papa juga menyukai Clarissa.
Maksudku di sini, menyukai dalam artian seperti Ayah terhadap anaknya, tidak lebih. Papaku bukanlah seorang pedofil, lagi pula ia sangat mencintai Mama.
"Vin, bolehkah Mama bertanya sesuatu?"
Kutolehkan kepalaku menatap Mama. Ia meletakkan alat makannya, kemudian melipat kedua lengan di atas meja. Ah, sepertinya ia sedang serius.
Mata Mama menyipit ketika pandangan kami saling bertemu. "Kau ... benar-benar menyukai anak Si Dedi itu?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja. Memangnya kenapa, Ma?"
Mama menatapku penuh arti sebelum berbicara. Sepertinya ia sedikit ragu?
"Kau masih muda, Nak. Mama tahu banyak gadis di luar sana yang menyukaimu. Apa ... kau tidak mau memikirkannya sekali lagi?"
Dan dadaku seakan tercubit mendengarnya. Mungkinkah ....
"Mama tidak menyukai Clarissa?"
Ia tersenyum menatapku. Namun, sedikit banyak aku mengerti jika senyuman itu tak berasal dari hati. "Bukan seperti itu, Vin ...."
"Karena Clarissa janda?" tanyaku, lagi.
Mama terlihat menghembuskan napas berat sebelum kembali berucap. "Kau tahu sendiri status Clarissa seperti apa. Kau juga sudah tahu kalau Clarissa pernah hamil anak lelaki lain. Kau ... tidak masalah dengan semua itu? Dengan masa lalunya?" Mama menatap menyelidik ke dalam kedua mataku. Seolah sedang menelanjangi isi kepalaku.
"Tidak masalah. Aku mencintainya dari hati, bukan dari masa lalu." Aku sedikit menjeda ucapanku, hanya sekedar untuk memberikan tatapan penuh keyakinan pada kedua iris legam Mama. "Yang terpenting ia mau berubah, Ma. Lagi pula aku sudah mencintainya jauh sebelum kejadian itu."
Entah kenapa aku merasa sedikit kesal. Apa salahnya status janda? Itu pun bukan kemauan Clarissa!
Bukankah setiap manusia pasti menginginkan rumah tangganya terjalin selamanya dan penuh bahagia, bukan? Dan Clarissa tentu termasuk di dalamnya.
Yah, meskipun aku merasa 'sedikit' senang ketika rumah tangganya bersama Arshaka berakhir dengan perceraian.
Kulihat Mama menghela napas panjang, sepertinya ia sama kesalnya denganku.
"Maksud Mamamu baik, Nak," ucap Papa, menengahi. "Mama ingin kau mendapatkan yang terbaik. Tapi, jika kau sudah yakin bahwa Clarissa lah yang terbaik untukmu, maka berjuanglah. Papa yakin tidak akan mudah untuk mendapatkannya. Bukan begitu, Ma?" Papa menatap Mama, meminta pembenaran.
"Yang terpenting kau harus menomor satukan pendidikanmu dulu. Kau masih sangat muda, Kelvin—baru dua puluh satu tahun. Nikmatilah dulu masa mudamu. Mama belum menginginkan seorang cucu! Lagi pula kan kau belum bekerja."
Perkataan terakhir Mama sukses menusuk jantungku.
"Kau dengar? Lagi pula belum tentu Clarissa mau denganmu," timpal Papa. Ia terkekeh, seakan mengejekku.
"Terima kasih atas doanya, Pa!" aku tersenyum masam padanya. Sedangkan Papa hanya mengangkat kedua bahunya acuh.
"Jika kau memang berniat menikah muda, mulai sekarang persiapkan dirimu sebaik mungkin untuk menggantikan posisi Papa memimpin perusahaan. Papa akan merasa senang jika bisa pensiun di usia yang masih terbilang cukup muda ini," ucap Papa dengan kekehan di setiap katanya.
"Ya sudah. Lanjutkan makanmu."
***
Dan akhirnya aku berada di sini sekarang, duduk di kursi ruang tamu Clarissa. Akhirnya aku melihatnya lagi, dan aku bersyukur ia masih mau menemuiku setelah perdebatan kami di taman waktu itu.
Ku keluarkan sebatang coklat berbungkus pink dari saku kemejaku, kemudian ku ulurkan padanya. "Untukmu."
Ia menatap jengah padaku. "Kau berencana membuatku gendut?!"
Aku hanya menaikkan kedua bahuku. "Jika dengan itu bisa membuat lelaki lain tidak melirikmu, seperti boleh juga."
Kuletakkan sebatang coklat itu ke atas meja, karena Clarissa tak juga menerimanya.
"Dasar kau! Untuk apa kau ke sini?" tanyanya, tanpa minat.
Aku menarik napas panjang. Sepertinya aku harus menambah stok kesabaran saat menghadapinya.
"Kau masih marah?" aku tak menjawab pertanyaannya, justru balik bertanya padanya.
Sebenarnya aku tak bisa tidur dengan nyenyak semenjak hari itu. Ditolak itu sakit! Aku mengakuinya sekarang.
Tapi, setelah ku pikir lagi, Clarissa memang melakukan hal yang wajar. Aku pun akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya; ia sedang berusaha melindungi hatinya agar tak kembali terluka.
"Untuk apa aku marah?" dan ia pun sama, balik bertanya.
Yah, sepertinya aku memang harus mengalah sekarang. Namun, bukan berarti aku menyerah! Hanya saja aku tak ingin berdebat dengannya.
"Untuk yang kemarin, aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan membahas hal itu lagi, asal kau tidak mengusirku. Bagaimana?"
'Ya, aku tidak akan memaksamu. Aku akan menunggu sampai kau benar-benar siap membuka hatimu untukku.'
Kulihat ia hanya diam menatapku.
"Ah, sebagai gantinya ... maukah kau menjadi temanku?"
Yah, mungkin untuk saat ini kami sebaiknya hanya berteman. Setidaknya dengan begitu ia akan dengan mudah menerimaku berada di sekitarnya.
"Baiklah. Kita berteman." Akhirnya ia menjawab.
Dan sungguh, dengan begitu saja aku sudah merasa bahagia. Tak terasa bibirku mencipta kurva senyuman.
Aku membetulkan posisi dudukku sebelum memulai mengganti bahan obrolan. "Ah ... jadi, bagaimana rencanamu ke depan, Cha? Kau akan kuliah?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
"Sepertinya begitu. Aku harus menata hidupku mulai dari awal sekarang. Yah, meskipun agak terlambat," ungkapnya. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa setelahnya.
"Tidak ada kata terlambat, Cha. Kau bahkan setahun lebih muda dariku. Jika kau butuh, aku akan membantumu."
"Terima kasih."
Dan hatiku berdesir menyenangkan saat mendengar ucapan 'terima kasih' yang keluar dari bibir Clarissa untuk yang pertama kalinya.
***
Bersambung...
