3. Clarissa Putri Almashyra
Air yang menyembur dari selang yang ada di tangan kananku mengalir deras. Kedua mataku terpaku menatapnya, kemudian menatap bunga beraneka warna di hadapanku. Aku menghela napas panjang.
Sejujurnya aku kehilangan minat untuk melakukan apa pun. Jika bisa, aku ingin mengurung diri di dalam kamar saja. Tapi, demi ibuku, aku harus tetap hidup seperti apa katanya.
Entahlah, aku harus hidup untuk apa? Sedangkan yang ku rasakan saat ini hanya hampa.
Kata ibuku, hanya diriku sendirilah yang mampu menyembuhkan luka hatiku. Tapi, sepertinya itu memerlukan waktu yang panjang.
Ku arahkan selang air ini ke sana-kemari agar bunga yang ku tanam ini tersiram merata.
Dulu, sebelum menikah dan pindah ke rumah mantan suamiku, kegiatan inilah yang menjadi kegiatan favoritku. Biasanya aku akan menyelinginya dengan bernyanyi.
Taman bunga ini masih terlihat sama, warna warni bunga itu masih terlihat sama. Aku, hanya akulah yang berbeda.
"Selamat pagi, Cha ...." Suara maskulin tiba-tiba saja terdengar dari arah belakang tubuhku, membuatku mau tak mau harus menghentikan gerakan tanganku—sekedar untuk menoleh kearahnya.
Dan aku mendesah lelah.
Lelaki itu lagi.
"Mau apa kau datang kemari?" tanyaku ketus. Entah kenapa aku sangat tidak ingin bertemu dengannya, apa lagi setelah kejadian kemarin malam.
Jangan bilang ia serius dengan ucapannya!
Lelaki itu—Kelvin tersenyum ke arahku sebelum menjawabnya.
"Aku hanya—"
"Ah, Nak Kelvin ... kau berkunjung di waktu yang tepat, Bibi memasak risol mayo tadi. Masuklah, Nak." Sebelum lelaki itu sempat menjawab pertanyaanku, Ayahku—yang ternyata sudah berada di belakangku—sudah memotong perkataannya. Ku lihat lelaki itu tersenyum pada Ayahku.
"Ah, iya. Selamat pagi, Paman," sapanya.
"Pagi juga. Ayo, masuk," balas Ayahku. Kemudian dengan gestur tangan, ia mengajak Kelvin mengikutinya.
Namun, sebelum itu Kelvin menyempatkan diri mendekatiku. Tangan kanannya merogoh sesuatu dari kantong kemejanya, kemudian mengulurkan benda berbentuk persegi panjang berbungkus pink itu padaku. Ia kembali tersenyum.
"Ini untukmu, Cha. Ku dengar coklat mengandung zat yang dapat membuat seseorang merasa bahagia jika memakannya," ucapnya. Aku hanya menatap benda itu—yang ternyata adalah coklat.
Entahlah, tiba-tiba saja hatiku merasa sedikit ... menghangat?
Aku merasa sedikit dipedulikan. Dan seketika itu alarm tanda bahaya muncul di kepalaku.
'Tidak!'
'Kau tidak boleh jatuh padanya! Atau kau akan terluka sekali lagi!'
'Sekali kau luluh, maka kau akan tamat!'
'Dia lelaki, Cha! Dia sama seperti Shaka!'
Di tengah perdebatan batinku, kurasakan tangan kiri Kelvin meraih tangan kananku, hal yang membuatku sedikit terkejut. Kemudian ia menggenggamkan coklat yang ia bawa tadi ke dalam telapak tanganku.
"Makanlah," ucapnya dengan senyuman. Kemudian ia melangkah pergi mengikuti langkah Ayah, masuk ke dalam rumah.
Sedangkan aku hanya terdiam, menatap kosong pada sebatang coklat yang kini dalam genggaman tanganku. Sebelum—
"Cha ... buatkan minum." Ayahku memanggilku dari dalam rumah, membuyarkan lamunanku.
***
"Kau sedang membaca apa?"
Aku terkesiap saat suara itu memasuki gendang telingaku. Aku memejamkan mata dengan kesal saat menyadari Kelvin sudah berdiri di samping ayunan yang ku duduki.
Hahh ... lelaki itu lagi.
Sebenarnya apa sih maunya?!
"Kau bisa melihatnya sendiri," jawabku acuh, kemudian kembali meneruskan membaca novel yang saat ini ku bawa.
"Serius sekali," ucapnya.
Aku hanya diam, tak menanggapi.
"Kau ... tidak bosan seharian di rumah?" tanyanya lagi.
"Tidak," jawabku singkat tanpa melirik sedikit pun ke arahnya.
"Hmm ... bagaimana kalau kita jalan-jalan ke taman sekarang? Ini hari minggu dan cuaca pagi ini sangat cerah. Lagi pula kau sepertinya butuh refreshing," tawarnya.
Mana mungkin aku mau?!
"Tidak, kau pergi saja dengan kekasihmu."
"Pergilah. Yang dikatakan Nak Kelvin ada benarnya, Cha." Namun, ibuku yang baru saja datang dari pintu besar bercat coklat itu menimpali.
Wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu mendekatiku kemudian mengusap lembut rambut panjangku, seakan menyuruhku mengikuti ajakan lelaki tampan yang saat ini tersenyum menang.
Sebenarnya aku malas keluar rumah, tapi—
"Bagaimana?" Kelvin kembali bertanya dengan penuh harapan.
Aku memejamkan mata, kemudian mendesah kasar sebelum menjawabnya.
"Baiklah." dengan berat hati aku mengiyakannya.
***
Taman kota pada hari minggu memang terlihat ramai. Banyak muda-mudi, pasangan suami-istri, atau bahkan sekelompok keluarga mengisi berbagai sudut taman ini. Ada yang hanya sekadar berjalan-jalan santai, ada juga yang menggelar tikar—berpiknik. Aku mengedarkan pandanganku pada sekitar, sembari sesekali menghirup udara pagi yang segar.
"Kau sering pergi ke taman ini?" tanyanya saat kami berjalan beriringan melintasi jalan paving taman. Pohon-pohon rindang memayungi setiap langkah.
"Tidak," jawabku, singkat.
"Atau ... kau sering jalan pagi?" tanyanya lagi.
"Tidak."
"Kau hemat bicara sekali ya, Cha?" ia terkekeh. "Bilang 'tidak' sekali lagi maka kau akan mendapatkan piring cantik," lanjutnya. Aku tahu ia mencoba bercanda, hanya saja aku malas meladeninya. Aku sedang tidak berselera.
"Tidak." Kembali aku menjawab untuk yang ke tiga kali. Tanpa ekspresi.
"Astaga! Apakah aku harus membeli piring cantik untukmu sekarang?" ia kembali terkekeh di setiap katanya. Sepertinya ia berusaha sekali membuat lelucon garing.
"Bercandamu tidak lucu sama sekali, Kelvin."
"Haha." Dan ia tertawa sumbang.
Ia menghentikan langkah kakinya sejenak, kedua matanya menelusuri setiap jengkel taman yang luas ini kemudian ia menunjuk salah satu kursi taman yang kosong, di bawah pohon yang rindang.
"Baiklah. Kita duduk di sana saja. Kau sepertinya sudah lelah," ucapnya.
Aku hanya mengikuti langkahnya, kemudian menduduki kursi itu, tepat di samping Kelvin.
"Kau haus? Mau ku belikan minum?" tawarnya.
"Tidak usah."
"Baiklah. Aku menyerah." Ia mengangkat kedua tangannya lurus ke atas—tanda menyerah—saat mengatakannya. Namun, bibir lelaki itu justru menciptakan sebuah senyuman.
Aku tidak mengerti apa maksudnya? Apakah itu berarti ia sudah benar-benar 'menyerah' lalu pergi?
Aku harap begitu.
"Aku ini sangat membosankan. Kau tidak bosan?" tanyaku tanpa memandang ke arahnya.
"Aku tidak akan pernah bosan padamu, Cha." Ia menjawab cepat, kemudian memberikan senyumannya padaku sebelum akhirnya menengadahkan kepala, menatap langit biru yang cerah. "Aku tahu, saat ini kau sedang membuat jarak dariku. Aku paham, kau baru saja dikecewakan, wajar saja kau menjauh saat ada lelaki lain mendekat."
"Jika kau sudah tahu, kenapa kau tidak menjauh saja lalu pergi?!"
Ia menoleh ke arahku. "Mana mungkin aku akan pergi? Aku ingin bersamamu."
"Tapi aku tidak. Kau mau apa?" aku balas menatapnya.
"Aku akan berusaha. Aku ingin mengembalikan keceriaanmu dulu, Clarissa. Karena ... aku mencintaimu," ungkapnnya.
Sedikit pun tiada desiran aneh di dadaku saat Kelvin mengatakan cinta.
Ah, hatiku memang sudah mati.
"Tapi aku tid—"
"Tidak perlu kau jawab. Aku sudah tahu jawabannya." Ia memotong perkataanku. "Mungkin hari ini kau belum mencintaiku, tapi suatu saat nanti ... mungkin kau akan membalas perasaanku padamu," lanjutnya, membalas tatapanku.
Aku hanya mampu menatapnya dalam diam.
"Aku berjanji. Aku tak akan pernah melakukan hal sekecil apa pun yang akan menyakitimu." Ia kembali berucap.
Aku masih tetap diam mendengarkan, tanpa menanggapinya sama sekali. Semua kata dari mulut lelaki hanyalah bullshit.
"Mungkin ini terlalu dini, tapi lamaranku kemarin malam itu serius."
Ah, aku mulai muak!
"Hentikan omong kosong ini!" bentakku. Ku tatap tajam kedua mata sehitam jelaganya. "Kau ... jangan pernah berharap padaku, Kelvin. Karena itu hanya akan menjadi sia-sia. Hatiku telah mati."
Dengan cepat aku bangkit dari posisi dudukku kemudian melangkah cepat meninggalkan Kelvin sendirian. Lelaki itu saat ini tak bergerak sedikit pun dari posisinya.
Persetan dengan apa yang ia ungkapkan barusan!
Aku tak akan kembali percaya!
Aku tak ingin kembali jatuh ke lubang yang sama!
"Selamat tinggal."
***
Bersambung...
