Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Kelvin Hardinata

Embusan semilir angin malam itu menerbangkan beberapa helai rambut sewarna gelap malam milik Clarissa. Aku terpaku, tanpa sadar terpana menatapnya. Meskipun penampilan wanita itu berantakan, namun tetap saja kecantikan masih terpancar di wajahnya.

Aku masih saja menatapnya yang saat ini terduduk di kursi kayu di sebelahku, di teras rumah menghadap kebun bunga cantik yang aku yakin Clarissa sendiri yang menanamnya—ia suka berkebun. Pandangan wanita itu kosong menatap hampa ke depan, aku meneliti setiap gurat kesedihan di wajah tirus itu, dan hati ini sedikit lega. Setidaknya ia tidak terluka setelah kejadian kemarin malam.

Clarissa Putri Almashyra .... wanita yang saat ini duduk di kursi sebelahku ini, aku mencintainya, sangat.

Meskipun, yah ... sepertinya aku tak pernah terlihat di matanya.

Dia dulu adalah gadis yang ceria, gadis yang terlihat sangat lucu dengan segala tingkahnya di mataku. Dia gadis yang baik, suka menolong, dan hal-hal baik lainnya. Dia ... sempurna.

Entah apa yang membuatku jatuh cinta padanya? Yang ku tahu, saat pertama kali aku melihatnya, jantungku ini berdetak tak beraturan, wajahku pun memanas di saat yang bersamaan.

Sejak saat itu, wajah imutnya selalu mampir di setiap mimpi indah di malamku. Dan jujur saja, bahkan ia beberapa kali hadir dalam mimpi erotis-ku.

Ya, aku memang segila itu padanya.

Bukankah itu yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?

Ku rasa begitu.

Dan aku merindukan dirinya yang seperti dulu—tersenyum lepas dan bahagia.

Sejujurnya aku tak tahu harus merasa senang atau sedih saat tahu bahwa wanita yang amat ku cintai ini berpisah dari Arshaka; mantan suaminya sekaligus sahabatku. Aku sakit saat melihat keadaannya yang seperti ini, namun di balik itu semua ... mungkinkah ini kesempatan yang Tuhan berikan untukku? Untuk memilikinya?

Yah, selama ini aku memang selalu mengawasinya dari jauh, menatap setiap gerak-geriknya dari radius yang tak dapat ku jangkau dengan kedua tangan. Apalagi orang tuaku sangat dekat dengan kedua orang tua Clarissa. Jadi, sangat mudah bagiku untuk tahu segala kabar darinya.

"Jadi?" pertanyaan wanita itu yang tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan panjang.

Aku tersenyum kikuk. "Ah, bagaimana keadaanmu?" tanyaku.

"Kau bisa melihatnya sendiri," jawab Clarissa tanpa menatapku. Suaranya datar dan lirih, tak bersemangat sama sekali.

Aku kembali menatap dirinya, rambutnya terlihat acak-acakan, kantung mata terlihat jelas pada wajah pucatnya, bekas lelehan air mata masih mampu ku tangkap oleh kedua mataku. Aku tersenyum miris.

Bagaimana bisa terlihat baik-baik saja dengan penampilan yang seperti itu? Dengan gaun terusan warna putih gading selutut berlengan panjang yang melekat di tubuh ramping itu, bahkan dirinya terlihat seperti ... Kunti?

"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan, kau boleh pergi," ucap wanita itu, mungkin karena aku hanya terdiam menatapnya seperti orang bodoh. Ah, aku terlalu bingung harus mengatakan apa!

"Tunggu, Cha." Aku berucap cepat saat ku lihat Clarissa hendak beranjak dari posisi duduknya. "Ada sedikit yang ingin ku katakan."

"Aku lelah ...." Ia kembali ke posisi duduknya, tanpa menatap ke arahku. "Jika yang kau inginkan adalah ucapan terima kasih dariku, maka kau tidak akan pernah mendapatkannya."

"Bukan seperti itu, Cha." Aku kembali berucap cepat, memotong ucapannya. Aku jelas tahu, dia memang tak menginginkan pertolonganku waktu itu.

"Lalu?" kali ini ia menoleh ke arahku. Ia memang terlihat kelelahan. "Aku lelah ... aku ingin tidur. Jadi tolong bicara lalu pergilah," lanjutnya. Aku tahu ia tak menginginkan kehadiranku.

Sebenarnya aku juga bingung harus membicarakan apa. Aku hanya ingin melihatnya saja. Aku hanya ingin bersamanya lebih lama lagi. Dengan begitu, kekhawatiran yang selalu bercokol dalam dadaku ini bisa sedikit berkurang.

"Ah ya, kau sudah mengingatku?" sumpah! Pertanyaan apa ini?!

Ku lihat Clarissa mengerutkan kening mulusnya kala mata indah itu pada akhirnya menatapku.

Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. "Aku Kelvin. Kakak seniormu, teman sekelas—errr mantan suamimu jika kau lupa," tambahku. Aku kembali menggaruk tengkukku, merasa kikuk.

Dia mengangguk, kemudian menoleh ke arahku, kembali menatap wajahku. Ku harap aku terlihat tampan di matanya. Entahlah ... dia benar mengingatku atau hanya supaya aku cepat pergi dari sini.

"Bolehkah aku bertanya suatu hal padamu?" tanyanya kemudian.

"Tentu saja."

Ia menatap tepat ke arah mataku dengan kedua matanya yang sembab, seakan menelanjangi isi kepalaku. "Kenapa kau menolongku? Ah, tidak. Kenapa kau menghentikan ku?"

Dan jantungku mulai berdetak lebih cepat setelah mendengar pertanyaan yang meluncur dari bibirnya.

Apakah aku harus berkata bahwa aku mencintainya?

"Karena ... aku peduli padamu," jawabku pada akhirnya.

"Untuk apa kau peduli padaku? Kau bukan siapa-siapaku." Suara itu terdengar datar, namun menusuk tepat ke dalam hatiku.

Dia benar, aku bukan siapa-siapa baginya.

"Karena—"

"Kau melakukan kesalahan, Kelvin. Hidupku sudah hancur!" sebelum aku meneruskan ucapanku, Clarissa memotongnya cepat. Satu tetes air mata ku lihat meluncur dari kedua matanya.

Aku hanya terdiam, aku tahu masih ada hal yang ingin ia katakan.

"Aku ... aku sudah kehilangan segalanya. Masa depan, calon anakku, bahkan orang yang sangat ku cintai. Jadi, untuk apa aku hidup?!" dan butiran demi butiran air mata itu menyusul menuruni pipi kurus Clarissa. Suara parau itu ....

Sungguh, hatiku seakan diremas oleh tangan tak kasat mata melihatnya.

Aku memang tidak mengalami hal yang Clarissa rasakan saat ini. Tapi yang ku tahu, ia pasti sangat terluka.

Saat itu aku tak sengaja melihat ia berdiri di jembatan itu, sejujurnya aku memang sedang mencarinya setelah tahu bahwa ia baru saja bercerai. Entah kenapa perasaanku sangat khawatir saat tak ku temukan dirinya di rumah orang tuanya. Aku mengitari seluruh kota, bahkan sampai ke gang-gang kecil untuk menemukannya. Dan untung saja Tuhan berbaik hati padaku malam itu. Pada akhirnya aku berhasil menemukan dirinya di waktu yang tepat, sebelum wanita yang ku cintai ini menjatuhkan diri, dan pergi meninggalkanku selamanya.

Aku hanya ingin dia tetap ada di dunia ini. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan di sisa hidupnya. Aku hanya ingin dia bahagia, dan ... aku ingin membahagiakannya. Itulah alasan kenapa aku mencegahnya bunuh diri.

"Kau tidak akan mengerti," lanjutnya. Ingin sekali jariku menghapus linangan air mata itu dan memeluknya. Namun, kedua tangan kurus itu sudah lebih dulu mengusap kasar kedua pipinya kemudian bangkit.

Sungguh, aku tidak tahan lagi melihatnya. Namun, aku tak mau pergi dari sisinya. Ini sangat membingungkan, sungguh.

"Cha, jadilah istriku." Refleks ku ucapkan kata itu sebelum Clarissa melangkahkan kakinya,

Dan .... kedua mata sembab wanita itu membola.

"Kau gila!"

***

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel