Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. Clarissa Putri Almashyra

Cinta ....

Jika kalian bertanya tentang hal itu padaku, maka dengan lantang aku akan menjawab bahwa cinta bagiku adalah segalanya.

Sebucin itulah aku.

Perasaan berdebar ketika mataku tak sengaja bertemu pandang dengannya, ketika dadaku nyaris lompat dari tempatnya saat ia tersenyum ke arahku—meski bukan padaku.

Rasa ingin memiliki, rasa ingin bersama, rasa ingin mengikat dirinya hanya untukku saja selamanya.

Yah, seperti itu aku menjabarkannya.

Tapi itu dulu ....

Aku mencintainya, Arshaka Mahendra, Kakak seniorku, cinta pertamaku. Lelaki pertama yang mampu memasuki ruang terdalam di hatiku. Seorang lelaki tampan dengan tutur kata semanis madu, yang dengan itu saja sudah mampu membuatku menyerahkan seluruh diriku.

Haha ... betapa menjijikannya aku jika teringat akan hal itu!

Bodoh?

Sepertinya memang kata itu yang cocok diberikan untukku.

Apalagi saat itu aku tahu, dia sudah memiliki kekasih.

Yang ku tahu, aku mencintainya. Dan dia berkata bahwa dia mencintaiku. Itu saja.

Dia berjanji akan meninggalkan kekasihnya, dan berbalik mencintaiku. Dan aku dengan cinta bodohku pada akhirnya termakan oleh rayuannya.

Aku dan dia pada akhirnya menjadi sepasang kekasih. Aku mencintainya, dan dia terlihat mencintaiku. Tanpa ku tahu bahwa aku hanyalah pelariannya saat itu.

Dia memang meninggalkan kekasihnya, namun tidak dengan hatinya.

Dia menciumku ... dia mencumbuku ... namun, pikirannya hanya tertuju pada seorang gadis yang sedang menimba ilmu jauh di negara tetangga. Ia ... tidak bisa melupakannya.

Hingga suatu hari, aku mengetahui jika aku mengandung darah dagingnya, menyakiti perasaan kedua orang tuaku untuk pertama kalinya. Peristiwa yang berhasil melemparkan aku jauh ke dalam jurang kehidupan yang kelam.

Entahlah, andai saja aku dapat mengulang waktu kembali, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

Mungkin saat ini aku sedang bercengkerama dengan teman-temanku, melanjutkan pendidikanku, lalu menata masa depan cerah.

Tidak seperti sekarang!

Aku hanya mampu mengurung diri di dalam kamar, meratapi nasib menyedihkan ini.

Aku ... anak yang tak berguna!

Aku ... hanya bisa menggores luka hati kedua orang tuaku!

Bahkan aku tak sanggup lagi menatap wajah ibuku. Air mata di pipi yang mulai berkeriput itu seakan mencekik leherku.

Aku tak sanggup!

Seharusnya lelaki itu tidak menolongku!

Seharusnya aku sudah mati sekarang!

Dan ... merasa tenang.

Setidaknya aku tak akan lagi menabur garam pada luka hati orang tuaku yang masih terbuka lebar. Mereka akan bahagia jika aku mati.

Aku mengerutkan kening. Mengingat peristiwa itu, secara otomatis membuatku mengingat sosok lelaki yang menolongku malam kemarin.

Ah, aku mengingatnya. Bukankah dia lelaki yang sering bersama Shaka saat masih bersekolah dulu?

Memang setelah peristiwa 'kecelakaan' itu aku sudah tak lagi melihatnya—itu sudah beberapa tahun berlalu, pantas saja.

Perlahan aku bangkit dari posisi meringkukku, kemudian mendudukkan diri di sisi tempat tidurku. Aku menatap pantulan diriku di cermin, kemudian tertawa sumbang.

'Kau sangat menyedihkan, Cha!'

Bagaimana tidak?

Rambut acak-acakan itu ... wajah pucat yang seperti mayat itu ... air mata yang terus mengalir di kedua pipi tirus itu ....

Haha ... semuanya terlihat begitu—ah, bahkan diriku sendiri tak tahu harus menyebutnya apa saat melihat pantulan wajahku sendiri.

Di detik selanjutnya aku terkesiap saat pintu kamarku diketuk seseorang dari luar. Dengan cepat ku hapus air mata di kedua pipiku.

"Siapa?" suaraku terdengar bergetar dan serak—karena menangis.

"Ini Ibu, Nak. Tolong bukakan pintu."

Hening.

Sungguh, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun saat ini. Aku tak punya muka untuk bertemu ibuku.

"Cha?" panggil Ibuku dari luar.

"Aku lelah, aku ingin tidur." Dan tidak ingin bangun lagi—kalau bisa.

"Ibu mohon, Nak ... Ibu ingin berbicara denganmu."

Aku hanya diam, menatap pintu kamarku yang tertutup. Membayangkan ekspresi wajah di balik pintu itu. Wajah tua itu pasti terlihat terluka.

"Ibu akan tetap berdiri di sini sampai kau mau membuka pintu."

Aku menghela napas panjang. Dengan berat hati aku bangkit berdiri, melangkah membuka pintu kamarku.

Dan saat pintu telah terbuka sempurna, ibuku langsung menghambur memeluk tubuhku. Air matanya tumpah begitu saja di pundakku. Basah, aku bisa merasakannya.

'Lihat! Kau hanya bisa melukai perasaannya, Cha!'

"Jangan ... jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu, Nak. Kau masih punya ayah dan ibu, kau tidak sendiri."

Aku terdiam, menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Mendengarkan setiap isakan tangis wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan hati terluka.

"Aku sudah terlalu banyak mengecewakan kalian, Bu. Jadi, untuk apa aku hidup?!" suaraku seakan tercekat di tenggorokan. Air mataku tumpah.

Ibuku melepaskan pelukannya, matanya yang memerah karena tangis menatapku penuh kasih sayang.

Sejujurnya hal itu justu membuatku lebih terluka lagi. Aku selalu membuat kesalahan, sedangkan wanita ini ... dia masih saja memberikanku cinta.

Anak macam apa aku ini?!

"Sebanyak apa pun kau membuat kesalahan, kau tetaplah anak Ibu, Nak. Ibu dan ayah memang kecewa, tapi yang harus kau tau ... rasa kecewa kami tidak sebanding dengan rasa cinta kami padamu. Kau harus bangkit. Lupakan lelaki itu. Kau berhak bahagia." Ia menghapus lelehan air mata di pipiku dengan penuh kasih sayang.

Dan aku hanya mampu terisak pelan.

"Buka lembaran baru, kau harus melanjutkan cita-citamu. Kau masih muda, Nak. Ibu mencintaimu."

Memang benar, tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta seorang ibu.

'Tapi, masa depanku telah hancur, Bu.'

"Tapi ... aku seorang janda sekarang, Bu." Aku menangis, terisak makin kencang.

Ia tersenyum padaku, senyuman yang entah kenapa sedikit memberikanku ketenangan. "Tidak apa-apa, Nak ... semua sudah terlanjur. Kau hanya perlu berubah. Biarkan semua ini menjadi pelajaran berharga untuk kehidupanmu ke depannya."

Ku lihat kedua mata hazel yang mirip dengan mataku itu terpaku pada nampan makanan yang tidak ku sentuh dari tadi pagi itu dengan pandangan sendu.

"Ibu akan mengambilkan makanan yang baru untukmu," ucap Ibu, yang kemudian hendak berbalik.

"Jangan." Aku mencegahnya. Kedua tanganku menggenggam tangannya yang hangat. Melarangnya menjauh dariku.

Karena ....

"Kau harus makan, Nak. Ibu tidak mau kau sakit."

"Sekarang ... yang aku butuhkan hanya Ibu ..." aku menjeda ucapanku dengan isak tangis yang tak mampu ku tahan. "Maafkan aku ... aku anak yang tidak berguna! Maafkan aku ..."

Yang aku butuhkan hanya pelukan Ibu.

Aku mengempaskan tubuhku ke dalam dekapan hangat yang selalu bisa membuatku nyaman.

"Ssttt ... Ibu sudah memaafkanmu jauh sebelum kau meminta maaf, Nak. Sudah ya ... jangan menangis lagi. Ibu tahu apa yang kau alami itu berat. Kau harus kuat."

Wanita ini ... wanita yang hatinya sering ku lukai beribu-ribu kali, namun tetap saja mampu memberikan maaf.

'Aku mencintaimu, Ibu. Sangat.'

"Cha ... ada yang ingin bertemu denganmu." Suara berat ayah yang datang tiba-tiba menyita perhatian kami.

Aku dan ibuku menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Dan detik itulah aku terpaku saat melihat seseorang yang berdiri di samping ayah.

"Selamat malam."

Lelaki itu?!

***

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel