Bab 9-Sembilan
Setelah berkali kali mengganti saluran televise, Anelis mematikannya. Ia berpindah ke kamar seraya membuka leptop tipis miliknya. Ia merasa bosan dengan akun media sosial yang begitu banyak menyuguhkan gambar. Baginya itu semua semu. Tidak mungkin mereka yang mengunggah setiap cerita di sana baik-baik saja. Semuanya pasti menyimpan hal pahit dalam hidupnya. Sayangnya banyak yang tak berani mengungkap itu semua. Hanya memilih yang bahagia-bahagia saja. Persis seperti dirinya. Pengikutnya di instagram pribadinya cukup banyak. Anelis kerap membubuhi caption manis, juga puitis di setiap foto. Terlebih foto yang diunggah hasil bidikan Rajasa yang jelas nampak estetikanya. Bisa saja ia fokus pada apa yang menjadi bakatnya itu. Sayangnya Anelis tak mau menekuni.
Bosan dengan hal tadi Anelis mencari platform lain yang lebih sesuai keinginannya. Sebenarnya sudah lama ia menyuarakan pendapatnya di sana. Hanya sejak fokus dengan skripsi dan tugas akhir kuliah, blog pribadinya itu mati suri. Ia kembali menilik dashbore berwana biru tua. Sejak pertama membuatnya sampai beberapa tahun berlalu, tetap tak ada yang mengikutinya. Tak ada juga yang like foto atau tulisan Anelis. Justru itu yang ia cari. Sunyi dan sepi. Saat dirinya bebas menuangkan segala cerita pada semesta, tanpa perlu bertatap muka. Saat ia tak harus terbebani dengan tatapan mata yang kadang malah menghakimi. Saat itulah perasaan Anelis mengalir. Lewat kata yang jika diresapi semakin menyayat hati.
Semua tulisannya bertema luka. Kesedihan, kemarahan juga kekecewaan. Paling banyak ia bercerita di semester empat hingga tujuh. Saat badai besar menggulung semua kebahagiaan. Anelis kembali membaca kata per kata yang ia rangkai di setiap judul cerita. Tanpa ia izinkan, air matanya merembas keluar, terlebih saat ia sampai pada kisah dirinya, Bapak, Ibu dan Andara. Ia tak pernah tahu jika keluarga kecilnya harus hancur dengan cara yang tidak manusiawi. Ia harus merelakan setiap bingkai indah keluarga yang rusak dalam sekali prahara. Waktu itu, Anelis pulang ke Bogor untu liburan semester empat.
***
Akhir semester empat Anelis
Kepulangannya kali ini jelas berbeda. Ia sudah menerima pesan dari Andara tentang konflik Bapak dan ibunya. Anelis sudah bersiap diri menjadi penengah sekaligus penyelesai masalah. Harapannya tak perlu ada konflik lanjutan yang lebih seram. Ia anak tertua dan sudah kuliah juga. Dianggap mampu mengurusi urusan orang dewasa. Andara masih kelas tiga SMP.
Anelis pulang ke rumah milik Mbah putrinya itu. Sejak kecil keluarganya tinggal di tempat Mbah dari bapaknya. Sudah berapa banyak konflik yang ia saksikan antara Ibu dan Mbah putrinya. Namanya juga berumah tangga, pasti ada prahara. Jadi Anelis menganggap santai, begitu juga Ibu dan bapaknya. Apalagi Mbah sudah tua. Wajar saja kalau tingkahnya kembali seperti anak kecil. Pada tahap seperti itu harusnya yang muda yang lebih paham. Legowo menerima apa pun perlakuan orang yang lebih tua. Belum tentu umurnya masih lama. Namun, urusan terakhir ini sepertinya tidak santai. Hingga ibunya tega pergi meninggalkan Andara seorang diri.
Seperti biasa Anelis menghabiskan waktu menonton acara televisi. Andara sekolah. Bapaknya pergi kerja. Mbah putrinya jualan sembako di pasar. Sedang ibunya sudah pergi entah ke mana. Asyik dengan berita gosip para artis yang kawin cerai, kawin cerai membuat Anelis mengernyitkan dahi. Sebegitunya para artis itu, batin Anelis. Tanpa ia sadari pernikahan kedua orangtuanya juga diambang perceraian. Hanya saja orang tuanya menyembunyikan dari Anelis. Takut mengganggu kuliah Anelis.
Suara perempuan mengucap salam dari luar. Anelis menjawab salam kemudian membuka pintu.
"Bapak Arkain ada, Mbak?" tanyanya pada Anelis.
"Bapak sedang kerja Bu, ada yang bisa saya bantu?" jawab Anelis ramah. Ia memerhatikan ibu berbaju batik itu. Motornya berplat merah. Pasti pegawai pemerintah.
"Ya sudah saya nitip ini saja ya, Mbak, nanti minta tolong sampaikan pada Bapak." Perempuan itu menyerahkan amplop coklat yang tidak bersegel. "Bisa tanda tangan di sini?" imbunya lagi.
Anelis menerima amplop coklat dan membubuhkan tanda tangan sesuai permintaan. Perempuan berbaju batik pun melesat pergi bersama motor plat merahnya. Anelis menutup pintu. Melihat amplop yang tidak tersegel membuatnya penasaran. Kalau tidak disegel berarti tidak masalah ia buka dulu, pikir Anelis. Ia pun mengeluarkan kertas putih dari amplop tersebut. Sekilas semacam pemberitahuan pembayaran tagihan sekolah. Anelis membukanya. Melihat kops surat tersebut langsung membuatnya limbung. Undangan sidang perceraian kedua. Tergugat Pak Arkain Samudra. Penggugat Ibu Hening Widyowati. Seketika tubuh Anelis meluruh ke bumi. Kabar berita itu bukan hanya kabar burung. Bahkan ibunya sudah mendaftakan perceraian mereka ke pengadilan agama. Anelis tidak pernah mengira dan menyangkanya. Ibunya begitu mencintai Bapak. Mereka selalu kompak menjalani hidup, kemana-mana bersama. Masa iya sampai ibunya menggugat cerai.
Apa jangan-jangan itu hanya semu semata? Agar terlihat baik-baik saja? Apa sebenarnya mereka punya masalah tapi menyembunyikannya dari Anelis dan Andara? Saat itu juga Anelis menangis. Air matanya tak hanya gerimis melainkan hujan besar.
Pak Arkain yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang, melihat Anelis menangis reflex menghampiri.
"Kamu kenapa,Ne?" tanya Pak Arkain penasaran. Anelis menyerahkan amplop coklat itu. Matanya merangkai tanya. Pak Arkain pun membuka. Kemudian menghela napas panjang. Mulutnya siap menceritakan banyak hal.
"Kita pindah ke kursi dulu," pinta Pak Arkain pada Anelis.
"Iya. Ibu sudah menggugat cerai, Bapak. Bapak tidak paham apa masalahnya. Waktu Andara kirim pesan ke kamu dulu adalah puncaknya. Ibu pergi ke Jawa. Balik ke rumah Mbah sana. Yang tahu detail ceritanya Andara," ucapnya berat. Anelis terperangah. Ia tidak pernah tau cerita itu. Air matanya semakin bertumpah ruah.
"Kenapa Bapak nggak cerita? Kalau Bapak ngabarin Ane, kan Ane bisa pulang, Pak," ucap Ane menyesal. Jakarta Bogor tak begitu jauh. Harusnya ia bisa menyempatkan waktu.
"Kamu sedang ujian. Bapak tidak mau mengganggumu," jawab Pak Arkain. Ia menundukkan kepala. "Sudah, biarkan ibumu memilih jalannya sendiri. Merasa bahagia dengan segala urusannya. Bapak sudah berusaha menahan agar sidang ini gagal. Tapi sepertinya sulit. Ibumu menyewa pengacara untuk mebereskan semua," terang Pak Arkain.
Demi apa pun itu perasaan Anelis hancur. Ia tidak pernah mengira ibunya akan setega itu. Ia tidak pernah tahu jika masalah rumah tangga begitu pelik adanya. Yang ia tahu saat itu ia begitu benci dengan sosok perempuan bernama ibu. Ia tak akan pernah memaafkannya, apa pun alasan nanti yang dirangkai ibunya. Ia juga tak pernah berusaha bertanya pada Andara atau ibunya. Anelis hanya mengandalkan satu sumber. Cerita Pak Arkain yang diulang-ulang macam radio bodol. Gelombangnya diputar terus hingga melekat erat di kepala Anelis. Tersemat jelas dalam ingatan dan menjadikan setiap detail cerita itu begitu menyakitkan.
***
Ingatan-ingatan tentang Andara, Bapak, juga Ibu mengumpul jadi satu. Seolah mengoloknya dan bicara bahwa ia tak pantas bahagia. Anelis menyeka air matanya. Selagi tak ada Rajasa ia tak perlu merangkai alasan kenapa matanya sembab. Lingkar matanya memang gelap, ia cukup bilang tidur kemalaman. Namun, Rajasa selalu pandai menebak dan Anelis tidak bisa menutupi. Ini kesempatan untuknya mengeluarkan semua sesak. Disetiap kata yang ia tulis dan baca ulang sebenarnya sama saja dirinya menabur garam, pada luka lama yang belum sempurna sembuh. Luka itu masih menganga dibagian terdalam hati Anelis. Ia tidak tahu kapan luka itu akan hilang. Takutnya justru bertambah parah. Saat ia harus memulai kehidupan rumah tangga bersama Rajasa. Ia takut cerita Bapak dan ibunya terjadi juga di kehidupannya.
Anelis kembali menyeka air mata. Mencukupkan diri membaca curahan hatinya di blog. Mulai malam ini ia akan aktif menulis lagi. Mengutarakan segala kisah untuk membantunya mengusir gundah. Termasuk tentang dirinya dan Rajasa yang begitu mencintainya. Anelis menutup leptop pribadinya. Membuat sandi agar tak seorang pun bisa membuka, termasuk Rajasa. Malam ini ia menemukan kembali teman sepi. Menangis membuat mata Anelis lelah. Ia memejamkan mata menutup harinya. Ia bermimpi bertemu ibunya kembali.
