Bab 10-Sepuluh
Suara bel pintu membangunkan Anelis dari mimpinya. Ia meraih ponselnya di meja kecil dekat ranjang. Jam delapan pagi. Anelis lupa tidak solat subuh lagi. Biasanya Rajasa yang membangunkan. Saat Rajasa pergi, alarm ponsel pun tak ampuh membangunkannya. Anelis bangkit, lantas mencuci muka sekenanya. Buru-buru meraih gagang pintu. Mungkin urusan Rajasa sudah selesai. Suaminya pulang lebih awal. Namun, itu bel yang berbunyi. Jelas bukan Rajasa. Siapa yang pagi-pagi begini sudah bertamu? Anelis membuka pintu, melongokan wajahnya keluar. Gadis muda berkerudung paris berada di sana, menyunggingkan senyum manisnya.
"Assalamualaikum Mbak Ane," sapanya ramah. Ia melebarkan tangannya siap-siap memeluk Anelis.
"Waalaikumsalam. Ya ampun Ra, kamu ke sini sama siapa?" tanya Anelis. Menyambut hangat pelukannya. Anelis begitu riang. Adiknya dari Bogor berkunjung. Sudah lama ia dan Rajasa tidak pulang.
Melihat adiknya yang tersenyum manis membuat Anelis bingung. Ini bukan libur semester, ini hanya weekend seperti biasa. Kok bisa? Belum sempat ia mengungkapkan, perempuan bergamis dengan kerudung besar mendekat, menghampiri mereka. Demi apa pun itu Anelis begitu enggan melihatnya. Apa ini mimpi? Semalam ia juga bertemu dengan perempuan itu. Anelis pun membuang muka, berusaha menutup kembali pintunya.
"Mbak, jangan begitu. Ibu jauh-jauh datang ingin menemuimu. Mas Rajasa yang minta Mbak," ucap Andara menahan Anelis.
Anelis menautkan kedua alis. "Mas Rajasa? Terus Bapak?"
"Bapak aman, Mbak. Bapak nggak tahu kalau Ara ke sini sama Ibu. Mas Rajasa ngubungin Ara, terus minta sopir kantornya jemput. Bapak jelas ngijinin dong. Nah, kalau Ibu datang sendiri. Kita ketemuan di jalan. Tapi Mas Rajasa juga ngubungin Ibu," terang Andara. Sekuat mungkin berusaha meyakinkan kakaknya yang keras kepala.
Wanita cantik berusia empat puluh lima tahun itu menyimak penjelasan putri ke duanya. Menunggu seperti apa putri pertamanya bereaksi. Anelis menghela napas. Ia tidak mau dihadapkan kembali dengan situasi ini. Ia sudah berjanji untuk membenci ibunya sendiri dan tak akan menemuinya lagi. Akan tetapi, hari ini ibunya justru berada di depan rumahnya dan itu semua Rajasa yang mengatur pertemuan. Apa daya Anelis hanya bisa menerima dengan hati kesal. Ia membalikkan badan. Dengan berat hati ia meminta Andara dan ibunya masuk.
"Bikin minum sendiri ya, Ra, Mbak mau mandi.” Anelis meraih handuk. Bersiap membersihkan diri. Biasanya ia akan membiarkan air matanya membilasnya juga. Menangis melegakan perasaan.
Anelis menghilang di ruang tamu sekaligus televise itu. Wanita bergamis tadi tak berdaya melihat putri pertamanya begitu membenci dirinya. Ya. Memang dia pantas dibenci. Dia meninggalkan kedua putrinya dan memilih menikah lagi dengan pria yang usianya jauh lebih tua. Lebih pantas menjadi Mbah Kakung buat Anelis dan Andara. Semua orang menganggapnya mata duitan, hanya mengejar harta serta wanita pendusta. Tak layak mendapat gelar sebagai Ibu. Itu yang selalu menggema di telinga Anelis. Terlebih Anelis tetap tinggal bersama bapaknya. Ia yang lebih tua mendapatkan kepercayaan. Pak Arkain bercerita banyak tentang masalahnya. Sosok ibunya yang dulu begitu lembut juga penyayang hilang dalam waktu singkat. Setiap hari ia dicekoki kebencian akan ibunya oleh Pak Arkain, juga keluarganya. Andara yang waktu itu masih kelas tiga SMP tak pernah dilibatkan. Ia pun tetap jernih pemikirannya. Tetap menyayangi ibunya walaupun mereka terpisah jarak. Andara terpaksa juga ikut Bapak, meski putusan pengadilan menyebutkan ia ikut Ibu. Andara telanjur menjadi cucu kesayangan Mbah putri. Ia pun tak bisa pergi memilih bersama ibu.
Andara mempersilakan ibunya duduk. Ia membuat dua gelas kopi dan satu gelas teh manis. Hingga tiga gelas itu tersaji, Anelis tetap asik di kamar mandi.
"Yang sabar ya, Buk, Mbak Ane butuh waktu. Mungkin kalau Mbak Ane tau ceritanya, dia nggak akan begitu," ucap Andara iba melihat ibunya.
"Nggak apa-apa, sayang. Kakakmu berhak membenci Ibu. Yang penting hari ini sama besok kita temenin kakakmu biar nggak kesepian. Sesuai permintaan Mas Rajasa," jawabnya lembut. Ia menyesap kopi buatan putri keduanya. Harap-harap cemas menanti Anelis selesai mandi.
Sampai kopi di gelasnya habis, Anelis tak kunjung menemui. Perempuan itu pun pasrah. Kalau bukan karena menantunya yang begitu baik, ia enggan juga melakukan itu semua. Harus menemui Anelis yang jelas masih membencinya. Sebenarnya dirinya sudah ikhlas untuk kehilangan putri pertamanya. Ia memutuskan tidak memikirkan sikap Anelis. Niat awalnya datang ke sentraland apartemen adalah membawa aneka bahan makanan kesukaan Anelis. Ayam goreng kampung dengan sambal hijau dan lalapan, yang sudah ia racik sebelumnya. Tak ketinggalan menu special yang tidak mungkin bisa ditolak Anelis. Si hijau berbiji banyak alias pete. Bu Hening menyingsingkan lengan. Sigap membuat dapur berantakan.
Andara memainkan ponselnya. Memberitahu Rajasa ia dan ibunya sudah sampai apartemen. Andara pun mengadu kalai kakaknya tak bersikap baik pada Ibu. Selang setengah jam aroma nasi hangat berpadu dengan sambal manguar. Menggoda setiap hidung orang yang menciumnya. Anelis masih berjibaku di kamar. Tahan banting dengan aroma yang jelas memanggil-manggil indera perasanya. Andara tak memedulikan kakaknya itu. Ia segera mendekati sumber aroma.
"Masakan Ibu emang nggak ada duanya," ucap Andara seraya mengacungkan ke dua jempol tangan. "Biar Ara bantu, Bu.” Andara sigap meraih piring berisi lalapan dari tangan ibunya.
Andara menata setiap sajian itu dengan rapi. Memastikan pete yang dibawa ibunya tak ketinggalan. Senjata untuk merayu Anelis makan. Harusnya tak ada alasan bagi kakaknya menolak. Rajasa tidak di rumah. Ia bebas mengunyah biji-biji itu tanpa takut bau mulutnya terdeteksi. Sejak menikah, Anelis menghapus pete dari lalapan favoritnya. Rajasa anti dengan bau seperti itu. Anelis pun terpaksa merelakannya.
Andara memukul piring dengan sendok. Mendekati pintu kamar Anelis seraya berkata, "Ting! Ting! Ting! Sahur, sahur!" teriaknya kencang. Bu Hening tersenyum melihat aksi putri ke duanya yang sebentar lagi akan kuliah.
"Mbak, Ada pete Mbak. Dibawain langsung dari Jawa, loh. Mumpung nggak ada Mas Rajasa Mbak, sikat aja yuk," ucap Andara dari balik pintu. Ia merayu kakaknya yang hobi ngambek itu. Tak ada jawaban dari Anelis. "Ya, udah kalau nggak mau tak abisin aku aja, ya. Ibu juga cuma bawa dua keris, kok," ucapnya lagi.
Melihat tak ada respon dari Anelis, Bu Hening menimpali, "Ibu mau mandi, Ne. Kamu bisa makan berdua aja sama Ara. Ibu pinjam kamar tamu, ya?" Ia sengaja meninggikan suara. Agar putri pertamanya mau keluar dan memakan masakannya.
"Iya Mbak, Ibu udah masuk kamar mandi noh, beneran nggak bohong. Cepetan keburu ara abisin nih," ucap Ara sembari mengambil nasi dari wadahnya.
Pintu kamar itu berderit. Perempuan dengan rambut tergerai melirik sana-sini mencari sosok ibunya. Yakin ibunya sedang mandi ia bergegas menuju meja makan. Sudah lama sekali mulutnya tidak mengunyah pete. Ini momen langka yang tak akan datang ke dua kalinya. Sejak dulu ia paling suka masakan ibunya. Lidah mereka sama-sama lidah jawa. Bagi mereka sayur hijau dan dedaunan jauh lebih menggugah selera dibandingkan pizza dan sebangsanya. Anelis meraih piring yang disiapkan Andara. Secepat mungkin mengisi piring tersebut dengan nasi, lauk dan pete pastinya. Andara tersenyum melihat tingkah kakaknya itu.
"Nggak usah buru-buru, Mbak. Jadi orang nggak usah jaim. Mau makan di kamar tak foto kasih ke Mas Rajasa lho!" ancam Andara.
"Sejak kapan kalian akrab? Pakai kirim foto segala," tanya Anelis dengan tetap menambahkan lalapan di piringnya.
"Sejak lama Mbak, sejak Mas Rajasa datang ke rumah. Mbak Ane aja yang nggak pernah tau, wong nggak pernah mau tahu," jawab Andara sambil mengunyah nasi.
Anelis berhenti sejenak. Mendengar ucapan Andara membuatnya malu. Bahkan suaminya saja bisa begitu baik dengan keluarganya. Sedang dirinya sendiri menyapa saja jarang. Tidak pernah telepon duluan atau mengirim pesan. Beda sekali dengan Rajasa yang bahkan setiap hari menanyakan aktivitas Mamah. Anelis menyuapkan nasi dan lauk pada mulutnya sendiri. Ia menikmati sajian khas jawa yang disuguhkan ibunya. Tak tanggung satu keris pete ia habiskan sendiri. Andara yang juga tidak begitu suka aroma pete menahan napas. Menutup hidung dengan ujung kerudungnya.
"Ampun Mbak, baunya. Habis ini Mas Rajasa pasti hoek hoek Mbak," ucap Andara.
"Biarin. Enak kok, nih. Hah! Hah!" Anelis membuka mulutnya lebar. Bangkit dari kursinya, meletakan piring kotor di wastafel. Ia meraih gelas bening berisi air putih.
Tepat di saat itu. Bu Hening keluar dari kamar tamu itu. Tetap menggunakan kerudung meski tak ada laki-laki di rumah tersebut. Beda sekali dengan tampilannya dulu. Mungkin suaminya yang baru berhasil mendidiknya. Sekarang Bu Hening jauh lebih baik dalam berpakaian. Sudah menutup aurat, tidak seperti dirinya.
"Makasih Bu, sayurnya enak," ucap Anelis dingin. Ia meletakan gelas beningnya, lalu kembali ke kamar.
Andara yang menyaksikan itu begitu bahagia. Setidaknya cara mereka berhasil membuat Anelis kembali bicara. Bu Hening hanya tersenyum menahan haru. Dipandanginya putri kecilnya dari belakang. Yang dulu sakit-sakitan, yang sering membuat khawatir keluarga sudah menjelma menjadi perempuan muda. Sudah menjadi istri dan calon ibu nantinya. Ia bersyukur latar belakang keluarga yang berantakan tak menghalangi Rajasa untuk tetap mencintai putrinya. Dalam hati ia ingin sekali memeluk kembali Anelis. Memanjakannya seperti Anelis kecil dulu. Namun, ia menahan diri. Terlalu aktif bertanya hanya akan membuat Anelis marah. Ia pun lebih memilih menunggu.
***
Anelis memainkan ponselnya. Belum ada panggilan telepon dari Rajasa. Wajahnya berubah murung. Memikirkan obrolannya dengan Nurma dan guyonan Dimas, semakin membuatnya kesal. Meski sepi, setidaknya malam ini ia tak sendiri. Ada anggota keluarga yang jauh dari hati terdalamnya ia rindukan. Anelis berusaha mengirim pesan pada Rajasa.
[Mas, kok belum ada kabar? Aku kangen] Ia biarkan pesan cintanya mengudara.
