Bab 5-Lima
Pesawat yang membawa Rajasa dan Anelis sampai di Bandara International Soekarno Hatta. Mereka menyempatkan diri mengunjungi Mamah Rajasa di perumahan Harkit-Harapan Kita kota Tangerang. Meski hidup seorang diri, tak membuat perempuan paruh baya itu meninggalkan rumahnya. Ia tak mau meninggalkan kota Tangerang dan memilih tinggal bersama Rajasa di Jakarta. Baginya Tangerang adalah jiwanya. Jauh sebelum Rajasa dan Mamahnya tinggal di perumahan Harapan kita.
Kampung Cibodas Besar, Tahun 2000
Sejak pagi Bu Karti sibuk mengaduk adonan kue. Kue bulat bolong tengah atau kue donat. Penghasilannya sebagai petugas kebersihan di SD Negeri Cibodas 4 tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bu Karti pun harus berupaya lebih giat lagi. Ia menitipkan beragam camilan sehat di kantin sekolah. Mulai dari kroket, kue basah dan lainnya. Sesuai modal yang sedang ia miliki. Kadang, Bu Karti juga menjadi buruh masak. Saat tetangga atau kolega mengadakan hajatan. Kepiawainnya dalam meracik bumbu memang tak diragukan. Seluruh warga gang sudah paham.
Rumah Bu Karti paling kecil sendiri. Berada di ujung gang dan bersebelahan langsung dengan lapangan. Sebenarnya itu bukan rumahnya. Ia sama saja mengontrak di sana. Beruntung, pemilik kontrakan itu masih saudara suaminya. Ia mendapat setengah harga. Setelah memastikan anak laki-lakinya terbangun, Bu Karti pamit untuk bekerja.
"Sa, Mamah berangkat dulu. Nanti kamu berangkat sendiri, ya. Ingat nggak boleh terlambat. Cuma beda gang sama rumah doang, kok terlambat," ucap Bu Karti lembut.
"Iya, Mah," jawab Rajasa masih setengah dasar. Rajasa kelas enam, sebentar lagi masuk SMP. Bu Karti pun sibuk mencari tambahan sana-sini.
Rajasa begitu riang, saat tahu mamahnya membuat kue donat. Kalau diizinkan, ia bisa menghabiskan lima buah kue donat. Sebelum menuju sekolah, Rajasa menenteng bekal makan siangnya. Nasi dengan telor dadar. Setiap hari menu mereka hanya itu-itu saja. Namun, Rajasa tak merasa dirinya menderita. Ia tumbuh menjadi pria bertanggung jawab. Itu semua berkat keseriusan Bu Karti dalam mendidik Rajasa.Rajasa anak pandai. Selalu mendapat rengking pertama. Ia juga kerap mewakili sekolah di beberapa lomba. Terutama yang berkaitan dengan pelajaran. Ingatannya utuh sempurna. Rajasa anak tangguh. Ia tak pernah malu atas kondisi hidupnya. Meski mamahnya tukang bersih-bersih di sekolah, Rajasa tetap percaya diri.
Setiap hari Bu Karti melakukan pekerjaanya dengan gembira. Saat jam pelajaran tiba, siswa SD N Cibodas 4 masuk kelas masing-masing. Saat itulah ia melakukan tugasnya mengepel lantai teras. Sampai pada kelas Rajasa, ia menghentikan aktivitasnya. Melirik masuk. Anaknya begitu khusuk menyimak materi, memerhatikan setiap penjelasan gurunya. Andai ia punya cukup banyak uang. Andai suaminya masih hidup. Rajasa bisa mengembangkan setiap potensi dalam dirinya. Ia bisa melejit menjadi anak cerdas. Bu Karti berpindah dari satu teras ke teras lainnya. Hingga ia tiba di teras ruang kepala sekolah. Pintunya terbuka. Ia bisa melihat jelas Bu Mutia, kepala SDN Cibodas 4 sedang merapikan isi lemarinya. Membenahi satu per satu tatanannya. Melihat orang terpenting di sekolah beres-beres, Bu Karti mendekat. Sigap menawarkan bantuan.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya dari luar.
"Eh, Bu Karti, sudah selesai ngepelnya? Kalau sudah boleh bantu saya," ujar Bu Mutia. Tanpa menunggu lama, Bu Karti menuruti setiap arahan atasannya. Pekerjaan beres-beres selesai dalam waktu saju jam.
Bu Mutia belum lama menjadi kepala SDN Cibodas 4 Kota Tangerang. Tapi, kebaikannya sudah terkenal di lingkungan sekolah. Bahkan warga juga ikut senang dengan kehadiran bu Mutia. Ia guru Bahasa Indonesia. Pegawai Negeri sekaligus pengusaha konveksi di kota. Beliau terkenal sangat derwanan.
"Bu Karti sini, duduk dulu di ruangan saya. Silakan diminum dulu," ujar Bu Mutia. Minuman dingin dari kulkas diserahkannya. Bu Karti mengangguk, menerima minuman tersebut canggung.
"Terima Kasih, Bu," jawabnya segan.
"Bu, nanti Rajasa mau lanjut sekolah di mana? Dia anaknya rajin dan pandai. Berkali-kali lomba, selalu dapat piala," ujar Bu Mutia membuka obrolan. "Kalau mau, Rajasa bisa sekolah di SMP favorit Bu, di kota," imbuh Bu Mutia.
"Saya belum tahu Bu, paling ya, saya sekolahkan dekat sini saja. Sekolah negeri yang tanpa biaya," jawab Bu Karti getir. "Alhamdulillah Bu, kalau Rajasa pandai. Itu semua berkat bantuan Bapak Ibu guru di sini," tambah bu Karti.
Urusan pendidikan anak, Bu Karti tak mau main-main. Meski dirinya hanya lulusan SD, ia ingin Rajasa bisa kuliah. Memiliki gelar sarjana bahkan lebih, tidak seperti dirinya dan suaminya. Dalam hati ingin sekali menberikan yang terbaik untuk Rajasa, tapi apa daya. Ia hanya seorang petugas kebersihan. Penghasilannya hanya cukup untuk makan, juga menyewa kontrakan.
"Bu Karti, kan bisa bikin kue, ya? Saya beberapa kali beli kue dan camilan Bu Karti di kantin. Rasanya enak lho, Bu. Kenapa ndak dikembangkan jadi usaha saja? Untuk menyalurkan hobi, sekaligus menambah penghasilan," saran Bu Mutia dengan berhati-hati. Ia tak ingin Bu Karti tersinggung dengan ucapannya.
Bu Mutia paham betul bagaimana kecerdasan Rajasa. Jiwa kemanusiaannya selalu terasah melihat situasi begitu. Bisa saja dirinya menawarkan beasiswa atau membiayai total sekolah Rajasa di SMP nanti. Masalah uang jelas dia lebih punya. Namun, Bu Mutia tidak begitu. Ia selalu punya cara sendiri menolong orang-orang di sekitarnya. Tak hanya memberikan kecukupan, tapi sifat dermawannya juga mencoba mengangkat setiap derajat hidup orang yang ia bantu. Bagaiamana caranya pahalanya nanti tetap mengalir.
"Sempat kepikiran, Bu. Tapi saya nggak punya modal. Makanya saya nyoba nitip di kantin sekolah saja, sesuai modal yang saya punya," terang Bu Karti. Bu Mutia tersenyum, wajahnya menjelma malaikat yang turun ke dunia. Orang baik selalu punya niat baik dan cara-cara terbaik.
"Begitu ya, Bu. Kebetulan adik saya punya usaha toko roti. Tapi ia tidak membuat sendiri. Ia mengumpulkan hasil roti, kue kering, kue basah juga aneka jajanan tradisional dari tetangga, saudara dan koleganya. Nanti kue-kue tadi dikemas lebih rapi kemudian dipasarkan di toko tersebut. Kalau kata adik saya, nggak pingin cari untung banyak. Bisa bantu orang lain udah seneng katanya," terang Bu Mutia penuh semangat. Bu Karti menyimak setiap kata yang diucapkab atasannya itu. Takjub melihat kebaikan keluarga Bu Mutia.
"Kalau Bu Karti mau, nanti saya tuliskan alamat toko adik saya. Bu Karti bisa datang langsung. Menanyakan kue apa saja yang dijajakan. Bu Karti bisa mulai menitipkan kuenya setelah bertemu adik saya. Siapa tahu cocok dan jadi rejeki. Ndak usah banyak-banyak, sesuai kemampuan Bu Karti dulu. Anggap saja sedang nitip di kantin sekolah.”
Bu Mutia bangkit mengambil secarik kertas. Menuliskan alamat toko, lalu memberikannya. Bu Karti gugup menerima kertas itu. Rasa syukur merasuk di hatinya. Mungkin beginilah cara Tuhan membantu hambanya. Lewat orang-orang baik yang memiliki kemampuan lebih. Di mana harta, jabatan, bukan lagi menjadi ukuran kebahagiaan. Melainkan sebuah perantara ketaatan terhadap penciptanya. Sejak saat itu, hidup Rajasa dan Bu Karti berubah. Perlahan mereka mampu mengontrak rumah yang lebih besar. Rajasa tumbuh semakin besar dan selalu giat belajar. Ia menghabiskan waktu SMP nya dengan rajin membawa kue buatan Mamahnya. Bu Karti menjadi mitra tetap Daisha Bakery. Penghasilannya lebih dari cukup untuk membuka usaha sendiri. Namun, ia memilih setia tetap menjadi mitra. Hingga kabar tentang kepindaham Bu Mutia membuat Bu Karti menjadi pemilik baru Daisha Bakery. Ia menjadi salah satu orang yang membeli toko roti itu. Patungan dengan adik Bu Mutia.
