Bab 4-Empat
Anelis menatap gambar dirinya di cermin. Mengoleskan gel aloe vera ke seluruh muka. Menghadirkan rasa dingin, setelah membakar kulitnya di siang hari. Ia menepuk-nepuk pipinya. Mengambil liptin yang cenderung ringan. Mengoleskan pada bibir. Anelis menanti Rajasa. Suaminya bilang tidak akan lama, hanya mengantar mobil jeep saja. Anelis pun sengaja menyiapkan makan malam di balkon hotel. Menunya sederhana. Indomie goreng kriuk beserta telor ceplok, dan segelas es teh. Waktu menelepon room service tadi, sempat membuat geram hatinya. Pelayan bersikukuh tidak menyediakan menu itu. Namun Anelis memaksa. Ia mengancam akan memberi review buruk terhadap hotel bintang lima tersebut. Meski belum konsisten, Anelis rajin menulis di blog pribadinya. Juga akun media sosial. Anelis mengancam dengan dalih tersebut. Ia bercita-cita menjadi penulis sejak rambutnya masih di kepang dua. Kecintaannya terhadap buku membuatnya ingin mengabadikan setiap kisah lewat goresan tinta. Mbah kakung orang pertama yang mengenalkannya pada buku.
Baju terusan selutut miliknya membuat dirinya merasa sempurna. Anelis mengenakan gelang pemberian Rajasa, waktu Rajasa menembaknya dulu. Sudah jam tujuh lebih, Rajasa tak kunjung tiba. Anelis mulai resah. Ia pun mencoba menghubungi Rajasa lewat ponselnya. Tidak aktif, sepertinya batrenya habis. Perutnya sudah berbunyi berkali-kali. Ia memaksakan diri menanti suaminya. Indomie goreng miliknya berulangkali ia aduk dengan garpu.
Pintu kamar hotel berderit. Rajasa memasuki ruang sempit itu. Ya. Bagi Rajasa ini sangat sempit. Bersama istrinya, dan tidak bisa berbuat apa-apa, membuatnya begitu pengap. Rajasa mencari wanita pujaaannya. Tak ada di ranjang seperti biasa. Paling sering jam segini Anelis sudah pulas. Kemudian terbangun di jam dua sampai pagi, tak tidur lagi. Anelis sering insomnia. Rajasa menyapu seluruh isi kamar. Melihat pintu balkon terbuka, ia yakin Anelis masih terjaga. Dipandangnya sosok wanita cantik dari belakang. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun juga tidak dikatakan pendek. Badannya sedikit berisi, tapi tetap proporsional dengan tingginya. Rambutnya hitam legam, mengombak. Ia mengenakan terusan selutut dibalut sweater rajut. Semilir angin malam cukup terasa.
"Ehem!" Rajasa berdeham.
"Mas lama amat? Aku keburu lapar Mas." Anelis mengangkat garpunya. Indomie goreng instan mengular panjang.
"Ya ampun. Jauh-jauh nyampe hotel, pesennya indomie, Ne?" tanya Rajasa heran.
"Hehe, paling cocok kalau lagi malas makan." Anelis menyunggingkan senyum. "Aku makan duluan ya, Mas. Beneran nggak tahan ini," ucap Anelis. Mulutnya langsung terisi. Ia mengunyah begitu lahap.
"Pelan-pelan nanti kese-" Belum habis Rajasa bilang, Anelis terbatuk.
"Air Mas, air. Uhuk uhuk!"
"Nggak berdoa sih, gitu kan jadinya," timpal Rajasa. Ia mengambil alih garpu dari tangan istrinya. Memotong Indomie instan, mengaitkannya, lalu menyuapi.
"Aaaaa … buka mulut!" perintah Rajasa.
Anelis tersenyum menerima suapan Rajasa. Mereka menghabiskan Indomie instan bersama. Semilir angin malam semakin membuat dingin. Anelis membiarkan piring dan gelas berserakan. Ia buru-buru masuk ruangan. Rajasa hanya tersenyum, hafal betul tabiat istrinya. Ia pun merapikan meja balkon. Takutnya ada jangkrik mencuri sisa makanan ini. Dari kecil Rajasa sudah terbiasa rapi.
"Mas dari mana? Kok lama?" tanya Anelis lagi. Ia sudah bersembunyi dibalik selimut. Malam ini udara terasa lebih dingin.
"Oh, biasa safari masjid. Mahrib sekalian Isya," jawab Rajasa santai.
Anelis ber Oh ria. Punya suami alim, kaya, juga tampan tetap saja membuatnya bebal. Seolah tak peduli suatu hari nanti bisa jadi ada yang mencuri hati Rajasa. Kemudian berpaling membuat lelaki itu berpaling. Memilih dengan perempuan baru atau perempuan pelakor. Anelis tetap saja kekanakan, tidak peka terhadap kondisi lingkungannya bahkan tidak pernah peduli. Rajasa memilih duduk di kursi. Tidak bersisihan di ranjang bersama Anelis. Ia membuka kembali ponselnya yang berisi penuh swafoto mereka berdua.
Melihat Rajasa tersenyum sendiri membuat Anelis penasaran. "Mas, aku lihat fotonya dong, sama minta sekalian. Mau aku post di Instagram," ucapnya penuh semangat.
Tanpa menunggu lama, Rajasa berpindah. Mendekat pada Anelis. Ia mensejajarkan diri, mengikuti cara istrinya duduk. Menutup bagian kaki dengan selimut.
"Ini pilih sendiri, tapi cepet, ya. Aku juga mau post," ujar Rajasa.
"Eh, sejak kapan kamu main Instagram, Mas? Kamu kan gak suka yang begituan," ucap Anelis kaget.
"Sejak hari ini, sejak aku memiliki foto ini." Rajasa menunjukkan foto kecupan Anelis di pipinya.
Anelis tersipu malu. Jika hadirnya bisa mengubah prinsip Rajasa yang begitu kuat, kenapa ia tak bisa mengubah dirinya sendiri. Kenapa ia tak pernah mau mencobanya. Anelis menerima beberapa foto dari Rajasa. Ia memilih foto dirinya yang tengah berdiri di dekat stupa, memandang lepas panorama. Dengan cepat perempuan itu membuka akun instagramnya. Membuat caption untuk foto tersebut.
-Arupadhatu-
-Tanpa perwujudan-
-Tujuan akhir dari setiap umat (nirwana)-
Maafkan aku Bu, Maafkan aku Pak, Maafkan aku @Andaraarkaina : Aku memilih bahagia.
Candi Borobudur.
Foto tersebut berhasil mengudara. Seketika mendapat like dari banyak pengikutnya. Termasuk Rajasa. Selama ini, Rajasa selalu memantau dengan akun lain. Akun yang tidak menunjukkan jika itu dirinya. Sejak Anelis berubah, Rajasa memilih mengamati setiap gerak gerik istrinya dari jauh.
Anelis menutup ponselnya lalu meletakkan pada meja dekat lampu. Ia membuat lampu menjadi remang. Rajasa paham betul. Setelah ini pasti Anelis akan membalikkan badan. Menarik selimut, beringsut dan terlelap. Rajasa tak ingin mencobanya. Meskipun hari ini ia diingatkan lagi lewat penjual batik. Laki-laki itu pun meletakan ponselnya juga. Membiarkan hening menguasai di malam ini. Ia merebahkan diri tanpa menggeser tubuhnya untuk lebih dekat lagi. Anelis menarik selimut, tetap menghadap Rajasa dengan mata terpejam.
"Mas," ucapnya lirih.
"Apa, Ne," jawab Rajasa juga lirih.
"Malam ini aku siap, Mas. Bantu aku," pintanya pelan. Rajasa menoleh, mencari mata Anelis untuk meyakinkan diri. Perempuan itu pura-pura tidur, dengan tangannya menggengam tangan Rajasa.
"Mas, pintunya tutup, Mas. Dingin," ujar Anelis dengan posisi sama. Rajasa tak berkata-kata lagi. Ia memeluk mesra wanita pujaannya. Degup jakeduanya begitu terasa. Anelis menenggelamkan kepala pada dada bidang milik Rajasa.
"Kamu yakin, Ne?" tanya Rajasa. Ia tak mau membuat Anelis tak nyaman. Anelis mengangguk yakin.
Perlahan, Rajasa mengusap lembut rambut Anelis. Saat itu juga aroma sampo menguar. Semerbak wangi. Sepertinya malam ini Rajasa tak bisa lagi lebih lama menanti. Anelis menggeliat. Ia biarkan sengatan hangat menjalar ke sekujur badan. Luapan cinta, kesabaran dan keresahan menjadi satu. Terlalu lama Anelis mengurung diri dalam nestapa. Tak berani jujur pada dirinya juga Rajasa. Laki-laki itu pun mengambil alih tubuh Anelis. Hingga semua rasa tersampaikan, mata Anelis berkaca. Ia tak merasakan nyaman seperti yang dibilang banyak wanita. Justru dirinya mendera luka. Air mata membasahi pipinya. Tangannya terkulai lemah. Ia kehilangan kesadarannya. Rajasa menghentikan aktivitasnya sejenak, mengamati Anelis yang tiba-tiba terdiam.
"Ne, Ne, hey! Anelis, kamu bisa dengar aku, ‘kan!" Rajasa menepuk pipi Anelis. Wajah Anelis kaku. Mulutnya sedikit terbuka. Dengan cepat Rajasa meraih segelas air di dekat ranjang, meneteskannya ke mulut Anelis.
"Ne, Ne, kamu baik-baik saja, Ne?" Rajasa panik. Bingung apa yang harus dilakukan.
“Tenang, kamu harus tenang Rajasa. Jangan panic,” ucap Rajasa pada dirinya.
Melihat mulut Anelis terbuka, Rajasa mencoba memberi napas buatan untuk istrinya. Satu kali, dua kali, Anelis tak merespon. Ke tiga kalinya dengan tenaga lebih Anelis berjingkat, tersadar. Ia mengambil napas panjang. Dadanya kembang kempis.
"Are you oke?" tanya Rajasa lagi. Laki-laki itu sangat mengkhawatirkan keadaan istrinya. Anelis mengangguk lemah. Bulir bening mengalir deras dari pelupuk matanya. Ia menangis tanpa menyadarinya.
Ada sesal di hati Rajasa. Sekarang ia paham kenapa istrinya begitu takut berhubungan badan. Trauma. Anelis memiliki trauma. Rajasa tak berpikir negatif, ia meyakinkan dirinya Anelis belum pernah melakukan ini semua. Tetap dirinya lah yang pertama bersama Anelis. Rajasa tak kuasa melihat Anelis begitu lara. Ia mendekap tubuh ringkih itu.
"Maafin aku Ne, maafin aku. Aku nggak pernah tahu. Maafin aku," sesal Rajasa. Perempuan dalam pelukannya mengangguk.
Ini bukan karena Rajasa, tapi karena dirinya sendiri. Isak Anelis tak terelakan lagi. Malam ini Anelis membuka diri untuk berbagi rasa sakit dengan Rajasa yang begitu mencintainya. Hanyut dalam dekap erat lelaki pilihannya.
