Bab 3-Tiga
Anelis dan Rajasa melanjutkan langkah kaki mereka. Menuju struktur bagian atas candi. Arupadhatu. Bangunan teras bundar yang melambangkan tujuan akhir setiap manusia. Bangunan dengan stupa induk yang dikelilingi hiasan stupa kecil. Berada di tempat tertinggi selalu menyenangkan. Hakekat mendaki selalu sama. Mencapai tujuan tertinggi dari pendakian utama. Anelis terperangah. Menyaksikan landscape bumi yang menawan. Meski terik, tak mengurangi keindahan tempat ini. Untuk pertama kali, Anelis menjadi model penuh tanpa kompensasi.
"Aku mau, Mas, jadi objek fotomu. Cepet fotoin yang banyak. Nggak apa-apa," pinta Anelis. Ia berlari kecil menuju salah satu stupa. Rajasa pun mengeluarkan kamera. Memfokuskan lensa, menangkap gambar istrinya. Berbagai macam gaya diperagakan. Puas dengan hasil foto Rajasa, membuat Anelis berbangga diri.
"Cantik juga aku ya, Mas?" tanyanya tengil.
"Iya, cantik banget. Apalagi kalau senyum. Sayang tiap malam kamu lebih banyak murung," ujar Rajasa. Anelis terdiam. Ya. Hampir setiap malam, ia memilih tidur duluan. Mengabaikan suami yang mencintainya. Sesal datang di hati Anelis.
"Foto berdua yuks, Mas, kayak jaman pacaran dulu." Anelis memamerkan gigi kelinci miliknya.
Seketika senyum Rajasa merekah. Tanpa ba bi bu Rajasa mengambil ponselnya. Mereka berswafoto di tempat honeymoon itu. Rajasa mendekatkan tubuhnya pada Anelis. Memasang gaya peace di depan kamera. Anelis menyambut ajakan Rajasa. Ia mengalungkan tangannya pada leher Rajasa. Sebuah kecupan manis mendarat di pipi lelaki pilihannya. Ada haru menyeruak di hati Rajasa. Ia kembali menemukan kekasih hatinya. Meskipun Anelis belum bisa memenuhi tugasnya sebagai istri, Rajasa tetap bahagia.
Cinta itu tak melulu tentang dengan siapa kita menjalin hubungan. Melainkan bagaimana cara kita menjalaninya. Mengatur mode perasaan hati. Ada penantian, penerimaan, penghargaan juga pemenuhan ruang diri. Bagi Rajasa sabar menunggu adalah aktualisasi cintanya. Rajasa memerhatikan hasil foto di ponsel. Memilah mana yang hendak dihapus. Ia pun urung melakukan itu. Semuanya teramat penting dan harus tetap disimpan. Senyumnya semakin mengembang.
"Ya ampun, turun juga sama capeknya dengan naik. Lututku bisa lepas, Mas, kalau gini." Anelis memukul-mukul lutut kanannya.
"Makanya sering olahraga. Biar badan nggak langsung capek, kalau diajak jalan," ucap Rajasa.
Rajasa sengaja mengajak Anelis menepi. Beristirahat di salah satu kursi panjang menuju pintu keluar. Setelah ini mereka masih harus berjalan. Mencari buah tangan untuk Mamah di Tangerang. Sepanjang jalan menuju pintu keluar, berbagai macam kios terjajar rapi. Kebanyakan menjual kaos khas borobudur juga batik. Ada juga tas, sepatu, dan aksesori dari kayu. Semuanya lengkap. Beberapa pelancong akan memilih membeli di sepanjang jalan ini, ada juga yang membeli buah tangan di terminal utama. Rajasa dan Anelis berjalan riang. Sesekali menanyakan harga barang yang menarik mata. Sayangnya, tak ada satu pun yang cocok untuk mereka.
Di sebuah kios kecil, penjaja baju batik menawarkan dagangannya.
"Daster, kaos oblong, gamis cantik, outer menarik, kacamata anti terik. Mari...mari!!! Mbak, Mas!" seru pemilik kios saat Anelis dan Rajasa lewat. Anelis tertarik. Matanya mengarah pada rok batik yang dipasang paling depan. Melihat pembeli menepi, penjual tadi sigap melayani.
"Pasti cocok sama Mbak yang rupawan. Boleh dicoba, Mbak, monggo," ujar penjual batik.
Rajasa tersenyum, tanda setuju dengan ucapan penjual. Ia beralih melihat kaos bertuliskan Candi Borobudur Magelang. Kaos berbagai merek bisa dibelinya dengan mudah. Uang bukan suatu hal yang sulit ia dapatkan. Hanya saja membeli di penjual seperti ini kerap dilakukan Rajasa. Membantu UMKM berkembang di negeri tercinta.
"Mas, aku ambil ya," ucap Anelis sambil mematutkan rok batik dengan atasannya.
"Iya, lebih dari satu juga boleh," jawab Rajasa mantap.
"Nah, diborong wae, Mbak, wong Mase juga boleh. Ini ada daster, ada gamis juga. Buat orang tua di rumah, Mbak." Promo Penjual batik pada Anelis.
Anelis memilih tiga daster batik untuk mertuanya. Juga outer tanpa lengan bermotif sama. Setengah jam berkutat di kios, penjual menghitung total belanjaan. Kembali tanpa menawar Rajasa membayarnya.
"Makasih, Mbak. Makasih, Mas. Moga rejekinya lancar, moga cepat dapat momongan ya Mbak, Mas," ujar penjual batik. Ia berterimakasih sekaligus mendoakan hal baik. Jarang-jarang dagangannya laku sebanyak itu. Tanpa tawar menawar pula. Senyum Rajasa kembali merekah. Matanya mengerjap senang.
"Amiin, makasih, Bu. Doain habis dari sini langsung jadi. Kami sedang berbulan madu," bisik Rajasa.
Rajasa dan Penjual batik tertawa. Candaan sekaligus doa mereka membuat bahagia. Namun, Anelis tak begitu. Anelis tak menanggapi celoteh mereka. Ia menganggukan kepala, undur diri dari kios batik itu. Menenteng tas kresek hitam, menuju mobil jeep di parkiran. Langit sudah tidak begitu terik. Sebentar lagi senja menghampiri. Sebenarnya masih ada destinasi lain yang ingin Rajasa kunjungi. Melihat Anelis yang cukup lelah, membuatnya tak tega.
"Kita balik ke hotel aja ya, Ne. Keliling ke Balkondesnya lain kali aja," ucap Rajasa.
"Iya, Mas, aku juga udah capek." Anelis menyandarkan dirinya pada kursi mobil.
Perempuan itu menerawang jauh jalanan menuju hotel. Pegunungan disertai lahan-lahan pertanian. Sebentar lagi sawah-sawah itu tak akan ada. Semua bergeser menjadi home stay atau resto ternama. Borobudur sudah menjadi sektor wisata utama Jawa Tengah. Sulit jika mempertahankan pertanian sebagai sumber utama penghasilan masyarakat. Akhirnya banyak yang menjual sawah. Merelakan pada pihak pengembang, baik itu pemerintah maupun swasta. Terpaksa, mereka menjadi pekerja di tanah mereka sendiri.
Lima belas menit berkendara, mobil jeep merah sampai di pelataran hotel Aman Jiwo. Ini malam terakhir mereka. Cuti yang diambil Anelis hanya beberapa hari. Besok mereka sudah harus berada di Jakarta. Sepanjang jalan Rajasa memikirkan doa penjual batik.
Bukankah sebagian orang menikah untuk mendapat keturunan? Bukankah menjadi Ayah dan Ibu adalah sebuah amanah? Salahkah jika ia berpikir sama? Rajasa tak sampai kata mengungkapkannya. Melihat Anelis yang selalu dingin, membuatnya berkecil hati. Sepertinya akhir tahun ini Mamahnya belum bisa menimang cucu lagi.
Senja mulai menyapa. Langit berubah jingga. Memperindah panorama. Sayang, esok hari mereka sudah harus pergi. Anelis menutup pintu kamar mandi. Menghabiskan waktu membersihkan diri. Sengaja ia biarkan keran air menyala. Menyamarkan tangisnya yang menyayat. Ucapan penjual batik sedikit mengusiknya. Satu tahun ini, setelah sah menjadi istri, ia belum menunaikan tugasnya. Padahal, dulu, waktu berstatus sebagai pacar ia bisa dekat dengan Rajasa. Bisa menerima uluran tangan juga hangat peluknya. Keputusan Anelis memberanikan diri menerima pinangan Rajasa untuk membina biduk rumah tangga membuat bayang kehancuran Ibu dan apaknya semakin melekat. Menahannya erat. Seolah, Anelis tak pantas bahagia. Ia begitu takut menjadi seorang Ibu. Ia sama sekali tidak mau menyerahkan hati dan tubuhnya seutuhnya. Egois, sungguh egois. Anelis menyalahkan diri.
Haruskah Rajasa mendapatkan ini semua setelah apa yang ia lakukan untuknya? Bukankah Rajasa yang selalu menemani masa sulitnya? Rajasa selalu mengedepakan segala urusan dirinya. Anelis tak lagi menahan tangis. Ia biarkan dirinya basah dengan air mata. Malam ini Anelis harus bisa menjadi istri untuk Rajasa.
Rajasa memilih mencari kamar mandi di luar hotel. Ia sudah membawa perlengkapan mandi juga baju ganti di ranselnya. Mengantar kembali mobil jeep menjadi alasan meninggalkan Anelis. Menyaksikan Anelis berkeringat, kemudian mendengarnya membasuh tubuh membuat Rajasa tak tahan. Jelas ia tak punya alasan untuk tak mendapatkan itu semua. Ia berhak atas diri Anelis. Rajasa memilih tidak membayangkannya. Jika di rumah mereka punya banyak alasan untuk tidak berduaan. Sudah sama-sama lelah dengan pekerjaan. Rajasa juga kerap ke luar kota atau ke luar negeri. Mereka bisa menunda urusan hati terdalam bahkan melupakannya. Tapi ini di Borobudur. Di salah satu hotel ternyaman. Menunaikan hajat perasaan harusnya menjadi mudah. Mamah Rajasa sengaja mengatur jadwal mereka. Ia sudah sangat ingin melihat putra putri Anelis dan Rajasa.
