Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2-Dua

Anelis mengenakan outfit terbaiknya. Celana panjang hitam dan kemeja lengan tiga perempat. Rambut panjangnya tergerai, sedikit berombak. Rajasa selalu terpana dengan Anelis. Berkali-kali menemukan alasan untuk semakin mencintainya.

"Apaan, Mas, senyam senyum gitu?" tanya Anelis. Polesan lippmate warna nude menempel di bibirnya.

"Cantik banget, mau ke mana?" goda Rajasa.

"Katanya mau naik candi? Nggak jadi? Aku udah siap menggosongkan diri, nih." Anelis meraih kacamata hitamnya. Hadiah dari Rajasa melakukan kunjungan bisnis ke Australia.

"Aku belum mandi, Ne, tunggu bentar ya." Rajasa menyentil hidung pesek Anelis.

"Kebiasaan. Aku udah siap kamunya lama!" bentak Anelis dengan menggerutu.

"Lima menit." Rajasa berlari meraih gagang pintu kamar mandi. Secepat mungkin membersihkan diri.

Anelis mengerucutkan bibirnya hingga manyun sempurna. Usianya masih muda. Baru dua puluh dua tahun. Memilih fokus mengembangkan karier di lembaga bimbingan kerja. Gelar sarjana pendidikannya sengaja tidak ia optimalkan. Harusnya ia menjadi guru seperti ibunya. Anelis anak pertama dari dua bersaudara. Di luar ia begitu kuat, tapi sejatinya hatinya rapuh. Hanya Rajasa yang berhasil membuat Anelis menjadi dirinya sendiri. Manja layaknya gadis belia lainnya. Ponsel pemberian Rajasa berbunyi. Sebuah pesan dari wanita yang tidak disukainya.

[Jaga kesehatan, Ne. Semoga Ibu cepat dapat kabar baik, ya.]

Anelis sengaja mengabaikan pesan tadi. Ia hanya membacanya saja. Ia tidak akrab dengan ibunya. Terlebih saat wanita itu menggugat cerai bapaknya. Baginya, tak ada orang jahat lagi selain Ibu. Anelis menyesap kopi buatan Rajasa yang sudah dingin.

"Selalu sesuai selera," ucapnya puas.

Selesai mandi, Rajasa meletakan dompet juga ponsel pintarnya ke dalam tas. Tak kelupaan kamera DSLR kesayangannya. Fotografi adalah hobinya. Setelah penat mengurus project perusahaan. Rajasa Al-Haindra. Pria dua puluh delapan tahun pemilik perusahaan startup. Sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras. Rajasa bukan terlahir dari keluarga kaya. Segala yang dimilikinya murni karena hasil usaha.

"Lima menitmu tuh, dikali enam mas. Nih, liat lipstiknya ampe kering," ucap Anelis.

"Aku suka malah, Ne, kalau kering. Aku bisa...." Rajasa mendekatkan dirinya pada Anelis. Menatap lurus paras cantik tambatan hatinya. Jantung Anelis berdegup kencang. Gugup tak karuan.

"Bisa beliin kamu lipstik lagi." Lelaki itu mengurungkan niatnya.

Anelis lega. Pagi hari tak perlu dimulai dengan adegan mesra macam drama korea. Sudah berapa kali mereka berdekatan, tetap saja Anelis tidak bisa melepaskan segala keinginan Rajasa. Anelis mengunci rapat dirinya untuk segala bentuk sentuhan fisik. Padahal mereka sudah menikah.

Mobil jeep merah terparkir di pelataran hotel Aman Jiwo. Rajasa sengaja tidak menyewa supir, ia ingin lebih leluasa berkendara bersama istrinya. Ini perjalanan ke tiga Rajasa ke Borobudur. Pertama saat mengadakan event tahunan Borobudur Marathon Festival. Perusahaannya menjadi sponsor acara tersebut. Rajasa juga suka lari. Event itu menarik minatnya berkali-kali. Mobil Jeep merah itu melesat pergi. Rajasa sengaja memutar jalan. Melewati belakang Candi Borobudur. Baru kembali ke tempat parkir utama.

Anelis memperbaiki letak kacamata. Mematut dirinya pada spion. Sinar mentari terasa terik. Dasar Anelis hobinya ngeyel, diajak sore saja tidak mau. Ngotot naik candi disiang bolong gini. "Aku udah pake SPF 30+++ kok, Mas. Aman," ucapnya percaya diri.

Rajasa tak menghiraukan celoteh istrinya. Ia mendekat ke pedagang yang menjajakan topi rotan. Memilih dengan motif bunga sepatu di sisi kanan. Tanpa menawar Rajasa membayarnya. Anelis menghalau mentari dengan tangan. Belum sampai puncak saja sudah lelah rasanya. Mungkin memang begitu suatu kehidupan. Tak ada namanya kemudahan. Setiap langkah harus diperjuangkan.

"Dasar istriku, ngeyelan. Nih, pakai biar tambah cantic." Rajasa memakaikan topi rotan di kepala Anelis. "Aku nggak mau rambut legammu jadi kusam," ujar Rajasa seraya memastikan topi itu sempurna dengan outfit Anelis. Istrinya begitu cantik paripurna.

Rajasa menggandeng tangan Anelis. Mengaliri energi untuk menaiki candi. "Lets go!” Rajasa menarik Anelis.

Anelis pun tak kuasa menolak. Kakinya mengimbangi langkah Rajasa. Ia meyambut genggaman tangan itu. Berjalan bersama menaiki punden berundak candi. Terkadang kita tidak perlu alasan untuk jatuh cinta. Cukup memberikan yang terbaik tanpa balas pun begitu bahagia. Satu dua anak tangga Anelis masih terbiasa. Di tangga arca bagian dua, keringatnya mulai mengucur deras.

"Istirahat dulu Mas, aku capek. Dulu waktu SD rasanya kuat aku nyampe puncak. Sekarang semakin tua, semakin lemah aja ya fisiknya," ujar Anelis lelah.

"Kamu pernah ke sini, Ne?" tanya Rajasa. Ia sigap menyodorkan minum pada Anelis. Rajasa sengaja membawanya. Ia selalu satu langkah lebih depan. Tas ranselnya penuh segala perlengkapan.

"Iya, waktu Omku wisuda dari UGM. Satu keluarga diboyong ke Candi Borobudur sama Mbah kakung. Andai Mbah kakung masih ada, nggak mungkin Bapak sama Ibu kayak gitu.” Anelis bersenandika. Memori masa kecilnya teringat kembali.

Ingin rasanya Rajasa menanyakan lebih lanjut. Mencari tahu tentang sebenarnya kisah keluarga Anelis. Rajasa ingin tahu setiap detail cerita. Biar bagian rumpang pada diri Anelis segera terlengkapi. Yang Rajasa tahu, Anelis adalah broken home survivor. Saat masa-masa sulitnya, Rajasa menjadi malaikat penyelamat Anelis. Mendampinginya mengeluarkan tangis.

***

Akhir semester empat Anelis.

"Mas, kamu lagi apa, Mas? bisa ke kos sebentar?" tanya Anelis sambil menahan tangis. Hatinya begitu terisis.

‘Aku lagi di kantor, Ne. Kamu kenapa? baik-baik aja, ‘kan?’ tanya Rajasa khawatir.

"Mas, aku nggak kuat, Mas, aku pingin pulang." Isaknya semakin terasa. Anelis tak bisa menahannya.

‘Oke. Tunggu sebentar, Ne. Kamu nggak usah nangis, aku ke kos sekarang.’ Rajasa menutup sambungan telepon.

Tanpa memikirkan banyak hal, Rajasa meraih kunci mobilnya. Menyampaikan pada sekretaris pribadi untuk menunda segala pertemuan. Atur jadwal ulang. Sebelumnya, ia tak pernah begitu. Rajasa pemimpin perusahaan yang begitu menghormati klien. Tapi demi Anelis, ia seolah tak peduli. Saat itu juga ia harus ada didekatnya. Mobil Toyota Calya miliknya terparkir di depan kos berlantai dua. Ia buru-buru menutup pintu mobil, memastikan sampai bunyi 'beep' keluar. Rajasa menunggu di teras utama kos Kenanga. Salah satu kos putri di lingkungan Universitas Negeri Jakarta.

Anelis menyahut sweater miliknya. Membawa tas slempang, menuruni anak tangga. Gayanya sederhana. Ia begitu bersahaja. Itu juga yang membuat Rajasa tak bisa berpaling darinya. Anelis menutup hidungnya dengan tisu. Matanya sembab.

"Keluar aja ya, Mas, aku suntuk di kos," jelas Anelis. Seketika Rajasa membuka pintu mobil. Membawa pergi Anelis ke tempat sepi.

***

"Kok ke Masjid, Mas?" tanya Anelis bingung saat mobil Rajasa terparkir di pelataran Masjid.

"Orang nangis, kalut, suntuk paling tepat ke masjid. Mendekatkan diri sama pencipta. Mengambir air wudu, melantunkan doa dalam salatnya," ujar Rajasa.

"Aku nggak mau. Aku lagi sedih gini kok disuruh solat. Gimana to, Mas?" tanya Anelis semakin bingung.

"Ya udah. Aku aja yang solat. Kamu tunggu sebentar." Rajasa meninggalkan Anelis di teras Masjid.

Setelah melakukan dua rakaat duha, Rajasa membuka percakapannya.

"Ada apa sampai minta aku datang?" tanyanya lembut. Anelis tak menjawab. Ia hanya membiarkan air matanya tumpah. Sebuah pesan ia tunjukkan pada Rajasa.

[Mbak, pulang. Ibu udah nggak di rumah.]

"Maksudnya gimana? Aku nggak paham Ne." Rajasa meraba hati Anelis.

"Ibu sama Bapak mau cerai. Konflik mereka sepertinya nggak bisa dibendung lagi. Aku harus gimana, Mas? Andara pasti bingung di sana," jawab Anelis.

"Kamu mau pulang? Mau aku antar?" Alih-alih bertanya tentang masalah orang tua Anelis, Rajasa justru menawarkan diri.

"Awalnya iya. Aku pingin pulang. Tapi, aku nggak bias, Mas. Ujianku sebentar lagi. Aku terpaksa harus stay di sini," terang Anelis.

"Ya udah, kamu tenangin diri dulu. Biar bisa tenangin Andara. Besok kalau waktu liburmu tiba, kamu bisa pulang," ujar Rajasa.

"Mas, aku nggak pernah nyangka mereka akan seperti ini. Mas, aku nggak siap jadi anak broken home." Anelis tertunduk lesu. Membiarkan air matanya mengalir begitu saja.

Melihat Anelis menangis, Rajasa tak hanya diam. Ia mendekat, menepuk lembut punggung Anelis. Ia tak mangerti harus berbuat apa. Sejak kecil ia tak pernah mendapati orang tuanya bertengkar. Atau melihat orang tuanya bercerita. Sekali pun Rajasa belum pernah melihat ayahnya. Ia tak pernah tahu seperti apa rasanya punya keluarga lengkap. Meski tak punya pengalaman, Rajasa ikut merasa luka. Melihat gadis manis pencuri hatinya harus menerima kenyataan baru. Biasa hidup lengkap dengan keluarga, sekarang terpisah karena keegoisan semata. Sebuah perbuatan halal namun dibenci Tuhan.

Sejak saat itu, Rajasa bertekad. Tak akan membuat Anelis sedih. Tak akan membiarkan Anelis menitihkan air mata. Rajasa paham betul perasaan sepi yang diakibatkan oleh sebuah keluarga pincang. Keluarga tanpa Ayah atau Ibu. Rajasa semakin ingin menjadi bagian dari Anelis. Meski cintanya belum sempurna diterima.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel