Bab 12- Duabelas
Pagi kembali datang menemani. Meski sembab, mereka tetap semangat melanjutkan hidupnya. Bahkan lebih antusias. Hari ini Andara dan Ibunya kembali ke tempat semula. Meninggalkan Anelis yang masih bingung dengan semua cerita. Setidaknya, ia tak lagi menutup diri. Dipeluknya erat wanita yang semalam menangis bersamanya. Anelis, kembali bisa memanggilnya Ibu. Dan setelah perpisahan ini, akan ada banyak perjumpaan-perjumpaan lainnya. Yang sama-sama mereka ingini.
Rajasa masih belum ada kabarnya. Anelis semakin dilanda rindu. Benar kata orang, jarak mengajarkan banyak hal tentang perasaan. Dengan jarak seseorang mengerti, begitu berartinya pertemuan-pertemuan di dunia. Karena belum tentu pada dimensi lain bisa dipertemukan. Tanpa jarak itu sendiri cinta tiada berarti. Setiap hari bertatap muka bisa saja malah membuat lupa. Atau terlalu dekat melihatnya justru membuat buta. Seperti membaca buku, jika menempel dimata tulisan-tulisan indah tetap tak terbaca. Kita butuh jarak agar bisa mengeja kata per kata. Sebegitu pentingnya jarak dalam sebuah hubungan membuat jarak juga lah yang menjelaskan pada semua seberapa besar orang saling mencinta.
***
Rajasa begitu berdebar jantungnya. Setelah menghubungi dan mencoba melobi, dirinya diizinkan untuk presentasi. Tidak di kantor Pak Rajendra, melainkan di rumahnya langsung. Di sebuah hunian mewah di Distrik 11 Singapura. Newton Hawker Centre wilayah yang berdekatan dengan Orchard Road dan CBD. Wilayah ini dilalui oleh dua jalur MRT yang bisa menghubungkan bagian lain di Singapura. Kabarnya Novena akan menjadi kompleks perawatan kesehatan terbesar di negeri tersebut sepuluh tahun yang akan datang. Dilengkapi dengan fasilitas publik juga swasta dan sekolah kedokteran.
Rajasa dan Dimas disambut perempuan manis yang begitu sinis senyumnya. Seolah tak suka dengan kedatangan mereka.
"Permisi, bisa bertemu dengan Pak Rajendra? " tanya Dimas pada perempuan yang menyambutnya di depan.
"Pasti kalian yang membuat Pak Rajendra memintaku mengurusi urusannya. Sudah meminta kerja sama, tapi malah tidak bisa presentasi di kantor sendiri. Sekarang malah jauh-jauh ke Singapura demi dapat hoki!" Wajahnya begitu tak suka melihat Rajasa dan Dimas. Mendengar kata-kata perempuan tersebut soal perusahaan membuat Rajasa kesal. Namun, ini proyek berharga yang tak bisa gagal. Ia harus sabar menghadapi.
"Mohon maaf, Mrs. Bisa kami bertemu dengan Pak Rajendra?" tanyanya lagi.
"Tidak perlu. Kalian tidak perlu bertemu Pak Rajendra. Hari ini Pak Rajendra sudah menyetujui semua proposal kerja sama yang kalian kirimkan lewat email. Besok kalian akan mendapat balasannya di hari kerja. Setelah itu dana investasi perusahaan kami akan kalian terima," terangnya singkat. Rajasa dan Dimas terkseiap.
"Oke tugasku sudah selesai. Terima kasih sudah membuatku bekerja di hari libur," ucapnya dengan menekankan suara pada hari libur Perempuan tadi pergi meninggalkan Dimas dan Rajasa. Dalam hati Rajasa ingin menimpali lagi, sombong sekali dia. Namun, langkahnya sudah tertahan oleh Dimas.
"Ayolah Bos, yang penting dana ngalir," ucap Dimas. Rajasa pun menuruti meski hatinya tidak terima.
"Kita langsung balik aja ke Jakarta," ucap Rajasa mantap.
"Nyampe sini nggak jalan-jalan dulu Sa, loe tega yah. Udah di Singapur, Bro, sekalian refreshing lah. Kita masih punya waktu sampai besok," terang Dimas. Ia sebal sekali melihat tingkah sahabatnya. Buat apa mereka membawa baju ganti segala.
"Gue, kangen sama Ane." Rajasa melangkah pergi. Dimas hanya bisa menundukkan kepala, kecewa. Ia tetap tak bisa menuruti kemamuan dirinya.
Perjalanan Singapura, Jakarta kali ini terasa begitu lama bagi Rajasa. Ia ingin cepat-cepat sampai. Bertemu Anelis yang sengaja tak diberi kabar. Melihat perempuan ketus, angkuh juga sombong membuatnya mengingat istrinya. Di dunia ini tak ada wanita yang bebalnya macam Anelis. Jika tingkatan poin teratas wanita terjutek, istrinya lah juaranya. Namun, hari ini, ia bertemu dengan perempuan yang bahkan lebih parah dari Anelis. Ingin rasanya kalimat kasar ia lontarkan. Akan tetapi demi mega proyek ekspansi perusahaan membuatnya bersabar. Itu juga yang membuat ia merasa begitu terhina. Rajasa membuka pesan masuk di ponselnya. Ada banyak pesan dari Andara juga Anelis. Ia ingin segera mendengar cerita mereka. Langsung dari mulut Anelis.
Jam sepuluh malam Rajasa sampai di rumah. Ia membuka pintu, sebisa mungkin tidak membangunkan istrinya. Setelah melakukan rutinitas cuci tangan, kaki dan muka Rajasa menuju kamar mereka. Anelis sedang berbaring. Menghadap jendela dengan sinar bulan menembus ke dalam. Tanpa permisi Rajasa mendekat, menghambur pada tubuh Anelis. Memeluknya dari belakang. Ia begitu rindu, pertemuannya dengan wanita angkuh itu membuatnya gundah. Anelis yang mengetahui tangan Rajasa sudah melingkar di perutnya, membiarkan saja. Ia merespons dengan menggenggam tangan Rajasa.
"Kejutan apa lagi, Mas? Setelah dua malam tak memberi kabar?" tanya Anelis mesra.
Paham maksud kalimat istrinya, Rajasa tersenyum. Sengaja ia eratkan pelukannya. "Biar kalian bisa bicara. Biar Anelis kembali seperti sedia kala. Aku pingin kita utuh,
Ne. Seperti pasangan pada umumnya," ucap Rajasa lirih.
Anelis mengencangkan genggamannya. Hatinya terasa bergetar. Sudah saatnya ia tak menyiksa Rajasa dengan masa tunggunya. Perempuan itu membalikkan badan. Ucapan suaminya terlalu serius. Ia mengerjapkan mata.
"Maksudnya apa, Mas?" tanya Anelis menutupi. Rajasa memperlihatkan kembali senyum menawannya.
"Biar bisa seperti yang lain intinya itu," jawab Rajasa. Rembulan begitu terang. Membuat wajah itu terlihat. Matanya sayu juga sendu.
"Hari ini aku ketemu sama perempuan yang angkuhnya minta ampun. Persis kamu, Ne. Juteknya, judesnya sama nyebelinnya. Dia sombong banget menghina perusahaan. Aku nggak diminta presentasi langsung oke saja katanya. Padahal jauh-jauh ke Singapura biar jelas seperti apa arah kerja samanya. Malah menghinaku dengan cara seperti itu. Tapi aku sebal, Ne, aku nggak bisa nolak. Kata Dimas ikhlasin aja. Karena itu kesempatana dan keuntungan buat perusahaan. Kalau Dimas nggak ngalangin udah aku kata-katain, Ne, perempuan tadi." Mulut Rajasa begitu enteng membicarakan perempuan yang dijumpainya di rumah Pak Rajendra. Baginya mendapatkan sesuatu dengan mudah itu mencederai nuraninya. Ia terbiasa mengandalkan usahanya penuh untuk meraih sesuatu.
Anelis yang sudah paham sifat Rajasa menimpali, "Cantiknya nggak kaya aku, kan? tetap cantik aku?" Ia sedikit membuat nada kesal.
Rajasa terkekeh. Istrinya manis juga kalau sedang manja. "Dasar kamu, Ne bisa aja. Aku curhat malah dipelesetin. Iya, tetep kamu paling cantik," jawab Rajasa.
Meski dalam hati Rajasa bicara berbeda. Sekilas karyawan Pak Rajendra itu tampak jelita. "Ne, gimana sama Ibu? Sudah selesai semua urusannya?" Kini wajahnya tak lagi kesal, melainkan lelah.
Anelis mengangguk. Matanya mulai berkaca, tapi tidak tepat jika malam ini ia memaksa Rajasa mendengar semua. Suaminya baru pulang kerja. Terlebih mendapat perlakuan yang tidak mengenakan. Tak pantas rasanya jika ia menambah kelelahan itu.
"Apa yang kamu pikirkan tentang mereka, Ne? Sampai-sampai memengaruhi rumah tangga kita," tanya Rajasa pedih. Tangannya kembali mengusap rambut Anelis. Dipandanginya wanita yang membuatnya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya.
"Aku, selalu melihat mereka di kehidupan kita. Aku, membawa pengalaman itu bersama jiwaku. Bahkan saat ini aku melihat mereka, Mas. Tepat di belakangmu. Terutama Bapak. Seolah mengamati gerak gerik kita sekarang. Aku...belum bisa lepas karena itu." Anelis meletakan tangannya pada wajah Rajasa. Mencari keteguhan hati mereka.
"Dimas punya kenalan psikiater ,Ne. Aku sudah punya kontak emailnya. Kalau kita coba bicara gimana? Sekadar mencari tahu akar masalahnya. Siapa tahu bisa membantu." Rajasa berhati-hati. Ia tak mau Anelis tersinggung.
Anelis menepis air matanya. Tak semestinya urusan rumah tangga mereka berantakan karena luka masa lalunya. Ia menegarkan dirinya, mengusap kembali wajah suaminya. Kali ini hidung mancung yang selalu membuatnya iri. Anelis memandang Rajasa lekat.
"Nggak perlu, Mas. Kita bisa atasi sama-sama," ucapnya lembut.
Rajasa memejamkan mata. Bayangan karyawan Pak Rajendra melintas begitu saja. Kenapa di saat seperti ini justru wanita itu yang ia pikirkan. Rajasa pun merengkuh Anelis dalam peluknya. Ia mengecup mesra kening istrinya.
Anelis pasrah. Jika malam-malamnya nanti harus berubah. Baginya tak masalah jika disetiap malam ia harus menangis menahan sakit. Saat ini cinta Rajasa jauh lebih berharga. Sudah waktunya ia berkorban rasa. Ucapan ibunya benar, tak selamanya Rajasa bisa mencintai kalau dirinya tak cinta. Tak selamanya juga Rajasa bersikap sama, jika ia tak mencoba membalasnya. Pada tahap pernikahan, cinta tak hanya urusan kata. Melainkan tindakan disetiap aktivitas harian. Bertahan bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun membina rumah tangga tetap bukan karena cinta saja. Ada keikhlasan, keridhaan juga sebuah komitmen bersama yang senantiasa dipupuk setiap harinya.
Bulir bening tetap mengalir dari matanya. Bayang Ibu dan bapaknya yang penuh cinta lalu sirna juga tetap ada. Wajah Andara yang harus dewasa sebelum usianya juga ikut datang. Pun kerabatnya yang gencar menyalahkan. Anelis memejamkan mata. Membiarkan Rajasa berkuasa penuh atas dirinya. Hanya saja di memori pikiran Rajasa saat ini, tak hanya paras ayu istrinya. Sekelabat perempuan dengan senyum sinis dan manis itu ikut hadir di antara cinta mereka berdua.
