Bab 13-Tigabelas
Setelah melakukan kewajiban sebagai seorang hamba, tak biasanya Rajasa memilih kembali ke kamar. Ia merasa begitu lelah. Pertama kali mandi pagi membuatnya ingin tidur kembali. Anelis pun pergi menuju kantor naik ojek online. Ia tak tega membangunkan Rajasa. Sengaja ia membiarkan suaminya bermalas-malas. Ada kalanya orang yang gila kerja harus dipaksa istirahat. Cara terbaikknya adalah dengan tidak membangunkannya. Anelis nampak begitu cantik dengan balutan jins abu-abu dan kemeja biru dongker lengan panjang. Ia kembali memakai gelang pemberian Rajasa. Sebelum berangkat kerja, ia membuat kopi hitam dan roti telur untuk sarapan. Perempuan itu, meletakkannya di atas meja. Menutupi dengan tudung saji. Tak lupa ia selipkan pesan cinta di sana. Roti telor terenak di dunia, made by ANELIS. Sebuah lambang hati ia sematkan. Pertanda bahwa dirinya mulai memberikan hatinya untuk Rajasa. Meski semalam tubuhnya belum seutuhnya rela, ia berhasil menuntaskannya. Anelis tersenyum getir.
Jam sembilan pagi Rajasa baru bangun. Benar-benar bukan seperti dirinya. Ia bergegas mencuci muka, mencari Anelis di luar kamar. Tak ia dapati sosok wanita yang semalam bersamanya. Sudah pasti Anelis berangkat tanpa mengganggunya. Pagi ini Rajasa melihat tudung saji di atas meja. Biasanya meja makan itu selalu kosong. Rajasa gembira. Ini kali pertama Anelis membuat sarapan. Rajasa mengambil secarik kertas itu. Hatinya kembali berbunga. Dihabiskannya roti telur terenak di dunia buatan istrinya. Meski gosong, Rajasa tetap melahapnya. Ia menyesap kopi yang sudah dingin. Wajahnya berubah masam. Pahit sekali. Anelis lupa menambahkan gula lebih banyak untuk kopi suaminya. Meski begitu, Rajasa tetap bahagia. Hari ini dirinya mendapatkan energi lebih untuk bekerja.
***
Dimas dan Anita, sekretaris pribadi Rajasa sudah menanti. Ada beberapa lembar kerja yang harus segera Rajasa periksa. Dengan teliti Rajasa membaca berkas dari Anita.
"Semuanya oke, Pak. Dana juga sudah masuk rekening perusahaan. Selebihnya kita tinggal membuat laporan bulanan terkait keuntungan. Pada poin kerja sama mereka minta dikirim lewat email saja," terang Anita.
Rajasa tetap memeriksa berkas itu satu persatu. Bakan Rajasa namanya kalau kerja tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Dimas yang juga sudah membaca berulang sedikit tersinggung.
"Nggak percayaan banget sih, orangnya. Ini loh loe punya gue and Anita yang kerjanya ngurus data Sa," ucap Dimas kesal.
"Setidaknya gue mastiin, Dim. Takutnya ada yang kelewat," jawab Rajasa.
"Ya, kan tinggal liat di flowchat aja Bos. Udah jelas begitu," ucap Dimas gemas.
Dimas yang kesal memberi isyarat pada Anita. Ia mengajak Anita keluar. Rajasa tetap asik dengan berkas-berkas itu. Tak peduli Dimas dan Anita sudah pergi. Belum selesai pekerjaannya, ponselnya bergetar disertai nada dering kencang. Sebuah panggilan dari wanita kesayangan.
"Halo Mah, lagi apa?" Rajasa langsung menyapa.
"Assalamu'alaikum," jawab Mamahnya.
"Iya Mah, iya. Waalaikumsalam. Lagi apa, Mah?" tanyanya kembali. Ia selalu menanyakan hal sama disetiap panggilan udara bersama mamahnya. Bahkan menyerobot duluan bertanya.
"Lagi di Lapis Legit, Sa. Ada sedikit urusan," jawabnya gamang.
"Urusan apa Mah? Nggak ada masalah, kan?" Rajasa khawatir terjadi sesuatu.
"Nggak ada ,Sa. Aman semua. Mamah cuma kangen sama tempat ini aja."
"Mah...Mamah tuh nggak usah banyak jalan. Banyak ngurusin toko. Kan, udah ada manajer sama karyawan, Mah. Kalau mau fokus di Daisha aja. Nggak usah urus toko lama." Rajasa tak suka mamahnya begitu memikirkan pekerjaan. Uangnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. "Kalau besok ada masalah pasti mereka lapor. Udah waktunya Mamah tuh istirahat." Rajasa menceramahi mamahnya panjang lebar.
"Mamah bukannya jalan, Sa, Mamah bosan kalau cuma ongkang-ongkang kaki. Daisha udah mapan dari sananya. Mamah nggak paham juga sistem penjualan kayak punyamu itu. Makanya paling asik ngurus Lapis Legit." Bu Karti membela diri. Tak terima anaknya menghakimi. "Mamah nggak ada kerjaan makanya nyari kegiatan. Besok kalau udah ada cucu, Mamah berhenti, deh. Mamah juga mau pindah ke Jakarta ikut kamu sama Anelis." Suaranya berubah semangat. Membahas cucu selalu membuatnya ingin hidup lebih lama. "Gimana, Sa, Anelis telat nggak?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya.
Rajasa terdiam. Akhir-akhir ini mamahnya begitu gencar membahas cucu. Ia takut ada sesuatu. Rajasa tetap menjawab sama. "Doain, Mah secepatnya. Nanti Rajasa tanya deh sama Anelis telat apa nggak," jawabnya geli. Diingatnya wajah cantik istrinya semalam. Rajasa tersenyum sendiri.
"Doain ya, terus, Sa, tapi kalau nggak usaha susah. Coba besok main ke rumah, minta Anelis pijet sama Mbok Sedah. Dulu Mamah juga dipijet langsung isi kamu, Sa." Bu Karti semakin antusias.
"Ya Mah, kalau udah pulang Rajasa bicarain sama Ane. Ma, maaf Rajasa lagi di kantor." Suaranya melemah. Ia masih ingin mendengar celoteh mamahnya. Tapi berkas tadi telanjur mengisi isi kepala.
"Iya Sa, nggak apa-apa. Sehat sehat kamu di sana, ya. Minggu ini Mamah tunggu." Rajasa mengakhiri telepon dari mamahnya. Ia kembali ke meja kerja.
Begitulah orang tua, tidak pernah khawatir waktunya tersita untuk anaknya. Pagi, siang, malam mereka tak peduli. Tetap membersamai buah hati. Hanya saja setelah anak mereka dewasa, mereka sibuk dengan dunianya. Meski kecewa Bu Karti tetap bersyukur. Ia memaklumi kesibukan Rajasa. Biasanya obrolan mereka bisa sampai berjam-jam lamanya.
Setelah memastikan semua berkas sesuai standar perfectionisnya Rajasa bernapas lega. Ia biarkan udara kembali mengisi ruang kerjanya. Rasa-rasanya kalau sedang kerja tidak boleh ada yang mengganggu. Yang boleh ia dengar hanyalah detak jantungnya sendiri. Rajasa kembali membuka ponsel. Melakukan aksi bersih-bersih file dan chace. Ia juga rajin memilah pesan whatsaap di ponselnya. Matanya tertuju pada alamat email dari Dimas. Daripada Anelis dipijat Mbok Sedah lebih baik ia mencoba dulu menghubungi kenalan Dimas.
**Hallo, Mr. Abbas
I'm Rajasa from Indonesia. Can you help me about my problems? If you can, I will be very grateful. Please reply to my email immediately. I got your email from my best friend, Dimas Nasution**.
Rajasa mengklik tombol send. Ia ingin segera mendapat jawaban atas masalah Anelis. Ia memilih tidak gegabah dalam urusan ini. Ia tak buru-buru meminta Anelis memeriksakan diri. Anelis sudah cukup menunjukkan progres. Tinggal Allah menghendaki atau tidak, untuk mereka memiliki momongan. Rajasa semakin percaya diri dan siap memboyong ibunya ke Jakarta. Ia mulai mencari tahu tentang kemungkinan-kemungkinan jenis trauma bagi para broken home survivor. Ia berselancar di dunia maya. Rajasa larut dalam jaringan internet di perusahannya.
