Bab 11-Sebelas
Anelis bersikukuh menutup kamarnya. Setelah meghabiskan sajian dari ibunya, ia tetap tak mau mengobrol lebih banyak. Anelis asik sendiri mengotak-atik ponsel dan leptopnya. Berkali-kali melihat pesan masuk, berharap Rajasa memberitahu sejauh mana pekerjaannya. Mungkin suaminya sedang sibuk, atau mungkin klient kali ini benar-benar penting. Sampai Rajasa tak sempat memberi kabar. Anelis membiarkan dirinya kembali larut dalam tulisan demi tulisan di blog pribadi. Ia fokus membenahi tampilan blognya itu. Andara mengetuk pintu. Berusaha menarik perhatikan kakaknya lagi. Jauh-jauh datang ke Jakarta, kasihan jika ibunya tak mendapatkan perhatian.
"Mbak, lagi apa?" tanya Andara dari balik pintu. "Aku boleh masuk ya, Mbak," tambahnya lagi.
Anelis menegakkan diri, membuka kunci kemudian membiarkan Andara masuk. Ia tetap melihat keluar pintu, mencari sosok wanita yang ia panggil Ibu.
"Ibu kecapean Mbak, lagi istirahat di kamar. Kenapa sih, anti banget sama Ibu. Mbak tuh, nggak tahu cerita yang sebenarnya, makanya Mbak begitu," ucap Andara. Ia beringsut ke kasur Anelis.
Gadis kecil yang kini menjelma menjadi perempuan dewasa. Bahkan kematangan berpikirnya jauh lebih baik dibanding Anelis. Andara merebahkan badannya, ikut membuka ponsel. Melihat kakaknya yang tak mau diganggu Andara pun malu sendiri. Namun, tak ada kesempatan lagi untuk bicara. Kapan lagi kalau tidak hari ini.
"Mbak, bentar lagi aku kuliah. Aku pingin ikut Ibu ke Jawa, Mbak. Kuliah di sana aja. Kira-kira bisa nggak ya, Mbak?" Andara membuka obrolan dengan tetap memainkan ponsel.
Sungguh Anelis keterlaluan. Saking sibuknya mengurus diri sendiri ia lupa jika adik manisnya yang dulu begitu manja sebentar lagi akan kuliah. Ia bahkan tak ingat kalau adiknya sudah menempuh ujian nasional. Hari-harinya jelas free dan bisa ke sana kemari. Pantas saja Rajasa meminta Andara datang. Sesal tiba-tiba muncul di hati Anelis. Sekejam-kejamnya ia tak sampai hati jika membiarkan adiknya bicara sendiri.
"Terus Bapak bagaimana?" tanyanya. Anelis selalu memikirkan Pak Arkain. Apa pun masalah keluarga, ia sangkut pautkan. Termasuk masalah kebahagiaaanya.
"Mbak, kan yang mau kuliah Andara. Bisa nggak sih, Mbak nggak mikirin Bapak? Apa-apa Bapak terus," jawab Andara kesal.
"Loh, yang biayain Mbak kan Bapak Ra, yang ngurus SMA kamu juga Bapak. Terus kita harus berterima kasih lagi sama siapa kalau bukan Bapak?" tanya Anelis. Kali ini leptopnya sudah ia biarkan mati.
Andara mendudukan diri. Menatap lurus saudara sedarahnya. "Mbak, males tahu kalau Mbak udah mbahas Bapak. Kaya radio bodol diulang-ulang terus kisahnya. Bapak itu nggak sebaik yang Mbak tahu. Mbak nggak pernah berusaha nanya sama aku atau Ibu. Atau minimal tanya pendapat kita. Yang di kepala Mbak, cuma Bapak. Bapak. Bapak. Mbak tuh ya, selalu penuh dengan diri sendiri. Egois!" Andara meninggikan suara. "Percumah ngomong sama Mbak!" imbuhnya lagi. Ia memilih meninggalkan kakaknya. Malas bicara dengan orang yang sudah tidak nyambung dengan frekuensinya.
Anelis terdiam. Kata-kata adiknya membuatnya geram. Sungguh, ia enggan berurusan dengan keluarganya lagi. Pasti selalu seperti itu. Semua orang menganggap dirinya salah. Membuat ia seolah-olah tak pandai memahami situasi. Ia anak tertua jelas yang diandalkan dalam urusan keluarga, tapi nyatanya dirinya gagal. Ia hanya bisa menyaksikan orang tuanya berpisah. Namun, jauh sebelum itu, bukankah semua sudah ada jalan ceritanya? Semua sudah terlalui melalui berbagai macam opsi. Hingga kedua orangtuanya memilih bercerai jelas bukan mutlak salahnya. Hanya karena ia tak segera pulang memenuhi pesan dari adiknya lantas semua menjadi tanggung jawabnya.
Anelis mengukir senyum di bibir, sekaligus membiarkan air matanya mengalir. Di apartemen sepi itu, meski mereka bertiga tak ada canda tawa. Tiga wanita itu memutuskan sibuk denga pikirannya masing-masing. Menyelam lebih dalam ke hati mereka sendiri-sendiri.
Anelis tetap menutup diri. Hingga senja sempurna menyapa ia tetap tak beranjak. Bu Hening yang sudah menyiapkan menu tambahan hanya bisa pasrah. Terlebih putri ke duanya juga sudah tidak mau merayu kakaknya. Anelis juga tak tampak melakukan rutinitasnya sebagai hamba. Dalam hati, ibunya tetap berprasangka baik. Pasti Anelis solat di kamar. Ia takut Anelis meninggalkan kewajibannya karena banyak masalah. Setelah menikah, Rajasa juga bercerita kalau Anelis berubah. Wanita itu menepis pikiran buruknya. Hingga malam sempurna membayang, tetap tak ada tanda-tanda langkah kaki Anelis. Andara dan ibunya memilih menghabiskan makan malam bersama. Membiarkan suara sendok dan piring beradu tanpa menambah percakapan. Mereka makan dalam diam.
***
Bulan bersiap menuju peraduan. Mengintai malam dengan begitu tenang. Sekalipun bulan tak punya cahaya, dirinya tetap berusaha menerangi, dengan memantulkan cahaya dari pemilik sebenarnya. Ia tak pernah memaksa menjadi matahari yang teriknya bisa menghangatkan semesta ini. Ia cukup menjadi bulan, yang setiap malam menemani tidur putrinya. Dulu Anelis menyanyikan lagu itu. Lagu Ambilkan Bulan Bu di Festival tembang bocah, saat ia kelas tiga SD. Masih begitu segar ingatannya akan kecintaan anaknya pada lagu. Ia membawa terus aksi panggung Anelis tersebut dalam foto. Mendekapnya erat. Kini ia hanya bisa terdiam. Melihat cahaya bulan dari tirai ruang tengah apartemen putrinya.
Sampai kapan dirinya akan berdiam diri? Sampai kapan ia biarkan buah hatinya hidup dalam kesalahpahaman? Air matanya merambas keluar, tergugu ia menahan.
Anelis membuka pintu. Ada satu hal yang kurang ia siapkan. Tidak mengambil cukup banyak air. Setiap malam ia selalu tidur malam. Kalaupun sudah tidur, ia tetap akan bangun di jam dua dini hari. Dilihatnya sosok wanita cantik yang sudah menganggalkan kerudungnya. Rambutnya panjang dan hitam legam. Sekilas orang yang melihat akan banyak tahu, rambut legam milik Anelis menurun dari wanita itu. Ibunya yang dulu begitu ia idolakan. Seorang Ibu multitalenta yang selalu menjadi acuannya berkembang. Ibunya pandai olahraga, Anelis berusaha les olahraga juga. Ibunya pandai bernyanyi, Anelis ikutan latihan nyanyi. Yang jelas sama adalah kecerdasaannya dalam dunia sastra. Tanpa diajari, bakat itu sudah mewarisi. Anelis mengabaikan wanita itu. Tetap mengambil air ke dapur. Hanya saat langkahnya akan kembali ke kamar, Bu Hening menahannya.
"Ne, bisa bicara sebentar?" Tanya Bu Hening pada Anelis.
Anelis enggan menanggapi. Ia ingin sekali kembali ke kamar. "Ne, bulannya bagus. Kamu ingat gak dulu suka nyanyi lagu Ambilkan Bulan Bu?" tanyanya memancing obrolan.
Anelis tertahan. Kenapa harus lagu itu yang jadi pertanyaan. Ya. Ia suka sekali lagu ambilkan bulan. Lagu itu, lagu bersama ibunya. Kedekatan mereka begitu terasa.
"Ne, izinkan Ibu bicara. Ibu mohon, untuk malam ini dengarkan semua. Ibu janji, setelah Ibu cerita semua, Ibu nggak akan menghubungi kamu lagi. Kalau perlu Ane, bisa menganggap Ibu tiada," ucapnya penuh harap. Ia begitu ingin anaknya mengetahui segalanya.
Anelis terpancing. Tak masalah mendengarkan malam ini. Besok ia tak perlu disibukkan lagi dengan urusan ibunya. Anelis memilih duduk di kursi. Sinar bulan menerangi wajah ayu wanita itu. Persis saat Anelis masih kecil dulu. Ibunya selalu menyapa lebih dulu. Perlahan Bu Hening mendekat. Duduk bersebelahan dengan Anelis. Ingin sekali memeluknya, atau menggenggam tangannya, tapi ia tahu diri. Ia tak mau serakah. Cukup duduk bersama saja sudah membuat bahagia.
"Ne, Anelis sayang. Hidup itu kadang tak menentu. Hari ini kita bahagia, tertawa, besok lusa bisa jadi kita terluka. Atau sebaliknya.” Bu Hening mengatur ritme napasnya. ”Sejak berpisah dengan Bapak, Ibu memang memilih menikah lagi dengan pria tua yang kata kamu lebih pantas menjadi Ayah ibu." Wanita cantik itu tersenyum. Mengingat kemarahan putrinya dulu. "Meski begitu, ternyata Ibu mendapatkan hal baik. Terbukti hari ini Ibu sudah berjilbab. Berpakaian sesuai syariat. Tapi Ne, namanya hidup manusia kita nggak pernah tahu. Kamu tahu Ne, hari ini Ibu sudah berstatus janda lagi. Ibu sudah tidak menjadi istri laki-laki tua itu." Ia menyunggingkan senyumnya. Anelis tercengang. Tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.
"Bapak, Andara, dan kamu benar. Ibu memilih langkah yang salah. Ibu seolah mengiyakan semua kata orang, kalau Ibu mata duitan. Tapi Allah juga benar, Ne. Ibu dipertemukan dengannya sebagai jalan kebaikan Ibu. Selang lima bulan kami bersama, Allah memanggilnya," terang Bu Hening.
Anelis tak pernah tahu cerita itu. Ia menutup rapat komunikasinya dengan ibunya. Namun, mendengar laki-laki yang pernah ia berikan sumpah serapah meninggal dunia, membuatnya iba. Terus selama ini bagaimana kehidupan Ibunya. Mata Anelis merangkai tanya.
"Ibu baik-baik saja. Di sana Ibu buka usaha. Lebih tepatnya melanjutkan usaha mantan suami Ibu. Yang Ibu ingin jelaskan adalah, kalaupun Ibu tidak menikah lagi, atau kalaupun tidak ada insiden yang membuat Ara mengirim pesan ke kamu, Ibu tetap akan meninggalkan Bapak. Ibu memang sudah tidak kuat dengan segala perlakuan Bapak." Wanita itu menjeda. Menunggu Anelis mencerna kalimatnya. Anelis yang masih syok dengan cerita ibunya hanya diam saja.
"Kamu ingat dulu waktu Bapak usahanya gagal. Kamu tahu apa yang Bapak lakukan? Maaf, malam ini Ibu akan membuka kisah lama kita lagi.” Bu Hening mencoba menguasai dirinya. “Bapak memukul kaca lemari bukan? Bahkan sampai kita ganti lima kali tetap saja dipukulnya. Membiarkan darahnya berceceran di lantai. Waktu itu Ibu menggendong Andara yang masih balita. Kamu sudah SD kalau ndak salah. Terus kamu yang ngelap darahnya. Semua hanya karena apa, Ne? Karena Ibu tanya kenapa usahanya gagal lagi.” Wanita itu menahan sesak. Membiarkan kisah pilunya kembali terbuka. "Yang paling Ibu tidak terima kalau sudah melibatkan Mbah Putri, Ne. Waktu itu bulan puasa, entah apa masalahnya Bapakmu emosi. Membalik meja makan yang di sana sudah tersaji aneka menu buka. Akhirnya kamu sama Ibu memungutnya bersama air mata." Ia menghela napas. Membiarkan air matanya keluar.
"Itu baru kejadian yang kamu saksikan, Ne, di luar itu masih banyak. Dua puluh tahun Ibu mendampingi Bapak, tak sekalipun Ibu dicintai. Ibu hanya merenda luka, kemudian menimbunnya. Saat hati Ibu tak mampu menampung lagi, semuanya tumpah. Ibu kalap. Ibu memilih mengakhiri. Dan Ibu mengerti itu membuat Ane juga Andara terluka. Tapi Ibu tahu ini yang terbaik, Ibu tak bisa terus-terusan memaksakan diri." Kini air matanya berlimpah ruah. Ditambah air mata Anelis yang memang sepaham dengan ibunya. Pak Arkain memang begitu keras dan tegas. Ia juga menyaksikan beberapa kejadian kekerasan dalam rumah tangga itu. Meski hanya barang-barang yang dirusaknya tetap saja bentuk kekerasan.
"Maafin Ibu Ne, maafin Ibu. Tapi Ibu mohon sama kamu. Jangan kamu korbankan rumah tanggamu. Jangan kamu biarkan Rajasa menahan begitu lama. Saat ini, Rajasa memang mencintaimu Ne, ia tulus. Sama seperti Ibu dua puluh tahu lalu. Tapi namanya perasaan tetap ada lelahnya kalau tidak dipupuk bersama. Ibu takut, Ne, kamu trauma. Kamu memilih mengunci dirimu dan merasa semua ini salah kamu. Seperti yang dituduhkan Bapak juga keluarganya. Tapi sungguh, Ne, ini bukan karena Ane. Ini semua mutlak pilihan Ibu. Dan sedikitpun Ibu tidak pernah meninggalkan kalian. Ibu selalu berusaha menghubungi, hanya saja Bapak melarang. Bapak mengancam banyak hal. Untuk itu Ibu lebih memilih pergi. Menjadi yang kalian benci." Bu Hening meraih tangan Anelis. Kini hatinya lega, tak lagi menahan sesak begitu lama.
"Kamu pantas bahagia, Ne. Kamu berhak atas itu semua. Ikhlaskan Bapak, Ibu dan Andara. Jemput bahagiamu bersama Rajasa. Biarkan kita menjadi bingkai keluarga yang dulu pernah bersama. Meski hari ini kita tidak bisa satu frame, kita tetap keluarga, Ne. Kita bisa bahagia dengan porsi kita masing-masing. Ibu mohon, Ne, lepaskan semua, ya." Wanita cantik itu semakin terisak. Hatinya begitu terkoyak.
Anelis yang tak pernah tahu kisah ibunya menitihkan air mata. Bayangan Bapak, Mbah Putri juga keluarga lainnya yang dulu meminta Anelis membenci wanita itu semakin nyata. Anelis menyalahkan diri sendiri. Ia begitu benci dengan kebodohan dirinya. Anelis pun manangis, mengeluarkan suara keras. Ia berteriak histeris.
"Kanapa Ibu nggak bilang? Kenapa Ibu biarkan Anelis salah paham, Bu?" tanyanya menyayat sembilu. Bu Hening hanya terdiam, ia berusaha meraih lengan anaknya. Ingin sekali memeluknya. Anelis meronta, ditepisnya pelukan ibunya.
"Buk-- I-bukkkkkk!!! Ke---na-pa Ibu biarin Anelis begi-- ni HAH!!!!" kalimatnya tercekat. Anelis melengkingkan tangis. Ia begitu lara.
Andara yang sejak dari balik pintu sudah menangis menghambur keluar. Diraihnya tubuh kakaknya. Sebisa mungkin menenangkan. Jangan sampai kakaknya pinsang, seperti hari menjelang pernikahan. Anelis tak boleh kehilangan kesadaran.
"Mbak, tenang Mbak, Istighfar. Ada aku sama Ibuk. Mbak Ane, tenang," ucap Andara lembut.
Andara mengusap punggung kakaknya. Membiarkan tangis kakaknya itu mereda. Dengan tetap mengeluarkan air mata, Andara menatap ibunya. Meminta wanita dengan lautan cinta terbesar di dunia itu, ikut memeluk mereka. Malam ini tiga wanita dengan rambut hitam legam menumpahkan segala rasa. Mengairi hati kering mereka dengan air mata. Lebih baik menangis dari pada tertawa. Karena menangis mampu menggugurkan dosa.
