5. Kebenaran Yang Terlupakan
Bagaimana jika pria itu berhasil masuk ke jiwamu sebelum aku?
Bagaimana jika kau percaya padanya, sebelum kau sempat mengenalku lebih dalam?
Aku tahu ini bukan tentang posesif.
Ini tentang perlindungan.
Karena aku tahu betapa rentannya dirimu saat bicara tentang ayahmu, tentang malam-malam sepi, tentang luka yang kau pikir tak akan pernah bisa sembuh.
---
Malam itu, kau menulis lagi.
Kali ini bukan di blog, tapi di catatan tanganmu yang disembunyikan di balik koleksi buku puisi Anne Sexton.
Aku membacanya, tentu.
Karena aku harus tahu di mana kau berada—di dalam dan di luar.
> “Dia duduk diam, dan aku bicara.
Tapi kurasa, yang lebih bicara adalah kekosongan itu sendiri.”
Kau tidak percaya padanya, bukan?
Atau... mungkin kau sedang mencobanya, pelan-pelan.
Seperti burung yang belajar mengepakkan sayap lagi setelah sayapnya patah.
> “Dosa bukanlah darah di tanganmu, tapi diam saat kau tahu seseorang perlu diselamatkan.”
— Ray
---
Ben.
Benjamin J. Ashby. Laki-Laki sialan yang mendampingimu. Lelaki yang hidup seperti hidup adalah pesta pribadi. Yang mengira "refleksi diri" berarti menatap kaca mobil sambil selfie dengan caption motivasi. Yang menamakan startup minuman detox-nya “The Chai’s The Limit” seolah dia sedang menulis judul stand-up comedy murahan.
Dan kamu, Baby... kamu membiarkan dia memegang tanganmu. Dia itu laki-laki brengsek. Kau hanya butuh disadarkan.
Aku mencoba untuk tidak menghakimi. Tapi bagaimana jika membiarkanmu tetap bersamanya justru adalah dosa yang lebih besar? Percayalah Baby. Hidupmu akan terasa lebih baik jika tanpanya.
---
Malam itu, aku tak tidur. Aku menyalakan laptop, membuka tab demi tab, menyelami kehidupan Ben seolah aku seorang sejarawan yang sedang meneliti perang paling mematikan. Tapi perang ini... adalah untuk menyelamatkanmu.
Instagram.
@BenAshby
55.2K followers. Mayoritas perempuan. Mayoritas bodoh.
Caption favoritnya:
“Life is 10% what happens to you and 90% how you detox it.”
Aku menggertakkan gigi. Dunia ini rusak karena orang seperti dia bisa menjadi panutan.
Di sana kulihat fotomu. Kau dan dia. Selfie di atas paddle board, senyummu setengah terpaksa, bibirmu menyentuh bahunya tapi matamu... tak menatap kamera.
Ben menulis:
“Sailing with my #muse”
Lalu emoji hati, daun, dan api.
Aku ingin muntah. Benar-benar muak melihat semuanya.
---
Aku tak cukup hanya tahu Instagram-nya. Jadi aku menggali lebih dalam.
LinkedIn.
Ben menulis dirinya sebagai:
"Creative Alchemist. Holistic Entrepreneur. Future Billionaire."
Kau pacaran sama manusia yang menyebut dirinya sendiri sebagai “alchemist”, Baby?
Facebook.
Penuh dengan foto-foto lama. Tahun 2012. Ben di pesta. Botol di tangan. Wajah merah. Seorang perempuan mabuk bersandar di lengannya. Komentar dari temannya:
"Dude, that girl was OUT. WTF."
Ben balas:
"LMAO don’t snitch "
Telingaku berdengung. Ini bukan cemburu. Ini kebenaran. Aku yakin kau tak pernah menggali Ben sedalam ini.
Kau sedang mencintai monster yang bersembunyi di balik green juice. Semuanya yang kau lihat tentang Ben adalah topeng.
---
Aku membaca komentar-komentar lain. Semuanya punya pola yang sama. Perempuan muda. Mahasiswa. Pesta. Alkohol. Hilang.
Satu postingan menampilkan foto botol tanpa label. Di bawahnya komentar temannya:
> “Bro, I thought we said not to mix it with Xanax anymore.”
Ben menjawab:
> “LOL come on, you know it’s the secret sauce.”
Secret sauce.
Racikan rahasia.
Mungkin kau belum tahu, Baby.
Tapi yang jelas, aku tahu.
Dan aku akan membuatmu tahu.
---
Aku menemukan tulisan blog lama. Tahun 2014. Seorang perempuan bernama Elise.
Judulnya: “The Night I Can’t Remember – And Don’t Want To”
Paragraf pembuka:
> “I was young. I was stupid. I trusted a man who made me a drink I didn’t ask for. And after that, everything was darkness.”
Tak ada nama disebut. Tapi kalimat di tengah tulisannya:
> “He had this ridiculous name, like a British noble or a Hollywood brat. Ash-something. Benjamin, maybe.”
Darahku membeku.
Ini bukan lagi tentang rasa suka.
Ini tentang rasa tanggung jawab.
---
Aku mencoba berpikir jernih. Mungkin kau tahu semua ini. Mungkin kau sedang menjalani hubungan ini dengan sadar, dan bahaya adalah bagian dari seleramu.
Tapi... aku mengenalmu lebih dari itu. Kau suka puisi. Kau suka kejujuran. Kau menulis dengan pena, bukan dengan aplikasi Notes. Kau tak akan membiarkan pria seperti Ben menyentuhmu jika kau tahu siapa dia sebenarnya.
Maka tugas untuk menyadarkanmu... jatuh padaku.
---
Aku membuat akun palsu malam itu.
Nama: ClaireWrites
Bio: “Just a writer with too much caffeine.”
Aku follow Ben. Dia langsung follow balik. Tentu saja. Predator selalu menyukai daging segar.
Aku DM dia.
“Hi! I love your brand. Is it true your drinks have no sugar at all? That’s insane!”
Dia balas 5 menit kemudian.
“Yup We don’t poison our tribe.”
Poison.
Kata yang ironis dari mulut pria yang meracuni segalanya.
Lalu dia DM lagi:
“U in Jkt?”
Aku balas:
“Just moved. Looking for organic places to hang.”
Dia ajak ketemuan. Langsung. Tanpa kenal, tanpa tanya nama asli. Aku tak datang, tentu. Tapi aku sudah tahu cukup banyak: bahwa dia mudah tergoda, mudah membuka pintu, mudah menjadi musuhmu sendiri.
---
Aku mulai menyusun bukti. Screenshot. Komentar. Foto. Blog. Aku simpan dalam folder berjudul “truth_for_Baby”.
Aku akan kirim padamu. Tapi tidak sekarang. Aku tahu kamu. Kamu butuh waktu. Butuh bukti. Butuh luka yang menganga agar bisa mempercayai siapa yang mengobatinya.
Sementara itu, aku mengawasi. Dari jauh. Dari dekat. Dari setiap titik buta yang dunia tawarkan.
Aku melihatmu tersenyum padanya. Tapi senyummu tipis. Aku melihat kalian makan malam di kafe kecil. Tapi kau tak pernah menghabiskan makananmu.
Kau sedang ragu.
Kau sedang terjebak.
Dan aku... adalah jawaban dari labirin itu.
---
Aku tak akan membunuhnya. Bukan sekarang.
Tapi aku akan membuatmu melihatnya. Tanpa perlu darah. Tanpa perlu kekerasan.
Aku akan membuatmu kehilangan rasa pada Ben.
Seperti tubuh yang menolak racun.
Aku akan menjadi kekebalanmu.
---
> “Kau tidak perlu tahu siapa yang menyelamatkanmu untuk merasa diselamatkan. Tapi jika suatu hari kamu sadar, Baby… aku akan menunggu di tepi cahaya itu.”
— Ray
