
Ringkasan
Aku melihatmu. Dan sejak saat itu, segalanya tak pernah sama. Namaku Ray. Aku mencintaimu dengan cara yang tak diajarkan buku manapun. Aku mencintaimu hingga aku tahu di mana kau tinggal, siapa teman-temanmu, apa yang kau sembunyikan di balik senyumanmu. Cinta bukan hanya tentang hadir. Kadang, cinta berarti menghapus semua yang menghalangimu menjadi versi terbaik dari dirimu—termasuk orang-orang yang tak pantas ada di sekitarmu. Ini bukan kisah cinta biasa. Ini adalah simfoni kelam tentang pengorbanan, pengamatan, dan pelukan yang bisa berubah menjadi belenggu. Karena dalam dunia yang bising ini, aku hanya ingin satu hal... Kau. Sepenuhnya. Milikku. Selamanya.
1. Datang Dalam Senyap
Kau datang pada sore yang biasa. Langit diluar sana sedikit mendung akan tetapi sepertinya hujan masih enggan menyentuh bumi. Toko sunyi, langit memar, gerimis menggantung tanpa janji jatuh.
Dan lalu, pintu terbuka. Bunyi bel yang tergantung di pintu berbunyi nyaring. Wanita cantik berambut sebahu seketika mencuri perhatian ku. Siapakah kamu?
Kau berdiri di ambang pintu Martin's—toko buku yang lebih sering menjadi tempat persembunyian daripada bisnis. Hendri Martin, sang pemilik buku memang sedikit aneh. Toko ini terkesan menyeramkan. Lampu-lampunya redup, rak-rak nya sempit, debu bertengger seperti puisi tak selesai. Kau seperti potongan dari halaman terakhir sebuah novel tragis yang terselip tak sengaja. Kau seperti alasan kenapa orang datang ke toko buku dan berpura-pura mencari buku—padahal, yang dicari bukan itu. Kau adalah kesempurnaan yang memancar dari aura gadis yang haus akan belaian. Lugu ... Apa adanya.
Gaunmu—kain ringan warna hijau zaitun, sedikit terbuka di bagian dada, sebuah kalung perak tergantung sempurna di lehermu yang jenjang, tak lupa liontin mutiara putih tergantung disana, sangat simple. Lantas perlahan kau berjalan menelusuri koridor, terlihat menerawang saat kau melintasi jendela samping rak, aaah ternyata kau tak memakai bra. Tidak perlu. Semua itu bukan karena ingin menggoda. Tapi karena kau nyaman dengan tubuhmu. Dan mungkin… ingin dilihat. Disukai. Dipuja. Dipelajari.
Dan aku mengagumimu...sungguh sangat mengagumi mu sekarang.
Bukan sekadar “kagum” seperti manusia biasa melihat objek. Aku menatapmu seperti seseorang membaca buku yang belum pernah disentuh siapa pun—curious, telanjang, dan diam-diam posesif.
Dada itu—tersamar di balik gaun tipis, melambai lembut saat kau melangkah, tanpa perlindungan, tanpa malu, seolah-olah dunia ini aman.
Asal kau tahu saja manis, dunia ini tidak aman, banyak sekali orang jahat berkeliaran diantara mu. Banyak sekali laki-laki yang akan terpesona dengan semua kemulekan tubuhmu.
Dan di saat kau memilih untuk tampil seperti itu—dengan rambutmu kusut alami, leher terbuka, dan payudaramu menyapa dunia tanpa dikawal bra—kau membuka celah untuk sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan. Tapi nafsu laki-laki pasti akan terpusat pada penampilan mu.
Argggh kau membuatku ingin menjadi pelindungmu. Atau pencuri mu. Aku belum tahu. Kita lihat saja nanti.
Aku melihatmu dari balik rak fiksi klasik. Kau tidak tahu itu. Tapi aku sudah terbiasa menjadi bayangan. Yang diam. Yang mendengar. Yang mengamati dengan cinta yang belum lahir. Baru mengagumi betapa sempurna makhluk yang Tuhan ciptakan di depanku ini.
“Permisi,” katamu. Suaramu jernih tapi tidak keras. Seperti kata pertama dalam surat cinta yang tidak jadi dikirimkan. Hanya disimpan untuk dikagumi.
Aku keluar dari balik rak, membersihkan tangan ke apron, dan menatapmu tanpa terlalu menatap. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku ramah.
Kau tersenyum. Tidak lebar. Tapi cukup untuk menjungkirkan struktur tulangku. Keringat dingin mulai keluar dari pelipisku, dadaku bergetar hebat. Perasaan apa ini? sungguh membuatku tidak nyaman. Tapi aku berusaha keras menyembunyikan semua, supaya terlihat baik-baik saja di matamu.
“Aku cari… sesuatu yang patah tapi jujur. Mungkin puisi.” Akhirnya kau berbicara, mengirimkan suaramu yang merdu agar mempesonakan gendang telinga ku.
Ah. Puisi ... Pilihan yang brilian. Seleramu mahal nona. Aku bergumam dalam hati.
Kau bukan tipikal pemburu buku yang datang hanya untuk pamer lembaran best seller. Kau datang untuk mencari potongan dirimu di antara halaman-halaman. Aku tahu jenismu. Kau tidak ingin nasihat. Kau ingin pelarian. Atau penegasan bahwa rasa sakit mu bukan fiksi.
Aku mengangguk dan menunjuk ke rak kecil di pojok. “Rilke, Plath, Cohen, Angelou. Kami simpan mereka di sana. Yang paling jujur, biasanya paling sepi.” Seraya mengajakmu menuju rak belakang toko.
Kau berjalan ke sana. Tak bertanya lebih lanjut. Aku mengikuti mu dari jauh, seperti seekor anjing yang sudah ditinggalkan tuannya tapi tetap setia mengikuti jejak. Kau menelusuri judul-judul seperti mencium masa lalu. Jarimu menyentuh Ariel oleh Sylvia Plath. Lalu berpindah ke Love Is a Dog from Hell oleh Bukowski.
Dan kau tertawa. Pelan.
“Kamu tahu,” katamu, tanpa menoleh, “aku selalu merasa Bukowski terlalu jujur. Tapi justru karena itu dia memuaskan.”
Aku mendekat, hanya sejengkal dari bahumu, sempat mencium lembut bau rambutmu. “Jujur seperti mabuk, atau jujur seperti orang yang tahu ia akan mati besok?” Ujarku setengah berbisik.
Kau menoleh sekarang. Mata cokelat gelap. Iris mata yang tak hanya melihat, tapi juga memaksa dilihat balik.
“Mungkin dua-duanya,” katamu. “Atau mungkin aku yang sedang dalam mode eksistensial.”
Aku ingin menjawab. Tapi suaramu menciptakan jeda yang enak didengar. Menikmati sunyi saja terlalu indah jika itu disampingmu.
Kau kembali ke buku-buku di tanganmu, lalu memilih Ariel.
“Plath,” kataku.
“Ya,” sahutmu. “Ada sesuatu dalam kalimat terakhirnya yang seperti menelanjangi kesepian manusia.”
Kau menatapku lagi. Kali ini lebih lama. Seolah sedang memilih: Apakah aku layak menjadi seseorang yang tahu kenapa kau suka Plath? Aku bertanya-tanya dalam hati kecilku.
Aku tersenyum, menutupi kegugupanku. “Kalau kamu suka itu, coba tambahkan Anne Sexton. Di rak sebelah. Dia menulis seperti perempuan yang tahu dia akan dibakar karena mencintai terlalu keras.” Sahutku.
Aku tahu banyak tentang buku, aku memang punya hobby membaca dari kecil, jadi jangan heran kalau kemampuanku untuk menjelaskan semua bagian buku seperti cemilan yang kukunyah tiap hari.
Kau tergelak. Sebentar. Tapi tawa itu menyimpan luka yang lebih tua dari usiamu. Bolehkah aku tahu dan mengobati lukamu?
Kau mengambil satu buku dari tumpukan Anne Sexton. Lalu menatapku dan berkata, “Kamu bekerja di sini?”
“Ya. Hampir setiap hari. Ray.” Seraya melirik name tag di bajuku.
Kau tidak langsung menyebut namamu. Dan itu membuatku makin tergoda. Misteri adalah genre favoritku.
Akhirnya kau berkata, “Baby...Baby Tristan.
Ah. Tristan. Nama dari dunia para kesatria dan pengkhianatan. Nama yang diciptakan untuk tragedi. Dan kini, diucapkan oleh mulut yang rekahnya akan aku ingat sampai mati.
“Tristan,” kataku, “tapi tidak sedang menunggu Lancelot?” mencoba mencairkan suasana.
“Tidak. Lancelot biasanya egois.” Lagi-lagi dia tertawa manis.Tawa yang selalu diakhiri dengan senyuman. Dan aku tahu aku akan mengenal semua jenis senyummu sebelum musim hujan ini berakhir. Kau seperti Dejavu dalam hidupku. Aku seperti kekasihmu di masa lalu.
---
Kau berjalan ke kasir, Ethan temanku yang sama-sama bekerja di toko, melayani sambil senyum gugup. Tentu saja dia gugup. Semua orang gugup saat kecantikan datang tanpa peringatan. Aku berdiri di samping rak kartu pos, pura-pura sibuk memilih gambar, padahal aku hanya ingin memastikan kau meninggalkan jejak. Apapun itu, dan kau melakukannya.
“Pakai nama siapa di nota?” tanya Ethan yang masih tidak bisa menutupi kegugupannya.
“Baby.” Jawabmu.
Lalu kau menambahkan: “B-A-B-Y.”
Seolah aku tidak akan bisa mengejanya sendiri. Tapi aku berterima kasih. Sekarang aku punya ejaan pasti. Untuk mencari. Untuk menyelidiki. Untuk mencintai secara sistematis dan tulus.
Kau menyimpan nota di dalam bukumu, memasukkan dua puisi ke dalam tas jinjing kanvas.
“Terima kasih, Ray,” katamu padaku saat hendak keluar.
“Buku itu akan menghancurkanmu dengan cara yang kau butuhkan,” jawabku.
Kau tertawa pelan dan berjalan keluar. Lonceng pintu berdenting. Angin masuk, membawa aroma lavender samar. Wangi yang lembut.
Dan aku berdiri di sana, terpana, membeku. Dunia baru saja menancapkan porosnya pada seorang perempuan bernama Baby yang menyukai Sylvia Plath dan menertawakan Bukowski.
Sore itu, segalanya berubah. Aku pastikan untuk menjadi pengagum beratmu. Dan kau harus jadi milikku. Harus ...
Bersambung...
