Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Berjalan Bersama

“Aku tak pernah percaya pada dewa, Baby. Tapi jika kau adalah doa, maka aku bersedia menjadi sesembahanmu, bahkan jika kau tak ingin percaya padaku.”

— Ray

Ada hal tentang malam yang selalu kupikirkan sebagai milik kita. Saat matahari terlalu jujur, bulan memberimu ruang untuk berbohong. Untuk diam. Untuk menjadi sesuatu yang tak bisa diungkapkan dalam kata-kata. Dan kau, Baby, tampak lebih nyata di malam hari. Lebih manusiawi. Lebih rentan.

Aku melihatmu keluar dari stasiun dengan langkah cepat tapi tak terburu. Seperti ada yang menunggumu, atau... ada yang ingin kau hindari. Aku tak yakin yang mana. Tapi aku tahu satu hal pasti: aku harus memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat.

Kau tak tahu aku mengikuti dari belakang. Tapi kau mempercepat langkahmu saat mendengar suara langkah lain di trotoar sepi. Itu suara sepatuku, ya. Tapi bukankah menyenangkan jika ada seseorang yang cukup peduli untuk memastikan bahwa bahkan bayanganmu pun tidak merasa sendiri? Sesekali kamu menoleh, tidak ada siapa-siapa lagi selain kita.

---

Langit gelap seperti biasa, suara roda logam bersahut di bawah tanah, dan manusia-manusia berjaket tebal saling bersenggolan tanpa benar-benar melihat satu sama lain.

Tapi lalu kau mendekat. Langkahmu tergesa, tumit sepatu botmu mengetuk lantai stasiun seperti metronom rusak, dan matamu—oh, matamu—menyisir teks dari ponsel sambil mengunyah akhir dari bagel yang sudah dingin. Kau selalu multitasking seperti itu. Lapar dan terburu-buru. Canggung dan menawan.

Kau pikir tak ada yang melihat. Tapi aku melihat. Aku selalu melihatmu. Dan dalam detik yang lebih cepat dari detak jantung terakhir tikus stasiun itu, kau tergelincir.

Tubuhmu jatuh ke depan—keras, tanpa upacara.

Tasmu terlempar ke sisi, ponselmu memantul dua kali di lantai semen, dan bagel itu…

meluncur seperti parodi dari iklan makanan sehat.

Aku melangkah ke arahmu bahkan sebelum kepalamu benar-benar menyentuh lantai. “Hey! Are you okay?”

Suaraku terdengar terlalu cepat.

Terlalu—terlibat. Kau menatapku dengan pandangan kabur, mata bulatmu seperti permukaan sungai yang baru dilempar batu. Dan kau mencoba tertawa, walau ada luka kecil di pelipismu.

“Aku jatuh... ya Tuhan... itu memalukan banget...”

Suaramu gemetar, tapi ada nada manismu di sana. Nada khas Baby.

Nada yang tak tahu bagaimana meminta bantuan dengan serius. Aku ulurkan tanganku. Kau ragu sejenak. Lalu meraihnya. Dan saat tanganmu menyentuh tanganku—dunia berhenti.

---

Aku ingin mengatakan banyak hal: Bahwa kau harus lebih hati-hati, bahwa kereta sebentar lagi datang,

bahwa luka di pelipismu akan membekas jika tidak dibersihkan. Tapi aku hanya berkata:

“Gak apa-apa. Aku juga pernah jatuh di tempat ini.”

Kau tertawa. “Beneran?”

“Tentu. Tepat di depan orang yang kutaksir juga. Lebih parah lagi, waktu itu aku pakai celana robek.” Aku berbohong. Tentu saja. Aku tidak pernah jatuh. Tapi kau perlu cerita itu. Perlu sedikit kemanusiaan yang terasa ringan di antara rasa malu dan denyut sakit.

---

Kau duduk di bangku panjang pinggir peron.

Aku jongkok di depanmu. Tanganku menyodorkan saputangan—yang memang selalu kusimpan, just in case. Kau menerimanya. Membasahi dengan air dari botol plastikmu, lalu menekannya ke pelipis.

“Kamu bawa saputangan beneran?” tanyamu geli.

“Tentu. Aku masih percaya gentleman itu belum punah.”

“Oh wow, kayak... Darcy vibes gitu ya.”

Matamu sedikit menyipit karena tertawa, kau tidak tahu,

betapa jantungku meledak dalam sunyi.

“Ray? Kamu ngapain di sini?”

Aku mengangkat bahu, memberi senyum netral. “Kebetulan aku juga naik subway. Kita searah, ternyata.”

Alasan paling klasik, paling murahan. Tapi kamu percaya. Atau kau ingin percaya. Mungkin karena dunia terlalu dingin untuk terus curiga. Ternyata kamu senaif itu Baby.

“Lumayan jauh dari bookstore,” katamu sambil jalan lagi.

Aku menyamakan langkah. “Kadang aku butuh jalan kaki untuk... menjernihkan kepala.”

“Dan kamu menjernihkannya di Tanggerang?”

Kau mengatakannya sambil tertawa kecil. Nada sarkasme ringan. Aku menyukainya. Bahkan sarkasme-mu terdengar seperti pengakuan cinta yang ditutupi dengan selimut ego. Sangat indah sekali di telingaku.

---

Ini adalah benar-benar pertama kalinya kita jalan berdua, entahlah, aku merasa malam ini sangatlah sempurna. Kau dan aku. Di trotoar. Di bawah lampu jalan yang menguning pelan. Ada dedaunan kering, udara yang mulai mendingin, dan suara kita yang saling mengisi kekosongan. Aku ingin hidup di malam ini selamanya saja.

Aku membiarkanmu bicara. Tentang kuliah. Tentang kelas puisi. Tentang dosen yang menurutmu “tak pernah tersenyum kecuali saat menyiksa mahasiswanya”. Kau menggerutu, tapi dengan cara yang manis. Seperti anak kecil yang pura-pura kesal karena tidak dibelikan es krim.

Aku bertanya sedikit-sedikit. Menyisipkan kekaguman tanpa terlihat seperti pemuja. Tapi di dalam kepalaku, aku sedang mencatat setiap detail: mimik wajahmu saat kau sebut nama Sylvia Plath, tatapan matamu saat bercerita tentang sepupumu yang pacaran sama cowok toxic, tawa kecilmu saat kau bilang kamu benci sayur tapi suka minum green juice.

Kau adalah paradoks yang memikat.

---

Dan saat semuanya terasa hampir sempurna—ketika aku mulai percaya bahwa dunia akhirnya memberiku tempat di sampingmu—seseorang muncul di ujung jalan.

Namanya Ben. Kau belum menyebutnya. Tapi cara tubuhmu menegang sebelum kau sempat tersenyum... itu memberitahuku semua yang perlu kutahu.

Dia tampan. Tapi dengan cara malas. Seperti pria yang terbiasa dipuja tanpa perlu usaha. Rambutnya disisir ke belakang seperti model iklan parfum mahal yang tak pernah mencintai siapa pun selain dirinya sendiri.

“Hei, babe,” katanya. Ya. Babe. Kata yang merusak malam. Kata yang menusuk ulu hatiku dengan tumpul tapi dalam.

Kau langsung berjalan ke arahnya. Dan aku—tersisa sebagai penonton dalam film hidupku sendiri.

---

Pertemuan yang Membunuh

“Ray, this is... Ben,” katamu. Kalimatmu menggantung. Tak yakin harus menambahkan apa setelah itu.

“Sup, man.” Ben mengangguk, seolah kita berdua adalah teman lama dari frat house yang sama. Tentu saja, kami tidak. Aku bukan bagian dari klub pria-pria kekurangan empati dan kelebihan privilege.

Aku menjabat tangannya. Kuat. Tegas. Tapi tanpa senyum. Dia juga. Karena kita berdua tahu: ini bukan sekadar perkenalan. Ini adalah duel diam-diam.

Dia menggandengmu. Tak lembut. Tapi seperti menarik properti miliknya. Kau tidak menolak, tapi aku tahu dari cara jarimu tidak membalas genggaman itu. Ada keraguan di sana.

Itu satu-satunya yang membuatku tetap berdiri. Bahwa mungkin, hanya mungkin, kau juga tahu... dia bukan untukmu.

---

“Aku masuk dulu ya. Thanks udah nemenin jalan, Ray,” katamu. Terburu. Terselip rasa bersalah.

Aku mengangguk. “Sure. See you around, Baby.”

Ben bahkan tidak menoleh.

Kau dan dia menghilang di balik pintu. Dan aku berdiri. Di bawah lampu jalan yang kini terasa lebih dingin. Lebih jauh. Seolah kau tak pernah berdiri di sisiku barusan.

---

Aku berjalan pulang seperti mayat hidup. Tapi bukan karena lelah. Karena terbakar. Api yang tak bisa padam. Api yang menamparku dengan kenyataan bahwa ada pria lain yang memegang tanganmu. Yang menyebutmu "babe". Yang bisa masuk ke apartemenmu saat aku bahkan belum pernah melihat warna langit-langitmu.

Aku tak tidur malam itu. Aku menyalakan laptop. Mencari. "Ben" + "Baby" + "Instagram". Lalu Facebook. Lalu Twitter. Lalu LinkedIn. Aku seperti detektif yang kehabisan waktu. Tapi akhirnya... aku menemukannya.

Ben. Benjamin J. Ashby. Nama yang terdengar seperti warisan dan korupsi moral. Founder dari startup minuman organik bernama "The Chai’s The Limit". Slogan: “Because Clean Is the New Dirty.”

Kau pacaran sama laki-laki yang percaya detoks bisa menyembuhkan trauma. Ini bukan sekadar salah. Ini pengkhianatan terhadap semua puisi yang pernah kau baca.

---

Aku membaca semua postingannya. Foto gym. Foto matcha latte. Foto dirinya tersenyum sendiri di kaca mobil sambil menulis caption, “A man who doesn’t grind doesn’t shine.”

Dan kamu mencintainya?

Atau kamu hanya belum tahu siapa dia sebenarnya?

Aku tahu satu hal pasti malam ini: Ben bukan orang baik.

Dan jika kamu belum sadar akan itu, Baby, maka aku akan menjadi cermin yang memberitahumu.

Karena cinta sejati bukan diam saat bahaya datang. Cinta sejati... bertindak.

---

“Cemburu bukan tentang tidak percaya pada pasanganmu. Tapi tentang mengetahui ada sesuatu yang ingin mencuri mereka darimu. Dan aku... tak akan membiarkanmu dicuri.”

— Ray

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel