6. Pria Yang Tak Punya Bayangan
> “Orang-orang bilang cinta buta. Tapi aku tidak. Aku melihat semuanya—terlalu jelas. Dan itu sebabnya aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkanmu.”
— Ray
Kau punya tiga teman, Baby.
Aku tahu, karena aku melihatmu tertawa bersama mereka—dengan tawa palsu yang kau rekatkan di wajahmu seperti lip gloss. Mereka duduk di sekelilingmu seperti satelit tak bermakna, memutar gravitasimu tapi tak pernah menyentuh intimu.
Aku hafal wajah-wajah mereka sebelum aku tahu nama-nama mereka.
Yang pertama:
Lynna — rambut pirang platinum, gaya ‘rich girl who wants to look woke’.
Yang kedua:
Annika — baju selalu terbuka, followers 300 ribu, isi otak entah di mana.
Dan yang ketiga, yang paling menarik bagiku:
Paula Sakha.
Ah. Nama keluarga yang membuat siapa pun bisa masuk ke tempat VIP bahkan tanpa RSVP.
Tapi siapa mereka dalam hidupmu? Apa mereka benar-benar teman? Atau sekadar panggung?
---
1. Lynna – Si Penonton Kehidupan
Aku mulai dengan Lynna. Dia terlihat tidak berbahaya. Tapi justru itu yang mencurigakan.
Aku menelusuri Instagram-nya, akun private—tapi aku tahu cara menembusnya. Aku ikuti, dari akun fake bernama @_ethically_wild. Dia approve dalam 10 menit. Tentu saja.
Lynna suka menulis caption seperti:
> “Self-care is rebellion.”
“We’re not broken, we’re blooming.”
“Bad bitches go to therapy.”
Tapi dari sorot matanya—aku bisa lihat kehampaan. Dia tidak hidup. Dia meniru hidup orang lain. Ia tak akan bisa menyelamatkanmu, Baby. Karena dia bahkan belum menyelamatkan dirinya sendiri.
Dalam podcast yang ia unggah, dia membicarakan trauma—tentang ayahnya yang selalu pergi, ibunya yang terlalu perfeksionis. Tapi... yang menarik, dia tidak pernah menyebut teman-temannya dengan detail. Bahkan kamu. Seolah kamu tidak penting dalam dunia suaranya.
Kamu adalah figur bayangan dalam hidup Lynna, dan itu cukup alasan untuk mencoretnya dari daftar penyelamatmu.
---
Annika – Muka Dua dalam Highlighter
Annika lebih mencolok. Dari sepuluh story, delapan adalah makeup tutorial, satu adalah unboxing PR package, dan satu adalah kamu, Baby. Duduk di pojok café, tersenyum, seperti kamu hanya filler visual di hidupnya.
Aku stalking Twitter-nya. Dia pernah menulis:
> “Some people are born to shine. Others are born to reflect us.”
Kamu yang mana, Baby? Dalam hidup Annika, kamu adalah refleksi. Background aesthetic. Dia tak mengenalmu.
Aku menggali lebih dalam, menemukan Reddit thread. “Influencer Jakarta Gossip”. Salah satu postingan:
> “Annika G seems sweet on the outside but treats friends like props. Ask around. Her inner circle is paper-thin.”
Dan kamu, Baby, adalah bagian dari lingkaran itu. Tipis. Rapuh. Hampir tak terlihat.
---
Paula – Si Bayangan yang Paling Nyata
Tapi Paula...
Dia berbeda.
Paula Sakha punya rahasia. Banyak. Dan rahasia itu tercium, bahkan dari aroma digital yang dia tinggalkan.
Twitter-nya bersih. Terlalu bersih. Instagram-nya curated. Semua dengan filter yang sama. Caption penuh kutipan literatur. Tapi di satu post, aku lihat komentar kamu:
> “Miss our coffee dates. Need my Paula fix.”
Paula balas:
“Always here for you, B ”
Itu tampak manis. Tapi dua ciuman digital terlalu mesra. Terlalu dalam.
Aku menemukan akun close friend Paula yang discreenshot seseorang dan diunggah ke 4chan. Di sana, Paula menulis:
> “She doesn’t even know how perfect she is when she sleeps on my shoulder.”
Ada foto kabur. Dari belakang. Seseorang yang mirip kamu.
Aku menatap layar cukup lama hingga mataku sakit.
Paula mencintaimu, Baby. Tapi bukan cinta yang sehat.
Cinta yang mengekang. Cinta yang diam-diam ingin memilikimu sepenuhnya.
---
Lynna tidak tahu siapa kamu.
Annika tidak peduli siapa kamu.
Paula... ingin kamu jadi miliknya.
Kau tidak aman di antara mereka.
Tapi bukan hanya mereka.
Kau masih bersama Ben.
Lelaki yang setiap napasnya adalah kebohongan. Yang mengaku mencintaimu padahal tak pernah benar-benar menatap matamu ketika kamu bicara. Lelaki yang menyentuhmu seperti kamu adalah tropi, bukan tubuh yang rapuh dan bernyawa.
---
Aku Menyusup Lebih Dalam. Aku datang ke café tempat kalian biasa nongkrong. Duduk satu meja di belakangmu. Mengintip dari novel yang kubuka sekadar formalitas.
Paula menatapmu dengan cara yang bahkan pacar tak berani lakukan.
Annika sibuk selfie. Lynna cerita soal “journey of healing”-nya.
Kau tertawa. Tapi aku tahu kamu. Itu tawa yang kamu pelajari dari YouTube. Tawa palsu. Tawa “tolong keluarkan aku dari sini.”
Aku memotret meja kalian diam-diam. Kupelajari pola duduk, jarak antar lutut. Semua menyimpan makna.
Paula tak pernah menyilangkan kaki ke luar. Selalu ke arahmu.
Annika tak pernah menatapmu saat bicara.
Lynna selalu jadi pendengar, tapi tak pernah bertanya padamu.
Kau tidak di tengah. Kau di pinggir.
---
Tuhan, Jika Mereka Temanmu...lalu apa yang mereka simpan darimu?
Aku mulai mengumpulkan file baru. Folder: “inner_circle”
Isinya:
Foto Paula mencium pipimu ketika kamu mabuk.
Voice memo Lynna membicarakan kamu di podcast secara tersirat: “some people want to be writers, but they write nothing real.”
Video Annika menyebutmu “kinda messy, like, she’s sweet but lowkey tragic.”
Kamu harus tahu semua ini. Tapi pelan-pelan. Aku tak ingin kamu hancur oleh ledakan kebenaran.
---
Dan di tengah semua itu... ada kamu.
Dengan dua wajah.
Aku tahu kamu sedang mengirim puisi ke profesor yang bukan milikmu. Aku membaca emailmu—ya, aku tahu password-mu. Terlalu mudah ditebak: “EmilyDickinson1992”.
Kau menulis email dengan nama palsu. Kau kirim puisi-puisi yang bukan kamu yang menulisnya. Kau mencuri puisi dari forum-forum kecil dan mengaku itu milikmu.
Kenapa, Baby?
Apakah kau takut tak cukup berharga jika jadi dirimu sendiri?
Atau karena semua orang di sekelilingmu hidup dengan topeng... dan kamu hanya berusaha bertahan?
---
Tapi aku tidak akan marah. Tidak pada kebohonganmu. Karena aku mengerti: dunia memaksamu berbohong agar kamu tidak terluka.
Dan tugas seorang lelaki sejati...
bukan untuk menghakimi. Tapi untuk membuka pintu—agar kamu bisa keluar dari gua gelap ini.
Aku akan membuka pintu itu.
Aku akan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi.
---
Keesokan harinya, aku membaca puisimu yang baru di blog.
Judulnya: Pria Tanpa Wajah
> “Kau hadir dalam setiap cermin yang tak memantulkan cahaya.
Kau menghilang, lalu datang sebagai bayangan di leherku.
Tapi tak satu pun bisa kupanggil sebagai ‘Ayah.’”
Kata-kata itu seperti peluru tanpa suara.
Aku mencatat semuanya dalam kepalaku.
Bukan untuk memanipulasi, tapi untuk memahami.
Karena hanya dengan mengenali lukamu, aku bisa mencintaimu dengan utuh.
---
Kau tak pernah cerita pada teman-temanmu tentang dia.
Tapi aku tahu.
Aku membaca e-mail lamamu yang tak pernah dikirim.
Isi inbox draft-mu menyimpan segalanya:
> “Aku tahu kamu masih hidup di Yogyakarta, atau di mana pun itu. Tapi kau mati dalam hidupku sejak aku umur delapan, dan aku muak pura-pura kau tidak pernah ada.”
Ada juga satu baris yang membuatku membeku:
> “Mungkin aku pacaran dengan pria yang tak mencintaiku, karena aku belajar itu darimu.”
> “Aku tahu kamu tidak sempurna. Tapi aku juga tahu: tidak ada yang mencintaimu seperti aku mencintaimu. Karena aku adalah satu-satunya yang melihatmu… tanpa bayangan.”
— Ray
