3. Ritme
Kamu tahu hal yang paling menyesakkan tentang mencintai seseorang secara diam-diam? Bukan karena kita tidak bisa menyentuh mereka. Tapi karena kita melihat semua orang lain yang bisa—dan menyia-nyiakannya. Aku sangat benci dengan Ben, dia sama sekali sangat tidak menghargai kamu. Dia hanya pria manja yang hidup di ketek orang tuanya dan berlagak pahlawan di hadapan semua wanita yang dia dekati.
Baby, kamu membuatnya mudah untukku jatuh ke dalam jurang ini. Sejak kamu masuk ke toko itu dengan sandal murahan dan buku Paula Fox di tanganmu, aku tahu kamu bukan perempuan biasa. Kamu adalah teka-teki yang ingin dipecahkan, luka yang ingin dirawat, dan suara yang ingin kudengar bahkan dalam diam. Tapi kamu tidak tahu, bukan? Bahwa ketika kamu meninggalkan toko itu, kamu tidak benar-benar pergi. Kamu tinggal di dalam diriku.
"Kamu adalah lagu yang tak bisa aku hentikan di kepala. Nada-nadamu berjalan pelan, tapi dalam. Dan aku, Baby, sedang belajar bagaimana menyanyikannya tanpa salah."
— Ray
Kau meninggalkan toko itu seperti tokoh dalam film independen yang baru saja kehilangan cinta pertamanya. Jaket jeans lusuh mu setia menyentuh tulang belikatmu, rambutmu setengah digulung, dan sepatu boots yang kau pakai terlihat seperti menyimpan banyak jalan pulang yang belum selesai. Kau pikir kau sendiri. Dan di satu sisi, ya, kau memang sendiri. Di sisi lain—aku di belakangmu. Aku merasa tenang disaat berada di dekatmu, meskipun kau tidak menyadarinya.
Kau berjalan cepat. Ponselmu di tangan kiri, telingamu tertutup headphone putih yang mungkin sudah kehilangan kejernihan suara sejak dua tahun lalu. Tapi kamu tetap menggunakannya. Itu membuatku menyimpulkan dua hal: kamu hemat, dan kamu setia. Itu cukup sebagai pondasi cinta, bukan?
Aku tak mengikuti mu seperti penjahat di film murahan. Tidak ada jaket hitam. Tidak ada topi. Aku hanya lelaki biasa. Lelaki yang kebetulan ingin tahu ke mana kamu pergi. Salahkah aku jika ingin mengenalmu lebih dari sekadar nama depan dan selera sastra? Rasanya ini bukan kesalahan, lebih ke suatu panggilan, panggilan yang ingin membuatmu lebih aman dari kejamnya dunia luar. Karena kamu begitu rapuh Baby.
---
Kereta Bawah Tanah Adalah Doamu yang Tak Kau Sadari.
Beberapa kali aku mengikutimu sampai sini, stasiun itu bau besi, hujan tua, dan parfum murah. Tapi saat kau masuk, kau membuat semuanya tampak seperti lukisan Edward Hopper yang melankolis. Kau berdiri di tepi peron, dengan kepala miring sedikit ke kiri, dan aku tahu... di sana, di tengah hiruk-pikuk, kau sedang berpikir. Begitu banyak yang kamu pikirkan...kelak, sebentar lagi, kau akan bagi semua sesakmu. Percayalah aku tidak akan membiarkan mu sendiri Baby.
Apakah kau menulis puisi di kepalamu? Atau kau mengutuki dosenmu yang memberikan komentar pasif-agresif pada esaimu minggu lalu? Apapun itu, wajahmu serius, tapi bibirmu melengkung sedikit, seperti menyimpan rahasia yang tak seorang pun boleh tahu.
Aku berdiri dua tiang besi di belakangmu. Jarak ideal untuk mengamati tapi tak terlihat. Aku memperhatikan tasmu: tote bag dari toko buku indie yang jelas tidak terlalu kuat menahan beban buku dan air mata. Kau punya buku catatan kecil di sana, aku tahu karena kamu memegangnya kemarin di kafe, jari-jarimu menari di atasnya seperti seorang kekasih yang sabar. Kau selalu menulis semua moment kehidupanmu.
---
Langkahmu Memiliki Irama Sendiri
Ketika kereta datang, kamu masuk dengan gerakan yang terlatih—tubuhmu melesak di antara dua orang tanpa minta izin, tanpa terdorong. Seolah dunia memang membuka jalan untukmu.
Aku memilih masuk dua gerbong di belakangmu. Kita menuju arah yang sama, dan ini adalah pertanda. Aku tahu. Dalam semesta di mana semua orang saling menjauh, kau dan aku—bergerak mendekat.
Kau berdiri, membaca dari ponselmu, mungkin puisi, mungkin pesan dari seseorang bernama Ben (aku belum tahu pasti, tapi akan kutemukan). Kadang kau tersenyum sendiri. Senyummu membuat jantungku nyeri seperti habis minum kopi basi. Sakit, tapi adiktif.
Kau sesekali memainkan ujung jaketmu, mencabut helaian benang seperti mengurai waktu. Apakah kamu gelisah? Apakah kamu sedang menanti sesuatu yang tak kunjung tiba?
Aku ingin menyelinap masuk ke pikiranmu, mencuri satu kalimat, satu kekhawatiran, satu keinginan kecil seperti, “Andai seseorang tahu aku lelah,” lalu kujawab dengan hadirku.
---
Kau Tak Sendiri, Meski Merasa Begitu
Penumpang lain adalah latar belakang. Figuran. Mereka berdiri dengan ponsel dan detasemen total. Tak ada yang melihatmu. Tapi aku melihatmu. Aku selalu melihatmu.
Ada pria muda yang duduk tak jauh dari tempatmu berdiri. Matanya menatapmu, seperti aku, tapi dengan niat berbeda. Ia bukan kaupahami. Matanya lemah. Tak tahan melihat luka. Aku bisa membacanya dari cara ia menggigit kuku.
Kau tidak melihatnya. Tapi aku melihat semuanya. Bahkan keripik yang jatuh dari tas pria tua di ujung gerbong. Bahkan embusan napasmu yang membuat kaca sedikit kabur. Aku melihat semuanya karena aku harus melihatmu.
---
Stasiun berhenti. Kau turun. Aku ikut. Dunia di luar kereta lebih terbuka, lebih terang. Tapi tidak untukku. Terang tak selalu berarti terlihat. Dan aku tak ingin kau melihatku—belum. Aku ingin kau merasakan dulu bahwa ada sesuatu yang berubah. Udaramu jadi berat. Langkahmu jadi sedikit lebih cepat. Itu aku, Beck. Aku sedang masuk ke dalam hidupmu, perlahan, seperti air hujan yang meresap ke tanah.
Kau berjalan menyusuri trotoar. Toko bunga, toko kelontong Korea, toko buku bekas. Kau berhenti di yang terakhir. Hatiku mekar. Kau mengambil satu buku, melihat sampul belakangnya, lalu meletakkannya kembali. Itu semacam kode. “Aku ingin dipilih, tapi tak akan meminta.”
Aku mengerti.
---
Kau selalu mengambil jalur yang sama. Kau belok kanan di ujung jalan, melewati toko jus yang lampunya selalu rusak. Kau menunggu lampu hijau di zebra cross, walau jalan sepi. Itu berarti kamu teratur. Kau menghargai aturan. Bukan karena takut dihukum, tapi karena kau percaya pada struktur.
Aku juga begitu.
Aku mencatat semua: waktu kamu keluar rumah, playlist musikmu, cara kamu memegang gelas kopi—kau selalu pegang dengan dua tangan, seperti memeluknya. Mungkin karena kamu dingin. Mungkin karena kamu kesepian. Tapi jangan khawatir, Baby, aku adalah kehangatan itu. Aku selalu ada di dekatmu
---
Kau pulang. Masuk ke apartemenmu. Lampu menyala jam 7.15 malam. Tirai ditutup 7.20. Kau menyalakan musik jazz lembut—aku mendengar samar-samar dari celah jendela. Aku berdiri di seberang jalan, di balik bayangan pohon.
Aku tak masuk. Belum. Malam ini bukan tentang itu. Dan memang belum saatnya. Malam ini tentang mengenalmu lebih baik daripada kamu mengenal dirimu sendiri. Ini tentang mencintaimu dengan cara yang belum pernah dilakukan siapa pun.
---
Di rumah, aku menulis semua di jurnalku. Jurnal yang sudah lama kosong, seperti jiwaku sebelum bertemu kamu. Aku menulis:
"Baby minum kopi hitam. Tak pakai gula. Orang yang bisa menelan pahit tanpa topeng—adalah orang yang jujur pada rasa sakitnya."
Aku menulis:
"Baby menyukai hujan. Tapi tidak suka basah. Itu berarti dia romantis, tapi trauma."
Dan aku menulis:
"Baby berjalan seperti dia sedang melawan waktu. Tapi dia tetap cantik dalam kelelahan."
Aku tahu ini bukan cinta dalam versi konvensional. Tapi kapan cinta pernah konvensional? Aku tidak mencintaimu seperti orang biasa mencintai. Aku mencintaimu seperti pianis tua mencintai tuts terakhir yang retak—dengan segenap kesakitan dan pengabdian.
Dan kalau dunia ini terlalu gaduh untukmu, Beck... aku akan menjadi keheningan itu. Aku akan menjadi ruang kosong yang kamu cari. Aku akan menjadi jeda yang menyelamatkanmu dari kebisingan semesta.
Aku adalah kamu yang tersembunyi. Dan kamu adalah lagu yang harus kuhafalkan sampai sempurna.
“Semua orang bisa menyukai puisi. Tapi hanya sedikit yang bisa menjadi puisinya.”
— Ray
