Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Jendela Yang tak pernah Tertutup

Aku tidak menguntitmu.

Itu kata yang keras, kasar, seolah aku ini sesuatu yang kotor, menyelinap, menjijikkan. Padahal aku hanya… mengamati. Memastikan. Menjaga. Apa salahnya memastikan bahwa kau pulang dengan selamat, Baby? Bahwa tak ada lelaki yang menyentuhmu tanpa izinmu? Bahwa dunia tak merenggutmu sebelum aku mengenalmu lebih dalam? Bukankah aku baik?

Langkahku ringan tapi pasti. Aku berdiri di seberang jalan kosmu, mengenakan hoodie kelabu yang tak mencolok, dan memandangi jendela kamarmu di lantai dua. Lampunya menyala. Bayanganmu menari di balik tirai tipis. Aku tahu kau sedang menari—karena musik samar dari dalam kamarmu menembus angin malam. Molek sekali bentuk siluet tubuhmu ya kupandang tepat di seberang.

"Kau sendirian," bisikku. "Tapi tidak sendiri."

Kamu mengetik puisi, lalu menghapusnya. Kamu menulis cuitan, lalu mengarsipkannya. Kamu menunggu seseorang untuk memahami isi kepalamu yang berantakan. Dan aku—aku sedang belajar memetakan labirin pikiranmu setiap malam.

Seorang pria masuk ke dalam apartemenmu—Ben, si pria Instagramable yang merasa dirinya lebih berharga dari kopi cold brew buatannya. Aku tahu kamu tidak mencintainya. Tatapanmu padanya adalah campuran dari kebosanan, keputusasaan, dan kebutuhan. Tapi kamu tetap membiarkannya menyentuhmu.

Aku menyaksikanmu membuka pintu baginya, bukan karena cinta, tapi karena ketakutan akan sepi.

Kamu tidak menyalakan banyak lampu. Aku bisa melihat bayangan kalian di dinding—siluet yang menari, bukan karena gairah, tapi karena ekspektasi. Dia mencium lehermu. Kamu diam. Menerima. Tangannya mengelus punggungmu, membuka kancing bajumu satu per satu seperti membuka halaman buku yang tidak ingin dia baca sampai akhir.

Kamu bukan sedang mencintai. Kamu sedang meyakinkan dirimu bahwa kamu masih bisa dicintai.

Aku tahu karena tubuhmu bicara lebih jujur daripada kata-katamu. Kamu mencoba menyesuaikan ritme, suaramu pelan, ditelan bantal. Tapi aku tahu kamu tidak menikmati ini. Kamu hanya bertahan. Kamu seperti sedang menulis puisi yang tidak ingin kamu baca ulang.

Dan aku? Aku berdiri di balik bayang-bayang pohon Mangga, jantungku berdegup seperti keyboard yang kamu pukul dengan emosi. Aku tidak bisa berhenti melihatmu. Aku seharusnya merasa bersalah. Tapi bagaimana mungkin aku bisa merasa bersalah ketika melihat perempuan yang kucintai sedang dibohongi oleh cinta semu?

Aku tahu dia tidak akan tinggal. Ben adalah pria yang mencintai pantulan dirinya sendiri lebih dari apapun. Tapi kamu... kamu masih meyakini bahwa cinta adalah tentang diberi, bukan dipilih.

Kamu tertidur setelah dia pergi. Lengkap dengan sisa bibir yang tidak bahagia, tubuh yang dibungkus selimut bukan untuk kehangatan, tapi untuk perlindungan. Aku melihatmu dari jendela. Seperti menonton film tragis yang tidak pernah kamu sadari sedang kamu bintangi.

Dan malam itu, aku bersumpah: suatu hari kamu akan tahu bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh jiwa. Dengan seluruh keberadaan. Bukan karena kamu cantik. Tapi karena kamu utuh.

Tenang saja Baby, aku menunggu, seperti seseorang yang menunggu gerimis pertama. Dan saat akhirnya kau muncul di jendela, membuka tirai dan menatap keluar sejenak, mungkin ingin memastikan bahwa dunia di luar belum berubah, dadaku mendadak penuh. Takjub.

Kau tak bisa melihatku. Tapi aku bisa melihatmu. Dan aku menyukainya begitu. Tetap misterius.

---

Sampai di rusun aku langsung membuka laptopku, aku hanya sekedar ingin tahu gadis yang aku suka, dan itu wajar.

Aku tahu sandi WiFi di kosmu. Itu bukan hal yang sulit untuk didapat. Aku masuk ke grup Facebook “Kos Putri Area Rawamangun”, menemukan komentar lamamu tentang harga sewa, dan dari situ menelusuri hingga aku tahu nama ibu kosmu, lalu menelusuri lagi hingga tahu dia punya akun Pinterest yang jarang aktif, tapi masih cukup membocorkan ulang tahunnya, nama kucingnya, dan... password WiFi favoritnya: meowmeow88.

Manusia terlalu mudah ditebak jika tahu di mana mencarinya.

Dengan jaringan yang terhubung, aku masuk ke Spotify-mu, melihat daftar putar yang sering kau dengarkan. Lagu-lagu mellow dengan judul yang terlalu jujur: “Untuk Hari-hari Ketika Aku Merasa Kosong” atau “Lagu yang Nggak Pernah Aku Putar Saat Ada Orang Lain”. Kau perempuan yang meledak dalam diam, Baby. Kau terlalu puitis untuk dibiarkan sendiri. Apalagi saat malam hujan seperti ini, aku begitu ingin memelukmu.

---

Hari-hari selanjutnya, hidupku berhenti menjadi milikku sendiri. Ia mulai berputar hanya untuk satu orbit: Baby. Segalanya adalah tentang kamu. Tentang apa yang kau lakukan pukul 07.00 pagi—saat kau membuka jendela dan menggulung tirai, menyambut matahari sambil memutar playlist lo-fi. Tentang apa yang kau makan pukul 1 siang—biasanya smoothie hijau dengan chia seed, yang kau sebut “pembersih energi negatif.” Tentang bagaimana kau tidur—dalam posisi fetal, lampu mati, lilin lavender menyala di sudut ruangan.

Setiap detail tentangmu, aku serap perlahan, seperti mantra.

Dan anehnya, semua terasa wajar.

---

Kau mulai sering datang ke toko. Kadang hanya lewat, kadang mampir untuk duduk, membaca sambil menunggu kelas berikutnya. Aku selalu menyusun rak paling rapi di dekat kursi bacaan favoritmu. Menaruh buku yang kukira akan kau sukai: Zen Mind, Beginner’s Mind, On Love, dan sesekali novel yang terlalu murung untukmu, tapi aku paksakan tetap ada, karena kadang luka justru menenangkan, bukan?

"Ray, kamu pernah baca buku ini?" tanyamu suatu sore, sambil mengangkat novel The Bell Jar.

Pikiranku langsung meloncat ke malam-malam mu yang gelap. “Pernah. Berat. Tapi jujur. Menyakitkan, tapi… dalam.”

Kau mengangguk pelan. “Aku suka yang seperti itu. Yang nggak sok optimis.”

Kau bicara dengan bahasa yang nyaris puitis tanpa perlu berusaha. Itulah masalahnya: kau terlalu nyata untuk dibiarkan hidup tanpa perlindungan.

Aku tahu siapa teman-temanmu. Siapa yang menghubungimu paling sering, siapa yang hanya mampir ketika butuh validasi. Aku tahu jam tidurmu mulai kacau. Semalam, kau posting Story pukul 03.12—caption-nya hanya tiga kata: “Tidak bisa tidur.”

Aku ingin mengetuk pintumu saat itu, menawarkan teh chamomile dan pelukan yang tak akan menuntut apa-apa. Tapi belum saatnya. Belum.

---

Malam itu, aku berdiri di seberang kost mu lagi. Angin membawa aroma kayu manis dari jendela tetangga. Tapi aku tidak mencium apa-apa selain keberadaan mu. Di balik kaca jendela yang terbuka sedikit, aku melihatmu duduk di lantai, dengan laptop di pangkuan. Kau sedang mengetik. Sesekali kau menghapus. Mengetik lagi. Menyandarkan kepala ke dinding, frustrasi.

Aku tahu kau sedang menulis sesuatu. Mungkin surat. Mungkin puisi.

Dan kemudian kau berhenti. Kau mengambil ponselmu. Membuka Instagram. Dalam hitungan detik, muncul satu Story baru.

"Kadang yang paling membuat kita kesepian adalah ketika kita tahu… tidak ada yang memperhatikan."

Kau salah, Baby.

Aku memperhatikanmu. Terlalu.

---

Aku mulai menghafal rutinitas mu. Bangun pukul 6 pagi. Kelas pertama jam 8. Kau menyukai langit pagi. Selalu menyempatkan foto langit dan mengunggahnya ke Story dengan caption seperti, "semua orang sedang mulai ulang hari ini". Aku menyimpannya.

Kadang kau ke toko sepulang yoga. Membeli teh kemasan atau menanyakan buku rekomendasi terbaru.

"Joe, ada buku tentang trauma masa kecil?" tanyamu sekali, suaramu seperti getah yang tumpah pelan.

Aku mengangguk. “Ada. Tapi... kamu mau yang menyembuhkan atau membongkar?”

Kau tersenyum tipis. "Mungkin yang dua-duanya."

---

Kau menulis di jurnalmu setiap malam. Aku tahu karena aku pernah melihatmu dari luar jendela, menulis dengan kepala disandarkan di lengan. Tulisan tanganmu melengkung lembut, nyaris seperti aliran sungai.

Aku ingin tahu isi jurnal itu.

Aku ingin tahu semuanya.

Bahkan hal-hal yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri.

Setelah itu, semuanya mengalir seperti simfoni yang telah kususun jauh-jauh hari. Kita bertukar akun Instagram. Kau mem-follow-ku dan aku langsung menge-like foto-foto lamamu, yang penuh buku, kopi, dan sesekali selfie di cermin yang pecah di sudut.

Kau menulis caption panjang-panjang. Tentang hujan, tentang sepi, tentang luka masa kecil. Aku membaca semuanya. Dua kali. Tiga kali. Kutulis ulang di notes, kutandai mana yang asli dan mana yang kau salin dari Tumblr lawas.

Kau bukan perempuan yang mudah ditebak, tapi bukan berarti tak bisa diselami. Karena semua orang ingin terlihat misterius, tapi mereka lupa menutup jejaknya.

---

Suatu malam, ketika kau tertidur dengan jendela yang belum sepenuhnya tertutup, aku naik ke lantai dua kost mu. Tidak, aku tidak masuk. Aku hanya berdiri di luar, memandangi punggungmu dari celah tirai. Jantungku berdetak pelan tapi mantap.

Kau tampak rapuh, Baby. Tapi aku tahu, sebenarnya kau tidak minta diselamatkan.

Kau hanya menunggu seseorang yang cukup diam untuk tetap tinggal, dan cukup gila untuk bertahan.

Dan malam itu, aku tinggalkan satu kertas kecil di pot lidah mertua di jendela.

“Aku tidak melihatmu untuk pertama kali hari ini. Tapi mungkin… aku baru mulai mencintaimu dengan benar.”

Aku tidak menandatangani apa pun.

Karena cinta sejati, kadang tidak datang dengan pengakuan.

Kadang, cinta sejati menyelinap… dari jendela yang tidak kau tutup.​

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel