Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 5 Ingin Menjadi Versi Terbaik

Zemi segera duduk di kursi belakang dan memasang sabuk pengaman. Sopir mulai menjalankan mobil perlahan menyusuri jalanan Jakarta yang mulai ramai.

Baru beberapa menit berjalan, sopir itu membuka percakapan.

“Baru lulus kuliah, Mbak?”

Zemi tersenyum kecil.

“Iya, Mas. Baru lulus bulan lalu dari salah satu universitas di Bali. Ini pertama kalinya ke job fair di Jakarta.”

“Wah, jauh-jauh dari Bali, niat banget.”

“Saya pengin coba peruntungan di Kota Jakarta. Di Bali lowongannya nggak sebanyak di sini, terutama di bidang digital marketing.”

“Wah, keren. Jakarta memang keras, tapi banyak peluang juga. Apalagi kalau Mbaknya punya kemampuan.”

“Semoga ya, Mas. Saya udah ngelamar online juga, tapi belum ada yang manggil. Jadi hari ini bawa berkas cetak, siapa tahu lebih efektif.”

Mobil sempat terhenti di perempatan jalan. Lampu merah menyala, dan kendaraan memanjang sejauh mata memandang. Klakson terdengar di mana-mana. Zemi menatap ke luar, memperhatikan deretan pejalan kaki, ojek online, dan kendaraan yang saling beradu cepat.

Dia menarik napas dalam-dalam.

“Zemi, kamu pasti bisa. Jangan minder. Kamu punya kualitas!”

Gadis itu mengingat kembali malam sebelumnya, saat video call dengan ayah dan ibunya di Denpasar.

“Hati-hati ya, Nak,” ucap ibunya.

“Bawa bekal cukup, jangan malu bertanya. Kamu pasti bisa bersaing dengan anak-anak dari Jawa atau Jakarta sekalipun.”

“Iya, Bunda. Saya juga deg-degan, tapi saya pengin buktikan kalau anak Bali juga bisa bersinar di Kota Jakarta.”

“Ayah bangga sama kamu, Zemi. Fokus dan jangan lupa berdoa.”

Pikiran itu memberinya semangat. Zemi lalu membuka map dan kembali mengecek berkas-berkas yang dibawanya, CV, ijazah, sertifikat digital marketing, portofolio kampus, dan beberapa lembar surat lamaran.

“Sudah siap semua, Mbak?” tanya sopir.

“Sudah. Semoga hari ini ada perusahaan yang tertarik dengan saya.”

“Kalau boleh tahu, pengin kerja di bidang apa?”

“Saya pengin kerja di bidang pemasaran digital, Mas. Saya suka bikin konten, dan waktu magang dulu, saya juga sempat bantu kampanye online restoran lokal di Bali.”

“Wah, itu modal bagus. Perusahaan startup di Jakarta banyak yang butuh orang kayak Mbak.”

Zemi tersenyum kecil.

“Makasih, Mas. Doain ya.”

Tak lama, mobil memasuki kawasan Senayan. Lalu lintas mulai padat, tapi masih terkendali. Gedung Senayan City tampak megah berdiri di kejauhan. Saat mobil memasuki area drop-off, Zemi menggenggam map-nya erat.

“Kita sudah sampai, Mbak,” ucap sopir sambil berhenti.

“Terima kasih banyak, Mas,” Zemi memberikan bayaran dengan tambahan tip kecil.

“Semoga dapet kerja bagus hari ini, ya.”

“Amin. Makasih, Mas.”

Zemi turun dari mobil. Langkahnya masih tergesa, tapi dia tetap menjaga sikap. Wajahnya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan arah masuk ke area job fair.

Spanduk besar bertuliskan,

“Job Fair 2025, Unlock Your Future!” Tergantung di dekat pintu masuk. Deretan anak muda berpakaian rapi sudah memadati lobi mall. Suasana penuh antusiasme.

Zemi menunjukkan e-ticket dari ponsel kepada panitia.

“Selamat pagi. Tolong namanya?” tanya panitia perempuan yang mengenakan ID card biru.

“Zemi Rania.”

“Baik, Mbak Zemi. Ini ID card-nya dan booklet acara.”

“Terima kasih.”

Dengan ID card bertuliskan Zemi Rania, Job Seeker tergantung di leher, gadis itu melangkah masuk. Matanya menyisir ruangan besar berisi booth dari berbagai perusahaan.

Pandangannya tertuju pada booth perusahaan media digital ternama yang selama ini dia kagumi.

Gadis itu menarik napas dan berkata pelan,

“Zemi, ini langkah pertamamu. Jangan pernah ragu!”

Langkahnya mantap, suara hak sepatunya bergema di lantai marmer. Beberapa pelamar lain menoleh, namun Zemi tetap fokus. Dia adalah gadis Bali dengan semangat yang tinggi. Gadis yang datang bukan untuk sekadar ikut job fair, tapi untuk membuka lembaran baru dalam kariernya.

Di sudut Kota Jakarta lainnya.

Matahari pagi menelusup masuk melalui celah tirai jendela apartemen di lantai sebuah gedung tinggi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Di dalam sebuah unit, seorang gadis muda dengan rambut panjang hitam tampak tergesa-gesa menyisir rambutnya di depan cermin bundar yang tergantung di atas meja rias kecil.

Sanaya Irvin Mareta, gadis asal Manado, baru tiga bulan lalu lulus dari salah satu universitas ternama di Sulawesi Utara. Dengan semangat yang menggebu, dia memutuskan untuk merantau ke Jakarta, kota yang katanya penuh dengan peluang dan mimpi.

"Aduh, kenapa rambutku malah ngembang begini sih pagi-pagi?" gumam Sanaya, merapikan ujung rambutnya dengan sisir bulat sambil sesekali melihat jam dinding.

Gadis itu lalu bangkit dari bangku rias dan berjalan cepat menuju dapur kecil di sudut ruangan. Apartemennya mungil namun cukup nyaman, dengan satu tempat tidur queen-size, lemari pakaian putih, rak buku berisi beberapa novel dan map berisi CV-nya, serta dapur kecil dengan kompor listrik dan wastafel mungil.

Sanaya membuka lemari es dan mengeluarkan sebotol kecil susu cokelat.

"Setidaknya minum ini biar nggak pingsan di jalan," serunya sambil menyobek bungkus roti tawar dan mengolesinya dengan selai kacang.

Setelah menelan sarapan kilatnya, Sanaya buru-buru ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dia keluar dengan sudah mengenakan kemeja putih bersih yang disetrika rapi, blazer abu-abu, dan rok span hitam sepanjang lutut. Sepasang flat shoes warna nude tampak tergelincir rapi di kakinya.

Dia kembali berdiri di depan cermin, merapikan kerah bajunya.

"Sanaya, kamu pasti bisa! Jangan grogi. Hari ini harus dapat satu wawancara," ucapnya memberi semangat pada diri sendiri.

Setelah itu,

Dia meraih tas kerja hitamnya yang berisi beberapa salinan CV dan surat lamaran yang sudah dicetak sejak semalam. Kemudian, Sanaya mengambil ponselnya dan membuka aplikasi ojek online.

"Lewat jalur busway pasti penuh. KRL? Ih, ogah desak-desakan. Ojek online aja deh!" gumamnya sambil memilih titik jemput, Apartemen Kuningan Tower B, Lobby Utama. Titik tujuan, Senayan City, Job Fair Hall.

Beberapa detik kemudian, notifikasi muncul.

“Driver, Mas Angga. Motor, honda beat. Estimasi tiba, empat menit.”

Sanaya menarik napas lega.

"Okay, pas banget. Kalau naik motor, bisa potong jalur dan hindari macet."

Ponsel bergetar. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

"Halo?" jawabnya sambil meraih kunci apartemen dan masker medis dari meja dekat pintu.

"Halo, selamat pagi. Ini Mas Angga, driver ojek online. Saya sudah di bawah ya, Mbak Sanaya."

"Okay Mas, saya turun sekarang ya. Tunggu di lobby aja ya."

"Siap, Mbak."

Sanaya segera keluar dari unit apartemennya dan menekan tombol lift. Saat menunggu lift datang, dia melihat bayangannya di dinding lift yang mengilat.

"Hari pertama hunting kerja secara langsung. Harus tampil pede," bisiknya sambil menarik napas dalam-dalam.

Lift terbuka, Sanaya masuk bersama seorang bapak-bapak berkemeja batik dan wanita muda yang sibuk dengan ponselnya. Tak ada percakapan. Suasana hening. Sanaya memandangi angka-angka di panel lift yang perlahan menurun dari lantai atas ke lantai dasar.

Sesampainya di lobby, Sanaya langsung melihat seorang pria berjaket hijau dengan helm hitam duduk di atas motor, menatap ponselnya. Gadis itu segera melambaikan tangannya.

"Mas Angga?"

Pria itu menoleh dan tersenyum.

"Iya, Mbak Sanaya? Yuk langsung jalan?"

Sanaya mengangguk sambil mengenakan helm dan naik ke boncengan.

“Kalau bisa lewat jalan tikus aja ya, Mas. Takut macet banget di jalanan,” ucapnya saat motor mulai melaju.

"Tenang aja, Mbak. Saya sudah hafal jalur anti-macet. Nanti kita lewat Jalan kecil terus tembus ke Senayan. Biasanya lancar."

Sanaya tersenyum di balik helmnya.

"Makasih ya, Mas."

Perjalanan di pagi hari itu cukup lancar. Sanaya memperhatikan jalanan Kota Jakarta yang padat namun teratur. Gedung-gedung tinggi menjulang, mobil-mobil mewah berseliweran, dan orang-orang di trotoar berjalan cepat seolah waktu tak pernah cukup.

Di sela perjalanan, Sanaya membuka ponselnya dan kembali mengecek email. Masih belum ada balasan dari perusahaan-perusahaan yang dia kirimi lamaran minggu lalu. Tapi gadis itu tak patah semangat.

"Masih ada harapan. Pasti banyak perusahaan lain."

Mas Angga sesekali menoleh ke belakang.

"Mbak kerja di Senayan City, ya?"

"Nggak, Mas. Saya mau ikut Job Fair di sana. Baru lulus kuliah, lagi cari kerja nih."

"Oh, semangat ya, Mbak. Dulu adik saya juga gitu. Sekarang dia kerja di kantor asuransi."

Sanaya tersenyum. "Makasih, Mas. Semoga saya nyusul, ya."

"Pasti bisa. Yang penting rajin daftar dan jangan menyerah."

Motor melaju melewati kawasan Semanggi, masuk ke jalan kecil di belakangnya, dan akhirnya sampai di depan Senayan City pada pukul delapan lewat.

Sanaya turun dan memberikan lima lembar uang sepuluh ribuan.

"Ini ongkosnya, Mas. Makasih banyak ya udah antar cepat."

"Sama-sama, Mbak. Semoga dapet kerjaannya, ya. Hati-hati."

Sanaya mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam mal dengan langkah pasti. Dia melirik ke sekeliling, sudah banyak anak muda seumurannya mengantri di dekat pintu masuk area Job Fair. Suara panitia terdengar lewat pengeras.

"Selamat pagi! Silakan tunjukkan bukti pendaftaran dan KTP di meja registrasi sebelum masuk ke area Job Fair!"

Sanaya menarik napas panjang, memperbaiki tali tasnya, dan berkata pelan pada diri sendiri, "Ayo, Nay. Ini langkah pertama menuju masa depan."

Dan dengan itu, Sanaya melangkah maju, siap menghadapi hari yang mungkin mengubah hidupnya selamanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel