BAB. 6 Pertemuan Tak Terduga di Job Fair
Riuh rendah suara langkah kaki dan percakapan para pencari kerja memenuhi hall besar lantai tiga Senayan City. Booth perusahaan berdiri berjajar rapi, masing-masing didekorasi menarik. Sanaya berdiri di antrian booth perusahaan e-commerce ternama, memegang map cokelat berisi CV. Dia memandangi jam tangan dan menarik napas.
"Masih ada waktu sebelum wawancara pukul sepuluh," gumamnya.
Tiba-tiba, suara lembut di sampingnya membuatnya menoleh.
"Kamu juga daftar di perusahaan ini?" tanya seorang gadis cantik, mengenakan pakaian rapi dan berpenampilan sangat menarik.
"Iya, kamu juga?" jawab Sanaya ramah.
"Iya. Namaku Agnes, fresh graduate dari Yogyakarta. Kamu?"
"Sanaya. Baru lulus juga, dari Manado," jawabnya sambil tersenyum.
Tak lama, seorang gadis berambut panjang dengan pakaian rapi dan tote bag besar menyusul ke antrian. Dia menatap Agnes dan Sanaya bergantian lalu tersenyum.
"Eh, kita sama-sama antri di sini, ya? Aku Zemi, dari Bali," ucapnya sambil mengulurkan tangan. "Baru lulus juga, nyari kerjaan pertama kali."
"Sanaya," jawab gadis itu sambil menjabat tangan Zemi.
"Saya Agnes," sambung gadis yang lain.
Dalam hitungan menit, mereka bertiga sudah berbincang akrab. Ternyata mereka semua punya jadwal wawancara di jam yang hampir berdekatan, namun di booth yang berbeda. Setelah mengumpulkan CV masing-masing, Agnes mengusulkan sesuatu.
"Daripada berdiri lama-lama nunggu giliran, bagaimana kalau kita nongkrong dulu aja di kafe bawah? Ada satu yang cozy banget di lantai dua."
"Setuju!" sahut Zemi cepat.
"Kaki sudah pegal banget dari tadi."
"Ya udah, yuk!" Sanaya tersenyum lebar.
Mereka turun ke lantai dua dan memilih duduk di dekat jendela kaca besar yang menghadap ke jalanan Senayan. Tiga cangkir cappuccino panas tersaji di meja bundar putih di antara mereka.
"Jadi, kalian berdua baru pindah ke Jakarta juga?" tanya Agnes sambil mengaduk kopinya.
"Iya," jawab Zemi.
"Baru dua minggu di sini. Aku tinggal di apartemen di Kuningan. Namanya, uh, apa ya? Oh, Kuningan Heights, Tower B."
Sanaya dan Agnes langsung berpandangan.
"Serius kamu tinggal di situ?" tanya Agnes dengan mata membesar.
"Iya, kenapa?" Zemi kebingungan.
"Aku juga tinggal di situ!" sahut Agnes tak percaya. "Tower B juga! Lantai sembilan!"
Sanaya mengangkat kedua alisnya.
"Eh, jangan-jangan ... ini lucu banget. Aku juga tinggal di Kuningan Heights, Tower B, lantai sembilan!"
Zemi tertawa keras. "Ha-ha-ha. Astaga, ini kebetulan atau takdir? Kita satu apartemen? Satu tower? Satu lantai?"
Sanaya mengangguk sambil tertawa.
"Ha-ha-ha. Nggak nyangka ketemu kalian di sini terus kita juga ternyata tetanggaan!"
"Kayaknya universe lagi ngatur kita biar nggak kesepian di Jakarta deh," ucap Agnes.
Mereka pun membahas unit masing-masing.
"Aku di unit 916," ucap Agnes.
"Eh, aku 918!" Zemi menyambung.
Sanaya langsung menunjuk dirinya.
"917. Di antara kalian berdua!"
“Ha-ha-ha!’
Tawa mereka pecah bersamaan. Rasa asing dan canggung seketika menguap. Percakapan ketiga gadis itu beralih ke pengalaman pertama tinggal sendiri di Jakarta, mulai dari nyasar naik MRT, beli makan di ojek online yang nyasar, sampai kebingungan dengan jalanan Jakarta.
"Aku sempat dikira anak magang sama satpam lobby," cerita Zemi, membuat dua temannya tertawa.
"Ya ampun, kamu juga?" timpal Agnes.
"Padahal udah pake blazer begini."
Sanaya ikut menambahkan,
"Aku kemarin malam sampai susah tidur saking gugupnya untuk hari ini."
"Aduh, kita harus sering-sering ngumpul sih ini. Bikin grup medsos tetangga lantai sembilan!" seru Zemi bersemangat.
"Setuju. Kita bisa saling ingetin kalau ada pemadaman listrik atau pengumuman dari pengelola," ujar Agnes.
Sanaya mengangguk. "Atau bisa saling kirim makanan kalau lagi masak banyak. Biar berasa kayak rumah."
Kebersamaan mereka terasa begitu alami. Seolah-olah tiga gadis dari kota berbeda yang datang dengan harapan masing-masing untuk menjemput mimpi di Kota Jakarta ini, memang sudah ditakdirkan untuk bertemu dan menjadi sahabat.
Ponsel Sanaya berbunyi. Sebuah notifikasi pengingat muncul.
“Wawancara, Booth D3, 10:00 WIB.”
"Guys! Aku harus ke booth sekarang. Waktu wawancaraku udah dekat!" katanya panik sambil berdiri.
Zemi melihat ponselnya. "Aku juga! Booth G4, sepuluh menit lagi."
"Aku jam sepuluh lewat lima. Yuk, kita barengan ke atas!" ujar Agnes.
Mereka pun kembali ke lantai tiga dengan semangat baru. Sebelum berpisah di pintu masuk hall, Sanaya menoleh dan tersenyum.
"Semoga kita semua keterima ya. Apapun hasilnya, kita sudah dapat satu hal berharga hari ini yaitu persahabatan baru."
Zemi dan Agnes mengangguk bersamaan.
"Setelah ini, kumpul di lobby apartemen sore ya. Kita makan bareng!" usul Agnes.
"Siap, tetangga!" jawab Zemi sambil mengacungkan jempol.
Sanaya melambaikan tangan.
"Good luck, Girls!"
Dan dengan semangat yang menyala, mereka berpisah menuju booth masing-masing, tiga gadis tangguh dari tiga kota berbeda, yang kini tidak lagi sendirian menghadapi kerasnya kehidupan Jakarta, karena mereka punya satu sama lain.
Langit-langit kaca Senayan City memantulkan cahaya matahari siang yang menyelinap dari balik awan. Suasana lantai tiga mall yang digunakan sebagai lokasi Job Fair penuh sesak dengan para pencari kerja. Di tengah keramaian itu, tiga pria berdiri berdampingan di dekat sebuah booth yang didesain elegan, mengenakan setelan jas yang mencolok dibanding pelamar lainnya.
Asisten Mark melirik jam tangannya lalu berkata dengan suara rendah, "Okay, dua puluh menit lagi kita mulai sesi wawancara. Para bos menunggu hasilnya minggu ini."
"Asal jangan bawa kandidat yang salah. Bos Roger paling cerewet kalau sekretarisnya nggak sesuai selera," ujar Asisten Malik sambil melipat lengan.
Frans menghela napas. "Apalagi Bos Rahez bahkan kasi daftar kriteria. Harus cekatan, sopan, tapi jangan kaku. Aku rasa ini kayak audisi film."
Mark tertawa pelan. "He-he-he. Well, ini bukan sekadar mencari sekretaris. Kita cari yang bisa jadi tangan kanan para CEO. Harus tajam, peka, dan tahan tekanan."
“Dan yang terpenting kita harus ingat misi rahasia dari para bos. Pekerjaan kita jadi taruhannya!” sergah Asisten Frans dengan wajah serius.
“Benar banget, Bro! Gue belum siap jadi gembel di tengah-tengah Kota Jakarta yang megapolitan ini,” timpal Asisten Malik.
“Makanya kita harus benar-benar mencari kandidat yang sepadan dengan kriteria para bos!” ujar Asisten Mark menambahkan.
“Setuju banget!” seru Frans dan Malik, serentak.
Mereka bertiga kemudian berpisah, masing-masing menuju booth eksklusif RF Corp, EW Corp, dan RA Corp yang berjejer di sisi timur ruangan, sudah disiapkan untuk sesi wawancara tertutup dengan kandidat terpilih.
Booth EW Corp, Agnes Amora.
Agnes duduk tegak di kursi wawancara. Di hadapannya, Asisten Mark membuka map berisi CV-nya. Tatapan Mark tajam, tapi tidak mengintimidasi.
"Agnes Amora, lulusan cum laude jurusan Administrasi Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Kamu asal Yogyakarta?" tanya Mark membuka percakapan.
"Iya, Pak. Baru dua bulan di Jakarta," jawab Agnes mantap.
"Apa yang membuatmu tertarik menjadi sekretaris pribadi CEO?"
Agnes tersenyum, tenang.
"Karena saya tahu bahwa posisi ini bukan hanya mencatat jadwal atau mengangkat telepon saja. Ini soal kepercayaan. Saya terbiasa mengelola jadwal kompleks, menjaga kerahasiaan informasi, dan tetap tenang dalam tekanan."
Mark mengangguk, cukup terkesan. Dia menajamkan pandangan.
"Bagaimana kalau Bos tiba-tiba berubah. Misalnya sebuah rencana besar satu jam sebelum rapat penting?"
"Saya akan segera menyesuaikan. Menghubungi semua pihak terkait, mengubah rencana, dan memastikan semuanya tetap terlihat rapi, seolah-olah memang itulah rencana awalnya."
Senyum tipis muncul di bibir Asisten Mark. "Kamu sudah pernah menghadapi situasi seperti itu?"
"Beberapa kali saat magang di kantor gubernur Yogyakarta," jawab Agnes.
Mark menutup map. "Well, kamu kandidat yang sangat menjanjikan, Agnes. Kami akan menghubungimu paling lambat minggu depan. Terima kasih atas waktunya."
"Terima kasih juga, Pak Mark," ujar Agnes sambil membungkuk sopan.
Booth RF Corp, Zemi Rania.
Zemi masuk dengan langkah ringan, namun percaya diri. Asisten Frans duduk menunggu, mengenakan pin RF Corp di jasnya. Dia memperhatikan Zemi sejak gadis itu datang ke booth, dan sekarang saatnya menguji sendiri potensinya.
"Zemi Rania, asal Bali, jurusan Komunikasi," ucap Frans sambil membaca CV di depannya.
"Iya, Pak. Saya baru lulus bulan lalu dan langsung pindah ke Jakarta."
"Apa yang kamu pahami tentang menjadi sekretaris pribadi seorang CEO, misalnya Bos CEO RF Corp?"
Zemi tersenyum sopan. "CEO biasanya dikelilingi oleh tekanan tinggi dan keputusan besar. Saya tahu bahwa tugas saya bukan hanya sekadar administratif belaka, tapi menjadi jembatan antara beliau dan dunia luar, menyaring informasi, menjaga ritme kerja, dan menciptakan sistem yang efisien."
Asisten Frans tampak serius menilai.
"Dan kamu yakin siap untuk ritme kerja yang mungkin tak kenal jam pulang?"
"Justru itu yang saya cari, Pak. Tantangan. Saya suka bekerja dalam tekanan, selama saya tahu saya membantu seseorang mencapai tujuannya."
Frans mengangguk pelan. Dia bisa melihat kesungguhan Zemi bukan basa-basi.
"Baik, Zemi. Saya suka energimu. Kami akan menghubungimu, maksimal minggu depan. Pastikan nomormu aktif, ya."
"Siap, Pak. Terima kasih atas kesempatannya."
