Pustaka
Bahasa Indonesia

THE LADIES : BOSKU CINTAKU

69.0K · Ongoing
Zemira Fortunatus
42
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sanaya, Agnes, dan Zemi, ketiga gadis cantik yang baru saja lulus kuliah S1, memutuskan untuk mengadu nasib di Kota Jakarta. Ketiganya tak pernah menyangka jika mereka akan terjebak menjadi pacar rahasia para CEO muda yang bernama Roger, Edward, dan Rahez. Dalam rangka membantu pria-pria itu terlepas dari perjodohan yang telah diatur oleh keluarga mereka. Akankah hubungan rahasia itu akan terbongkar dan semua menjadi kacau? Ataukah mereka malah terjebak dalam hubungan yang awalnya pura-pura malah menjadi lebih serius. Penasaran kisahnya? Mari yuk, silakan dibaca! Plagiarisme melanggar undang-undang hak cipta nomor 28 tahun 2014.

RomansaPresdirNovel MemuaskanBillionaireTuan MudaFlash MarriageCinta Pada Pandangan PertamaPernikahanMemanjakanSweet

BAB. 1 Rahez Disidang Keluarga

Pagi yang cerah, sinar matahari lembut menyusup ke dalam ruang makan rumah mewah bergaya kolonial-modern di jantung perumahan elit kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Di atas meja makan panjang dari kayu jati, tersaji sarapan mewah. Diantaranya roti panggang lapis alpukat dan telur, croissant isi daging asap, buah segar, serta kopi hangat. Aroma harum latte memenuhi ruangan itu.

Rahez Finley, pria tampan dan berwibawa dengan jas santai dan rambut tersisir rapi, duduk dengan tenang sambil menyendok yogurt ke dalam mangkuknya. Di hadapannya duduk sang ayah, Jack Finley, pria karismatik berkumis tebal dengan gaya elegan. Di sampingnya, duduk Mami Gita, ibu Rahez yang anggun dan bersahaja, mengenakan kebaya modern. Oma Rika, sang nenek, juga ikut bergabung dengan gaun tidur satin biru dan syal ringan di bahunya.

"Jadi, proyek ekspansi RF Corp ke Surabaya berjalan lancar, Nak?" tanya Papi Jack sambil menyeruput kopinya.

Rahez mengangguk. "Iya, Pi. Tim legal dan properti sudah deal dengan pihak pengembang lokal. Dua minggu lagi tinggal ground breaking."

"Hebat sekali cucu Oma," gumam Oma Rika sambil tersenyum bangga.

"Baru sebentar memimpin, jadi CEO. RF Corp makin terkenal di mana-mana."

Mami Gita mengusap tangan putranya lembut. "Kamu memang kerja keras, Nak. Tapi jangan lupa jaga kesehatan juga. Tadi malam pulang jam berapa?"

"Jam satu pagi, Mi. Ada investor dari Jepang yang harus dinner bareng," jawab Rahez dengan nada lelah namun tetap sopan.

Percakapan berlanjut santai, diselingi tawa bahagia dan pembahasan ringan seputar kabar perusahaan keluarga, saham, dan proyek sosial. Namun suasana mulai berubah ketika Oma Rika meletakkan garpunya dan menatap cucunya tajam.

“Rahez,” ucap Oma pelan namun mantap.

“Kamu ini sudah mapan, tampan, terkenal, tapi Oma heran, kamu kok belum punya pacar, sih?”

Rahez terdiam sejenak. Dia meneguk kopinya sebelum menjawab. “Belum ketemu yang cocok, Oma.”

Mami Gita langsung menyambar.

“Wah, itu artinya kamu memang butuh dikenalkan! Kebetulan sekali, minggu depan sahabat Mami dari Bali mau ke Jakarta. Putrinya, cantik dan sopan sekali. Lulusan universitas terkenal. Mami mau kamu ketemu dia.”

Rahez langsung mengangkat alis, wajahnya tegas.

“Mami, please. Aku nggak butuh dikenalkan kepada siapapun. Aku bisa cari sendiri.”

Namun belum sempat Mami Gita membalas, suara Papi Jack terdengar dalam dan tenang, tapi penuh tekanan.

“Kalau sampai akhir bulan depan kamu belum kenalin satupun gadis kepada keluarga ini, maka kamu harus terima perjodohan itu.”

Rahez mematung. Matanya mengarah ke ayahnya, seakan tak percaya.

“Serius, Pi?” tanyanya tajam.

Tuan Jack mengangguk. “Sudah waktunya kamu mikirin masa depan, pewaris keluarga. Kamu pikir RF Corp ini dibangun cuma buat satu generasi? Kami butuh penerus, dan kamu bukan robot yang bisa hidup hanya untuk kerja, kerja dan kerja. Kamu harus berkeluarga!”

Nyonya Gita menambahkan dengan suara lembut,

“Mami tahu kamu sibuk terus di perusahaan. Tapi hidup harus terus berjalan. Jadi tidak ada salahnya kamu kenalan dulu, kan?”

Rahez berdiri perlahan dari kursinya. Dia menghela napas panjang.

“Aku belum siap, Mi. Pi. Oma. Aku nggak mau terlibat dalam hubungan yang cuma karena tekanan keluarga. Bukan seperti itu cara aku membangun rumah tangga.”

Oma Rika menatapnya, nadanya lebih lembut. “Cinta bisa tumbuh kapan saja Rahez. Jangan terlalu idealis.”

Rahez tersenyum pahit. “Aku bukan idealis, Oma. Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri. Aku akan coba buka hati, tapi jangan paksa aku untuk nikah sama orang yang bahkan belum aku kenal.”

Mami Gita hendak membalas, namun Papi Jack mengangkat tangan memberi isyarat cukup.

“Kita nggak memaksa harus sekarang kamu menikah Rahez” ujar Papi Jack.

“Tapi ingat, deadline-nya jelas. Akhir bulan depan. Kalau kamu masih belum memperkenalkan kepada keluarga perempuan pilihanmu. Maka kamu harus menerima perjodohan itu,” tegas sang ayah.

Rahez menatap ayahnya lama. Pandangan itu bukan benci, tapi campuran kecewa dan beban yang menumpuk. Dia tahu keputusan sudah bulat, dan kompromi tidak akan mudah.

“Baik,” jawabnya akhirnya.

“Tapi aku akan tetap cari jalanku sendiri. Dan kalau aku bawa seseorang, keluarga harus hormati pilihanku juga!”

Mami Gita tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan kekhawatiran.

“Tentu saja, Rahez. Kami hanya ingin kamu bahagia.”

Sarapan pun berlanjut dalam suasana yang lebih tenang, meski ada ketegangan halus di sana. Rahez mengaduk sisa yogurt di mangkuknya, pikirannya mulai melayang ke berbagai kemungkinan. Siapa yang bisa dikenalkan olehnya kepada keluarganya dalam waktu sebulan. Dan yang lebih penting, adakah seseorang yang benar-benar ingin dirinya kenalkan.

Oma Rika hanya tersenyum, memandangi keluarga kecil itu dengan tatapan penuh harapan. Di matanya, cucunya adalah pewaris sejati, tinggal mencari hati yang sepadan.

Dan hari itu, di tengah kehangatan sarapan di Kemang, sebuah babak baru pun diam-diam dimulai untuk Rahez Finley.

Mobil Lexus hitam menggelinding mulus keluar dari gerbang besar rumah mewah Rahez di kawasan Kemang. Di kursi belakang, Rahez Finley duduk dengan wajah serius, jas kerjanya rapi dengan dasi abu-abu gelap yang serasi. Di balik kemudi duduk Frans, pria muda yang telah lama menjadi asisten sekaligus sopir kepercayaan Rahez.

“Langsung ke kantor, seperti biasa, Bos?” tanya Frans sambil terus melaju.

Rahez hanya mengangguk, menatap keluar jendela. Jalanan Jakarta sudah mulai ramai oleh kendaraan dan aktivitas pagi.

Asisten Frans melirik lewat kaca spion, memperhatikan wajah bosnya yang tampak gelisah.

“Ada yang mengganggu pikiran Anda, Bos Rahez?” tanyanya hati-hati.

Rahez mendesah panjang, lalu berkata dengan nada kesal, “Pagi-pagi saya sudah ditodong keluarga buat nikah, Frans.”

Frans tertawa pelan. “ Ha-ha-ha. Waduh. Tuan dan Nyonya lagi ngebet punya menantu, ya?”

“Bukan cuma ngebet,” sahut Rahez.

“Tapi juga disertai dengan ancaman! Kalau akhir bulan depan gue belum kenalin cewek ke mereka, gue bakal dijodohin sama anak sahabat Mami.”

Frans mengangkat alis. “Serius, Bos? Ngeri amat ultimatum-nya.”

“Lo pikir gue bercanda?” Rahez membetulkan kerah jasnya.

“Gue capek, Frans. Mereka nggak ngerti, kerjaan di RF Corp ini nggak gampang. Jadi CEO tuh bukan cuma tanda tangan kontrak doang.”

“He-he-he! Iya sih, Bos.”

Frans tertawa pelan, lalu kembali fokus ke jalanan.

Namun tak lama kemudian, dia berkata pelan,

“Kalau boleh saya kasi saran, Bos. Kenapa Anda nggak pura-pura aja punya pacar?”

Rahez meliriknya dengan tatapan bingung.

“Pura-pura?”

“Iya, Bos. Sewa aja cewek buat akting jadi pacar Anda. Biar keluarga tenang, dan Bos nggak perlu beneran nikah. Kalau akhir bulan depan ditanya lagi sama keluarga, tinggal bawa cewek itu ke rumah.”

Rahez mengangkat alis, seolah ide itu cukup gila namun masuk akal.

“Nyewa pacar?” ulangnya, masih ragu.

“Memangnya ada cewek yang mau disewa begitu?”

Frans mengangguk mantap.

“Ada, Bos. Sekarang tuh banyak, di medsos juga banyak jasa kayak gitu. Mereka profesional. Acting-nya bisa meyakinkan banget. Ada yang bisa masak, pintar ngobrol, sopan pula. Cocok buat acara keluarga.”

Rahez menatap lurus ke depan, pikirannya mulai memutar. Sang pria sadar kalau dia tidak bertindak cepat, maka perjodohan itu akan jadi kenyataan. Mungkin saja gadis yang dikenalkan padanya baik, tapi Rahez tak ingin hidup dalam pernikahan tanpa cinta.

“Dan keluarga gue nggak bakal curiga?” tanya Rahez.

“Asal dipilih gadis yang pinter, nggak akan ketahuan, Bos. Anda bisa kasi skenario ntar, tinggal latihan dikit untuk pura-pura. Lagipula, yang penting dia bisa jaga sikap dan kelihatan tulus.”

Hening sejenak. Mobil melaju menyusuri jalan protokol. Di luar, gedung-gedung tinggi dan baliho iklan berlalu di sisi kiri dan kanan.

Akhirnya, Rahez mengangguk pelan. “Okay, kita coba cara itu.”

Frans menoleh sebentar, nyaris tidak percaya.

“Serius, Bos?”

“Ya. Gue juga males drama keluarga. Tapi dengan satu syarat.”

“Syaratnya apa, Bos?”

“Ceweknya harus pintar, tahu etika, dan bisa bawa diri. Gue nggak mau keluarga gue malah makin curiga.”

Frans tersenyum lebar. “Serahkan pada saya, Bos. Saya akan mencari sesuai kriteria yang Anda inginkan.”

Rahez tersenyum tipis, untuk pertama kalinya pagi itu.

“Gue kasi Lo waktu sampai awal bulan. Gue pengin lihat opsinya. Kirim profilnya ke email gue.”

“Siap, Bos.”

Setelah beberapa menit hening, Frans berkata pelan,

“Bos Rahez, kalau boleh tahu, kenapa sih Anda sampai segitunya nolak perjodohan?”

Rahez termenung sejenak. Pandangannya menerawang keluar jendela.

“Gue punya satu prinsip. Gue hanya menikah dengan wanita pilihan hati gue. Bukan karena kemauan keluarga atau orang lain. Karena ini masa depan gue, hidup gue nantinya, jadi gue tidak mau sembarangan!” ujar Rahez tegas.

Frans mengangguk pelan, memahami.

Dia tersenyum simpati. “Tenang, Bos. Saya bakal carikan yang terbaik. Biar nanti Tuan dan Nyonya percaya jika Anda sudah punya pasangan, dan akan batal dijodohkan.”

Mobil mulai memasuki area perkantoran, tempat gedung pencakar langit RF Corp berdiri megah. Frans mengarahkan mobil ke parkiran basement pribadi Rahez.

Sebelum turun, Rahez memandang Frans serius.

“Lo yang mulai ide ini, Frans. Jadi tanggung jawab Lo juga kalau semua ini kacau!”

Frans menegakkan badan, memberi hormat setengah main-main. “Tenang, Bos. Saya akan pastikan semuanya berjalan lancar. Bahkan kalau perlu, saya yang ajarin akting ceweknya.”

Rahez tertawa.

“Ha-ha-ha! Okay. Gue tunggu kabar dari Lo.”

“Siap, Bos CEO.”

Rahez membuka pintu dan keluar dari mobil, langkahnya mantap menuju lift eksekutif. Di benaknya, rencana ini mungkin sinting, tapi ini satu-satunya cara menghindari pernikahan palsu yang jauh lebih berbahaya.

Dan di balik pintu lift yang tertutup, sebuah permainan baru pun dimulai, permainan yang mungkin akan membawa Rahez pada kisah cinta yang tak terduga.