BAB. 4 Tekad Untuk Menaklukkan Kota Jakarta
Di suatu pagi, langit Jakarta masih diselimuti warna lembut fajar yang baru saja terbit. Burung-burung berkicau di antara deretan pohon palem yang menghiasi halaman apartemen eksklusif di kawasan Kuningan. Dari lantai atas sebuah gedung apartemen yang berdiri megah, seorang gadis muda melangkah keluar dari unit apartemennya dengan penuh keyakinan dan harapan.
Agnes Amora. Begitulah nama yang diberikan kedua orang tuanya. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu adalah lulusan baru dari salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Dia datang ke Kota Jakarta untuk mengejar mimpi, mencari pekerjaan yang layak, membangun karier, dan mengubah hidupnya.
Dengan rambut hitam legam yang dikuncir rapi dan blazer warna krem yang membalut kemeja putih serta rok span hitam selutut, Agnes tampak anggun dan profesional. Sepasang sepatu pantofel hitam yang mengkilap mengiringi langkahnya. Dia membawa tas tangan berisi berkas lamaran kerja yang sudah dipersiapkan sejak malam.
“Semangat, Agnes!” bisiknya pelan sambil menarik napas panjang begitu pintu lift terbuka.
Saat tiba di lobi, satpam apartemen menyapanya dengan ramah.
“Pagi, Mbak Agnes. Mau berangkat kerja ya?”
Agnes tersenyum sopan.
“Pagi juga, Pak. Belum kerja sih. Mau ke job fair di Senayan City. Doakan ya, semoga dapet kerja hari ini.”
“Wah, semoga dilancarkan ya. Rejeki nggak ke mana, Mbak.”
“Terima kasih, Pak.”
Begitu tiba di pelataran depan gedung, sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depannya. Sopir taksi online menurunkan kaca jendela.
“Mbak Agnes, ya?”
“Betul, Mas. Senayan City, ya?”
“Iya, yuk naik.”
Agnes masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Perjalanan pun dimulai, menyusuri jalanan Kota Jakarta yang perlahan mulai dipenuhi kendaraan.
“Baru pindah ke Jakarta, Mbak?” tanya sopir itu, membuka obrolan.
Agnes mengangguk, matanya sesekali melihat keluar jendela.
“Iya, Mas. Saya baru lulus bulan lalu. Sekarang lagi cari kerja, makanya ke job fair.”
“Wah, semangat ya, Mbak. Jakarta memang keras, tapi kalau niatnya bagus, pasti bisa.”
“Iya, saya percaya itu. Walau awalnya sempat takut juga sih. Soalnya ini pertama kali tinggal di Jakarta sendirian.”
Sopir itu terkekeh.
“He-he-he. Awal-awal pasti kaget. Macet, mahal, banyak saingan. Tapi ya, kalau Mbaknya punya semangat, pasti bisa bertahan.”
Agnes tersenyum tipis. Dia membuka ponselnya dan melihat daftar perusahaan yang akan hadir di job fair hari itu. Beberapa nama besar menarik perhatiannya, perusahaan startup, bank ternama, dan media nasional.
“Aku harus percaya diri. Pasti ada satu perusahaan yang cocok buatku dan mau menerimaku sebagai karyawan mereka,” batinnya.
Tiba di kawasan Semanggi, kemacetan mulai terasa. Mobil hanya bergerak beberapa meter dalam satu menit. Agnes melirik jam tangan mungilnya. Masih pukul setengah sembilan . Acara job fair dijadwalkan mulai pukul sepuluh pagi.
Sopir itu menoleh sebentar ke arah kaca spion dalam.
“Masih aman waktunya ya, Mbak?”
“Iya, Mas. Saya sengaja berangkat lebih pagi biar nggak buru-buru.”
Selama beberapa menit berikutnya, keduanya terdiam. Agnes tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sesekali ia mengecek ulang berkas lamarannya, CV, fotokopi ijazah, portofolio, dan sertifikat-sertifikat.
Agnes teringat obrolan terakhirnya dengan ibunya sebelum pindah ke Jakarta.
“Jaga diri baik-baik di sana ya, Nak. Kalau lapar, jangan menunda makan. Jangan malu nanya kalau nggak tahu jalan. Mama yakin kamu bisa sukses.”
“Iya, Ma. Doain aja aku bisa cepet dapet kerja, ya?”
“Mama selalu doain kamu tiap hari.”
Kata-kata dari ibunya itu memberi kekuatan tersendiri baginya. Agnes menghela napas pelan dan menatap ke luar. Gedung-gedung tinggi menjulang, kendaraan hilir-mudik, dan hiruk-pikuk Kota Jakarta pagi itu menjadi saksi tekadnya.
Sekitar pukul sembilan lewat, mobil memasuki area parkir basement Senayan City.
“Kita sudah sampai, Mbak.”
“Wah, terima kasih banyak ya, Mas.” Agnes menyerahkan uang pas untuk ongkos dan menambahkan sedikit tip.
“Sama-sama. Semoga hari ini rezekinya lancar ya.”
“Amin, terima kasih.”
Agnes turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk mall. Langkahnya mantap, namun tetap anggun. Rambutnya sempat ditiup angin sejenak, membuat beberapa helai terlepas dari ikatannya. Dia merapikannya perlahan sambil terus berjalan.
Saat tiba di dalam, suasana Senayan City sudah cukup ramai. Spanduk besar bertuliskan,
“Job Fair 2025, Unlock Your Future!” terpampang di lantai dasar, lengkap dengan logo ratusan perusahaan.
Agnes menunjukkan e-ticket registrasi kepada panitia di meja depan.
“Selamat pagi, Mbak. Bisa saya lihat tiket dan KTP-nya?”
“Ini, Kak.” Agnes menyerahkan berkasnya.
“Terima kasih. Silakan ambil ID card dan booklet acara di meja sebelah.”
“Baik.”
Dengan ID card bertuliskan, Agnes Amora, Job Seeker tergantung di lehernya, sang melangkah masuk ke area utama. Suasana di dalam penuh dengan para pencari kerja berpakaian rapi, sebagian sibuk mengisi formulir, sebagian lagi sudah berbicara dengan HR dari berbagai perusahaan.
Agnes berdiri sejenak, memandangi sekeliling. Matanya tertuju pada booth sebuah perusahaan yang telah lama dirinya incar. Dengan senyum tipis, gadis itu memberi semangat bagi dirinya sendiri.
“Ayo, Agnes. Ini awal yang baik,” ucapnya pada diri sendiri.
Langkahnya mulai bergerak menuju booth tersebut, anggun, tenang, tapi penuh semangat. Di tengah keramaian itu, Agnes Amora bukan sekadar seorang gadis dari Yogyakarta yang datang merantau. Dia adalah seorang pejuang muda, pemburu masa depan.
Dan pagi itu, Jakarta menjadi saksi pertama perjalanannya.
Di sisi lain Kota Jakarta.
Sinar matahari pagi mulai menyusup malu-malu di balik gedung-gedung pencakar langit kawasan Kuningan. Di salah satu lantai apartemen, sebuah pintu terbuka dengan cepat, disertai suara langkah kaki yang tergesa.
“Ya ampun … telat!” gumam Zemi Rania sambil mengunci pintu apartemennya.
Zemi, gadis asal Bali berusia dua puluh tiga tahun, tampak cantik dan bersemangat meskipun sedang terburu-buru. Rambut panjangnya yang hitam bergelombang dibiarkan tergerai rapi, sedikit menutupi anting kecil berbentuk bunga kamboja yang menggantung manis di telinganya. Dia mengenakan blus putih dengan blazer abu-abu, dipadukan rok span dan high heels warna nude. Di tangannya, gadis itu menggenggam map merah muda berisi berkas-berkas penting.
Sambil berjalan cepat menuju lift, Zemi mengecek ponselnya.
“Driver on the way for three minutes.”
“Duh, semoga aja macetnya belum parah,” gumamnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Begitu pintu lift terbuka, Zemi masuk dengan langkah panjang. Di dalam, hanya ada seorang pria tua berdasi yang tampak hendak ke kantor. Mereka saling mengangguk sopan.
Sesampainya di lobi, Zemi melangkah cepat ke luar gedung. Angin pagi menyentuh wajahnya, dan suara kendaraan mulai terdengar lebih jelas. Zemi berdiri di trotoar depan apartemen, matanya mencari-cari kendaraan yang sesuai dengan aplikasi.
Seorang satpam, menyapanya dari pos jaga.
“Mbak Zemi, pagi-pagi udah rapi banget. Mau ke mana?”
Zemi tersenyum sambil menahan napas.
“Pagi, Pak. Ini mau ke job fair di Senayan City. Saya agak telat bangun, padahal udah nyiapin semua semalem.”
“Wah, semoga sukses ya. Jakarta memang banyak saingan, tapi semangat!”
“Amin, makasih ya, Pak.”
Zemi kembali menatap layar ponselnya. Titik kendaraan sudah sangat dekat. Sebuah mobil hitam berhenti di depannya.
Kaca jendela diturunkan.
“Zemi Rania, ya?”
“Iya, Mas. Ke Senayan City, kan?”
“Betul. Yuk, silakan masuk.”
