BAB. 3 Roger, Si Keras Kepala
Sore menjelang senja menyelimuti kawasan elite Bintaro dengan cahaya keemasan yang hangat. Namun, suasana di salah satu rumah megah bergaya neoklasik di sudut jalan utama jauh dari kata hangat. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan pintu utama, dan keluar dari dalamnya sepasang suami istri paruh baya dengan wajah ditekuk penuh kekesalan.
Papi Yaser membanting pintu mobilnya.
“Ini keterlaluan, Enisa. Keterlaluan!” gerutunya sambil melangkah cepat menaiki anak tangga marmer yang mengarah ke pintu rumah.
“Jangan tanya perasaanku, Yaser,” balas Mami Enisa yang mengikuti di belakangnya dengan langkah tergesa.
“Tamu-tamu semua hadir. Keluarga Pak Hendra duduk menunggu sampai satu jam lebih. Kita? Cuma bisa senyum kaku dan minta maaf atas kelakuan anak sendiri!”
Pintu rumah dibuka oleh salah satu asisten rumah tangga, dan mereka masuk ke dalam ruangan foyer yang terang dan mewah. Lukisan abstrak mahal tergantung di dinding, sementara chandelier kristal bergoyang perlahan tertiup hembusan pendingin udara.
“Anak itu benar-benar membuatku kehilangan muka!” bentak Papi Yaser sembari melempar jasnya ke sofa. Mereka melangkah masuk ke ruang keluarga, duduk di sofa utama berlapis kulit krem. Wajah keduanya masih tegang.
“Dia bukan anak kecil lagi. Harusnya sudah paham arti tanggung jawab,” ujar Mami Enisa sambil memijat pelipisnya.
Beberapa menit kemudian, suara pintu depan terbuka, disusul derap langkah santai seseorang. Tak lama, Roger masuk ke ruang keluarga dengan mengenakan jaket kulit hitam dan menenteng helm balap.
“Wah, lagi suasana tegang nih,” katanya santai.
“Halo Papi, Mami!”
Papi Yaser langsung berdiri, wajahnya merah padam.
“Dari mana kamu, Roger?” bentaknya.
Roger berhenti berjalan dan tersenyum tipis. “Baru dari Sentul, Pi. Tadi ada uji coba mobil balap terbaru. Lumayan seru banget.”
“Uji coba mobil? Astaga!” seru Mami Enisa dengan suara tinggi.
“Hari ini kamu seharusnya berada di sebuah restoran! Duduk di sebelah gadis yang akan dijodohkan denganmu! Semua tamu telah hadir! Semua mata mencari-cari kamu!”
“Dan kamu malah sibuk kebut-kebutan!” tambah Papi Yaser sambil menunjuk tajam ke arah Roger.
“Kamu kira ini main-main?”
Roger mengangkat bahu.
“Tenang, Pi, Mi. Aku CEO RA Corp, aku juga sibuk kok. Bukan cuma balap. Tadi pagi aku meeting, terus langsung ke Sentul.”
“Kamu ini ngeles terus!” seru Mami Enisa.
“Kamu pikir dengan jadi CEO kamu bisa seenaknya kabur dari tanggung jawab pribadi? Makanya kamu harus cari istri! Biar hidupmu lebih terarah!”
Roger duduk di salah satu sofa dan meletakkan helmnya di meja.
“Mi, Pi, aku mengerti maksud kalian. Tapi maaf, aku memang belum tertarik dijodohkan dengan orang yang belum aku kenal.”
“Sudah kamu lihat fotonya berkali-kali! Keluarga kita sudah berteman lama!” bentak Papi Yaser.
“Itu bukan berarti aku harus menikah dengan dia, kan?” Roger tetap tenang.
“Kamu ini keras kepala sekali!” geram Mami Enisa.
“Kami sudah atur semuanya demi masa depanmu.”
Roger menatap kedua orang tuanya dengan serius.
“Aku ngerti, dan aku nggak nolak niat baik kalian. Tapi aku bukan robot. Aku juga punya pilihan.”
“Sudah cukup!” Papi Yaser mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Kalau sampai bulan depan kamu belum mau dijodohkan, semua fasilitas mewah kamu akan papi bekukan! Mobil, apartemen, kartu kredit, semua!”
Roger terdiam sejenak. Dia menatap wajah ayahnya yang penuh tekanan, lalu melirik ibunya yang tampak kecewa. Hening menyelimuti ruangan selama beberapa detik.
Lalu Roger berdiri dan berkata dengan tenang namun tegas,
“Okay. Kalau itu ultimatum Papi, aku terima. Tapi aku juga punya syarat.”
“Syarat? Kamu pikir ini negosiasi tender?” balas Papi Yaser.
“Aku akan buktikan jika aku juga punya pilihan yang lebih baik. Dalam waktu satu bulan ke depan, aku akan bawa pacarku ke hadapan kalian. Dan kalian lihat sendiri apakah dia pantas jadi calon istri untukku atau tidak.”
Mami Enisa memicingkan mata. “Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar?”
Roger tersenyum misterius.
“Sudah beberapa waktu, Mi. Aku sengaja nggak cerita karena belum yakin dia siap diperkenalkan. Tapi sekarang aku yakin.”
Papi Yaser menyilangkan tangan di dadanya.
“Kamu serius?”
“Serius banget malah! Satu bulan lagi kekasihku akan muncul. Dan kalau kalian tetap nggak setuju setelah bertemu dia, baru kita bahas ulang soal perjodohan,” jawab Roger mantap.
Mami Enisa saling pandang dengan suaminya. Ketegangan perlahan berubah menjadi kebingungan. Akhirnya, Papi Yaser mengangguk.
“Baik. Tapi kamu harus tepati janji itu. Jangan buat malu kami lagi.”
Roger tersenyum, kali ini dengan penuh percaya diri.
“Siap, Papi. Kali ini aku yang akan atur semuanya.”
Mami Enisa memicingkan mata curiga.
“Dan jangan kira kami akan menerima pacarmu begitu saja hanya karena kamu bawa dia ke sini.”
Roger mengangguk. “Aku nggak harap diterima begitu saja. Tapi aku yakin, kalau kalian mengenalnya, kalian akan tahu kenapa aku pilih dia.”
Suasana mulai mereda, meski ketegangan belum sepenuhnya hilang. Roger mengambil helmnya kembali dan berjalan ke arah tangga.
“Oh iya, by the way,” katanya sambil menoleh.
“Tadi aku hampir pecahkan rekor waktu di lintasan Sentul. Mobilku makin kencang!”
“Roger! Ini bukan soal balapan!” teriak Papi Yaser dan Mami Enisa bersamaan.
“Ha-ha-ha!”
Roger tertawa sambil mempercepat langkahnya naik ke lantai atas.
Mami Enisa menjatuhkan diri di sofa dengan napas berat. “Anak itu bikin jantungku naik turun!”
“Dia memang keras kepala. Tapi kalau benar anak itu serius, aku ingin lihat siapa wanita yang bisa jinakkan Roger,” ucap Papi Yaser sambil menggeleng.
“Semoga bukan pembalap juga,” gumam Mami Enisa.
Setelah Roger menutup pintu kamarnya dengan satu gerakan ringan, dia berdiri sejenak memandangi ruang pribadinya yang luas dan modern. Lampu gantung di tengah langit-langit menyinari interior bernuansa abu-abu dan putih. Sofa kecil di sudut, meja kerja penuh dokumen perusahaan, dan rak buku tersusun rapi menjadi saksi bisu dari seorang CEO muda yang terlihat sukses di luar, namun kini tengah terjebak dalam tekanan keluarga.
Dengan langkah lelah, Roger berjalan menuju ranjang king-size miliknya yang tertata rapi. Dia melemparkan jaket kulit ke lantai begitu saja, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.
“Hah ….” ucapnya panjang, menatap kosong ke langit-langit kamar.
Wajahnya yang biasanya dingin dan penuh percaya diri kini terlihat kacau. Matanya menyipit, dahinya mengernyit.
“Apa yang baru saja kulakukan?” gumamnya lirih.
Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Bilang ke Papi dan Mami jika aku sudah punya pacar? Astaga, Roger .…”
Roger menendang sprei dengan kesal.
“Padahal aku bahkan belum dekat dengan siapa pun,” keluhnya.
Satu kebohongan kecil demi menghindari perjodohan malah menyeretnya ke dalam masalah yang lebih besar. Roger tak bisa berpikir jernih. Yang ada di kepalanya sekarang hanyalah bagaimana caranya mendapatkan seorang gadis, yang akan menjadi pacar pura-puranya dalam waktu kurang dari sebulan.
Dengan gerakan cepat, Roger meraih ponsel di meja nakas dan mengetik pesan dengan jempol,
Roger: “Malik. Urgent! Gue butuh pacar sewaan. Harus elegan, bisa akting, dan bisa bawa diri di depan orang tua gue.”
Pesan dikirim. Belum sampai semenit, layar ponselnya menyala.
Malik :“Pacar sewaan? Maksudnya apa, Bos?”
Roger mengetik cepat,
Roger :”Gue barusan bohong ke Papi dan Mami. Gue bilang gue udah punya pacar dan bakal kenalin bulan depan. Padahal kenyataannya? Nol besar. Gue nggak punya siapa-siapa. Jadi tolong cariin.”
Beberapa detik hening. Lalu:
Malik: “Bos Roger, itu bukan urusan Asisten lho.”
Roger: “Mulai sekarang, itu urusan Lo! Kalau sampai tanggal tiga puluh gue belum punya calon pacar buat dikenalin,
Gue potong gaji Lo sebanyak delapan puluh persen.”
Malik langsung menelepon sang atasan.
Roger mengangkat dengan malas.
“Ya?”
Suara Malik di seberang terdengar panik.
“Delapan puluh persen, Bos? Yang bener aja!”
“Gue serius.”
“Bos, ini bukan cari barang impor, ini cari manusia, wanita lagi. Yang harus bisa akting jadi pacar CEO, meyakinkan dua orang tua miliarder, dan itu cuma dalam waktu satu bulan?”
Roger mengangkat satu alis.
“Dua minggu juga bisa kalau kamu niat.”
“Waduh, Bos. Saya bukan mak comblang!”
Roger bangkit duduk di ranjang.
“Malik, Lo kerja sama gue udah lima tahun. Lo yang paling tahu bagaimana gue nggak suka dijebak. Dan hari ini, Ortu gue udah bener-bener keterlaluan.”
“Ya saya ngerti sih, Bos. Tapi ….”
“Nggak ada kata tapi! Lo punya jaringan, Lo punya relasi. Lo bisa cari aktris, freelancer, atau siapa kek. Asal nggak bawa masalah. Gue butuh cewek yang bisa main peran jadi pacar gue selama waktu tertentu.”
Malik terdengar menghela napas panjang.
“Baik. Saya coba cari. Tapi saya gak janji ya, Bos. Ini susah.”
“Janji atau nggak, Lo sudah tahu konsekuensinya.”
Klik. Telepon ditutup sepihak oleh Roger.
Dia kembali rebahan, menatap langit-langit. “Apa aku gila ya?” gumamnya.
Kepalanya penuh skenario yang bisa saja gagal.
“Bagaimana jika si gadis sewaan nanti ketahuan? Bagaimana kalau dia tidak bisa akting di depan Mami Enisa yang super sensitif itu? Atau yang lebih buruk, bagaimana kalau dirinya malah jatuh cinta beneran?” Roger memejamkan mata.
“No, no, no. Jangan makin drama!”
