Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 2 Ultimatum Keras Untuk Edward

Pagi Sabtu yang begitu cerah. Mentari bersinar lembut dari ufuk timur, menyinari halaman luas rumah megah bergaya modern klasik di kawasan elit Pondok Indah. Burung-burung bernyanyi riang, dedaunan pohon trembesi bergoyang-goyang pelan tertiup angin.

Sebuah mobil sport berwarna hitam mengkilap memasuki halaman rumah. Mobil itu berhenti tepat di depan pintu masuk. Dari dalamnya keluar seorang pria tampan nan ganteng dengan postur tegap dan penampilan rapi. Jas golf masih melekat di tubuhnya, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin pagi. Dialah Edward Wilson, CEO muda dari EW Corp. Pria itu baru saja pulang setelah bermain golf bersama rekan-rekan bisnisnya.

Begitu Edward membuka pintu mobil, tiga anak kecil berlarian dari dalam rumah.

"Uncle Edward!!" teriak mereka hampir serentak.

Samuel, Zachary, dan Chila, ketiga keponakan kesayangan Edward langsung memeluk kakinya.

"Ha-ha-ha, kalian ini selalu penuh semangat ya," ucap Edward sambil membungkuk memeluk mereka satu per satu.

"Main golf lagi ya, Uncle? Menang nggak?" tanya Samuel penasaran.

"Menang dong. Tapi, kayaknya tadi teman uncle ada yang curang deh," ujar Edward bercanda, yang membuat ketiganya tertawa.

"Uncle bawain oleh-oleh, nggak?" tanya Chila, si bungsu dari mereka bertiga.

Edward tersenyum misterius.

"Hmm, coba kalian cari sendiri di mobil, siapa tahu ada kejutan."

Anak-anak itu pun langsung membuka bagasi belakang dengan antusias, sementara Edward berjalan masuk ke rumah. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya, bersama aroma harum cappucino dan roti panggang dari arah ruang makan.

Di meja makan yang panjang dan elegan, tampak dua sosok dewasa tengah sarapan. Seorang wanita elegan berambut pendek rapi, ibunya, Bunda Jasmine duduk di ujung meja, mengenakan gaun santai berwarna pastel. Di sebelahnya, pria berumur sekitar empat puluhan dengan perawakan tinggi dan tegas. Dialah, Kak Andre, kakak tertua Edward.

“Wah, pagi-pagi sudah ada tamu kehormatan,” sapa Edward sambil berjalan mendekat.

“Hei dari mana kamu? Kok baru kelihatan?” sahut Kak Andre sambil tersenyum ke arah adik bungsunya.

“Kakak dari tadi datangnya, kamu malah sibuk main golf.”

Bunda Jasmine ikut tersenyum.

“Edward Sayang, ayo sarapan dulu. Kamu pasti belum makan, kan?”

Edward mencium pipi ibunya dengan hangat, lalu duduk di kursi sebelahnya.

“Belum, Bun. Laparnya sudah kayak mau makan satu sapi nih, aku!”

“Ha-ha-ha!” Tawa semua orang.

Mereka pun sarapan bersama. Di atas meja tersedia telur orak-arik, sosis sapi, dan potongan buah segar. Sesekali terdengar suara anak-anak yang bermain di taman belakang, disela-sela obrolan ringan mereka.

“Kamu bagaimana kabarnya, Ed?” tanya Kak Andre.

“Perusahaan makin stabil?”

“Ya, Kak. Semua berjalan dengan baik. Tapi akhir bulan ini aku harus ke Singapura untuk finalisasi proyek kerja sama dengan TNC Holdings.”

“Bagus, bagus,” angguk Kak Andre sambil menyeruput kopinya.

“Itu akan jadi kontrak besar buat kamu.”

Bunda Jasmine menatap Edward dengan bangga.

“Kamu memang anak bunda yang paling rajin kerja. Tapi jangan lupa istirahat dan urusan pribadi juga, ya.”

Edward hanya tersenyum tipis. Dia sudah tahu arah pembicaraan ini akan ke mana.

Begitu sarapan selesai, mereka berpindah ke ruang keluarga. Sofa besar berbahan kulit cokelat tua mengelilingi meja kaca dengan majalah bisnis tertata rapi. Di pojok ruangan, piano putih berdiri anggun, belum dimainkan pagi itu.

Kak Andre duduk bersandar santai, lalu membuka pembicaraan dengan nada serius.

“Ed, sebenarnya Kakak ke sini bukan cuma untuk sarapan. Kakak mau bicara soal sesuatu yang penting.”

“Hmm? Apa itu, Kak?” tanya Edward sambil mengambil segelas air putih.

“Kakak dan salah satu kolega bisnis, sedang menjajaki kerjasama baru. Dan, dia punya anak perempuan cantik, berpendidikan, sopan, dan belum menikah. Usianya juga sebaya dengan kamu.”

Edward mengangkat alis.

“Tunggu dulu. Maksudnya, kakak mau menjodohkan aku?”

“Yap,” jawab Kak Andre tanpa basa-basi.

Bunda Jasmine yang duduk di sebelahnya ikut angkat bicara.

“Iya, Edward. Bunda juga kenal baik dengan keluarga tersebut. Mereka sangat terhormat. Dan usia kamu kan sudah matang untuk berumah tangga.”

Edward menghela napas, menatap keduanya bergantian. Lalu dengan suara tenang tapi tegas, dia berkata,

“Maaf, tapi aku tidak bisa.”

Kak Andre terkejut. “Kenapa? Kamu bahkan belum bertemu dengan gadis itu. Setidaknya, coba dulu kenalan.”

Edward menggeleng. “Aku sudah punya pacar.”

“Ha-ha-ha!”

Sekejap ruangan hening. Lalu, tawa jenaka pecah dari mulut Bunda Jasmine dan Kak Andre hampir bersamaan.

“Ah, masa sih?” ucap Bunda Jasmine sambil tertawa.

“Kamu pacaran sama siapa? Kok diam-diam?”

“Jangan-jangan kamu bohong ya?” tambah Kak Andre mulai curiga.

“Nggak kok, Kak!” jawab Edward sambil mengusap wajahnya yang mulai memerah.

“Aku serius. Aku memang tidak pernah cerita, tapi aku dan dia sepakat untuk merahasiakan hubungan kami, setidaknya untuk sementara.”

“Kamu ini dari kecil nggak pernah bisa bohong, Ed,” sahut Kak Andre.

“Kalau memang kamu punya pacar, kenapa belum pernah bawa dia ke rumah?”

Edward menatap ibunya, mencoba menjelaskan.

“Karena aku tahu Bunda pasti ingin mengenalnya. Tapi kami belum siap. Dia sangat pemalu.” Edward terpaksa mengarang indah.

“Oh .…” Bunda Jasmine mengangguk perlahan.

“Apakah kamu takut bunda dan Kak Andre nggak setuju?”

“Bukan takut. Aku cuma ingin semuanya berjalan natural. Dia baik, pintar, dan tulus.”

Kak Andre menghela napas.

“Lalu kenapa baru sekarang kamu bilang?”

“Karena aku tahu topik perjodohan pasti akan datang cepat atau lambat. Dan aku ingin jujur, aku sangat mencintainya.”

Bunda Jasmine menatap putranya lama, lalu tersenyum hangat. “Kalau kamu memang sudah punya pilihan sendiri, Bunda tidak akan memaksa. Tapi kamu harus kenalkan dia ke Bunda. Biar Bunda tahu siapa yang mencuri hati anak bungsu bunda ini.”

Edward tertawa lega. “He-he-he. Nanti aku atur waktunya, Bun. Aku janji.”

“Ya sudah,” ucap Kak Andre sambil berdiri.

“Tapi kalau ternyata kamu cuma ngeles biar nggak dijodohin, awas saja!”

Mereka pun berbincang-bincang ringan. Dari arah taman, suara anak-anak kembali terdengar, memanggil Uncle Edward untuk bermain. Edward melirik jam tangannya, lalu bangkit berdiri.

“Aku temani mereka main sebentar. Tapi sore ini aku harus ke kantor sebentar, ada meeting virtual dengan tim dari Korea.”

Bunda Jasmine hanya mengangguk, sambil tersenyum bangga pada putranya.

Di bawah cahaya pagi yang cerah dan hangat, keluarga itu kembali menikmati waktu kebersamaan yang langka, dalam kehangatan, tawa, dan percakapan yang jujur.

Beberapa waktu kemudian,

Edward berdiri di depan cermin besar di kamarnya, handuk putih masih melingkar di pinggangnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai marmer, namun dia tak peduli. Tatapannya tajam, namun penuh kegelisahan.

Edward baru saja selesai mandi setelah malam panjang yang melelahkan, tapi kepalanya penuh dengan satu masalah yang tak kunjung selesai.

Dengan satu tangan, pria itu meraih ponsel di meja nakas. Edward mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil.

Tuut ... tuut ….

Sambungan telepon tersambung. Dari seberang, suara pria muda terdengar ragu.

“Halo, Bos Edward?”

“Mark. Aku butuh bantuanmu.” Suara Edward terdengar tegas, tanpa basa-basi.

Asisten Mark menghela napas pelan. Setiap kali Edward memulai dengan nada seperti itu, pasti ada permintaan yang akan membuat kepalanya berdenyut.

“Silakan, Bos. Ada yang bisa saya bantu?”

“Aku butuh seorang perempuan,” ucap Edward tanpa ragu.

Mark terbatuk pelan, nyaris tersedak.

“Ma … maaf, Bos? Perempuan, seperti apa maksud Anda?”

“Untuk dikenalkan ke keluarga. Seseorang yang bisa berpura-pura menjadi kekasihku. Cantik, elegan, pintar. Tapi tidak terlalu banyak bicara. Aku akan kenalkan dia akhir bulan depan saat makan malam keluarga.”

Mark menggelengkan kepala di seberang telepon. Dia sedang berada di ruang kerja kecil apartemennya, dan kini menatap layar laptop kosong sambil menahan napas.

“Bos Edward maaf sebelumnya, tapi Anda kenapa tidak jujur saja pada keluarga? Kenapa harus …”

“Tidak ada yang menanyakan pendapatmu, Mark!” potong Edward cepat. Suaranya tenang, tapi dingin.

Mark menelan ludah. Dia tahu batasannya. Sejak bekerja untuk Edward Wilson, pria muda dan tampan itu memang dikenal perfeksionis, disiplin, dan tidak pernah mau dibantah.

“Maaf, Bos. Saya hanya sekedar menanyakan.”

“Saya tidak ingin dijodohkan, Mark. Bunda dan Kak Andre terlalu sering menekan soal pernikahan. Mereka pikir saya sudah punya pasangan karena saya pernah bilang sedang dekat dengan seseorang. Tapi itu bohong.”

Mark mengerjap.

“Jadi selama ini Anda tidak punya pacar, Bos?”

“Tidak ada,” jawab Edward datar.

“Saya hanya ingin menghindari pembicaraan jodoh. Tapi sekarang mereka ingin bertemu. Jadi kita harus mainkan ini dengan baik.”

Mark mendesah.

“Saya mengerti, Bos. Tapi ini tidak mudah. Saya harus mencarikan seorang perempuan asing yang mau ikut akting di depan keluarga Anda, Bos?”

“Bukan sekadar akting, Mark. Dia harus terlihat meyakinkan. Mewakili citra pasangan CEO. Saya akan berikan skrip pendek untuk dipelajari. Kamu hanya perlu mencarikannya.”

Mark memijat pelipisnya.

“Bos, ini seperti audisi pemeran utama untuk film keluarga. Saya harus mulai dari mana?”

Edward tersenyum tipis, walau wajahnya tetap serius.

“Gunakan koneksimu! Kamu kan asisten pribadi saya harus punya banyak akal!”

“Baik, Bos. Saya akan coba. Tapi ini bisa memakan waktu.”

“Kamu punya waktu sampai awal bulan!”

Mark menelan ludah lagi.

“Baik, Bos. Saya akan usahakan semaksimal mungkin.”

Edward mengakhiri panggilan itu. Dia meletakkan ponsel dan berjalan menuju lemari, mengenakan kemeja putih dan celana panjang kain warna abu. Tatapannya menembus jendela besar kamarnya yang menghadap pusat kota Jakarta.

"Kalau aku harus menciptakan kebohongan, maka kebohongan itu harus sempurna," gumamnya lirih.

Sementara itu, Mark terduduk lemas di kursinya. Dia mendongak, menatap langit-langit seolah berharap inspirasi turun dari atas.

“Tugas penting mencari wanita sempurna, jago akting di depan keluarga bangsawan,” gumamnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel