Bab 4 : Pria Misterius
Jarum itu tertancap di lengan mungil Audrey. Selang bening mengalirkan darah dari tubuhnya ke mesin cuci darah di samping ranjang. Di sisi lain, darah bersih kembali dialirkan pelan-pelan ke tubuhnya.
Audrey hanya diam memeluk boneka kelinci putih yang diberikan Reno, sambil sesekali mengerang kecil. Matanya tampak lelah, tapi masih menyimpan semangat saat melihat gambar bunga matahari yang tadi sore ia buat.
Dari balik kaca ruang perawatan, Emily berdiri terpaku. Jantungnya terasa ditarik-tarik, matanya berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawah, berusaha keras agar tidak menangis. Tapi air mata itu tetap jatuh juga, mengalir pelan di pipi.
"Aku gagal jadi kakak yang kuat..." batinnya lirih.
Dengan langkah berat, Emily berjalan keluar ruang rawat. Ia menuruni tangga darurat dan keluar dari pintu samping rumah sakit. Angin malam menyambutnya, dingin menusuk kulit. Ia duduk di bangku panjang taman kecil rumah sakit, memeluk tubuhnya sendiri sambil menatap langit kosong.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat.
"Emily?"
Emily menoleh. Reno berdiri di sana, mengenakan jas dokter dan di sampingnya seorang perempuan muda dengan pakaian rapi dan wajah penuh percaya diri.
"Oh... Dokter Reno," ujar Emily cepat menghapus air matanya.
Reno tersenyum tipis. "Kamu nggak masuk lagi ke ruangan Audrey?"
Emily menggeleng. "Sudah cukup melihat dari luar."
"Ngomong-ngomong, kenalkan..." Reno menoleh pada perempuan di sampingnya. "Ini Karin."
Perempuan itu menyodorkan tangan. "Hai! Aku Karin. Senang bertemu kamu. aku kekasihnya Dokter Reno."
Emily menyambut uluran tangan itu dengan ragu. "Hai. Aku Emily.
Reno melirik Emily. "Kami mau lihat kondisi Audrey sebentar ya."
Emily mengangguk kaku. "Silakan..."
Begitu Reno dan Karin menghilang di balik pintu, dada Emily terasa sesak. Jadi... dokter Reno sudah punya kekasih? Entah mengapa ia merasa kecewa. Bukan karena ia berharap apa-apa, tapi... karena ia merasa selama ini hanya dirinya dan Audrey yang saling menjaga. Reno datang seperti sinar baru dan kini sinar itu ternyata bukan hanya untuk mereka.
Ia menunduk dalam, mencoba menenangkan perasaannya.
Tiba-tiba, dari seberang jalan rumah sakit yang gelap, bayangan seseorang terlihat berdiri mematung.
Emily mendongak. Sosok pria itu mengenakan hoodie hitam, berdiri seperti sedang memperhatikannya dari jauh. Hatinya berdebar tak karuan.
"Siapa itu?"
Seketika pria itu berbalik dan berlari ke arah gang kecil di samping rumah sakit.
"Hei! Tunggu!" Emily spontan berdiri dan mengejarnya.
Namun pria itu keburu menghilang di balik belokan. Di tempat ia berdiri tadi, Emily menemukan gumpalan kertas kecil yang tampaknya sengaja dijatuhkan.
Dengan tangan gemetar, Emily membukanya.
Tulisan di dalamnya membuat napasnya tercekat.
"Saya tahu kamu butuh uang yang cukup besar. Temui saya jam 2 siang besok, di dekat rumahmu."
Emily membeku. Ia menatap tulisan itu lekat-lekat. Tangannya berkeringat.
"Siapa orang ini?
"Bagaimana dia tahu tentang masalah keuanganku"
"Dan... kenapa harus di dekat rumah?
Malam itu, Emily tak bisa tidur. Di bangsal Audrey, gadis kecil itu sudah tertidur pulas usai cuci darah. Emily duduk di kursi samping ranjang, menatap wajah pucat adiknya.
"Kamu harus sembuh, Audrey... Kakak bakal cari uang bagaimanapun caranya," bisiknya, sambil menggenggam tangan mungil itu erat.
Namun pikirannya terus kembali ke kertas misterius tadi. Ia memegangnya dalam saku hoodie-nya, seperti takut kehilangannya.
Siapa pria tadi? Apa dia penipu? Atau benar-benar bisa membantu?
~
Keesokan harinya, pukul 2 siang.
Emily berdiri di depan gang kecil dekat rumah kontrakan yang dulu mereka tempati sebelum pindah sementara ke rumah sakit. Tempat itu sepi. Hanya suara motor yang lewat sesekali.
Detak jantungnya menggema di telinga. Ia menatap kanan-kiri, menunggu.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki terdengar mendekat dari arah ujung gang. Pria itu muncul, masih mengenakan hoodie yang sama. Wajahnya tertutup sebagian, tapi kali ini dia tidak kabur.
"Emily?" tanyanya pelan.
Emily mengangguk gugup. "Kamu siapa?"
Pria itu menatap sekeliling, memastikan tak ada orang lain.
"Saya Bram, saya adalah sahabat ayahmu," katanya.
Emily membeku. "Kamu bilang apa?"
"Ya' kamu tidak salah dengar Emily Rose, Saya adalah sahabat ayahmu, Ayahmu Fandi dia dulu bekerja dengan saya., sepertinya jika saya cerita tentang ayahmu membutuhkan waktu yang tidak sebentar."
Emily menatap pria itu penuh tanya.
"Saya tahu kamu sedang kesulitan biaya untuk adikmu. Saya bisa bantu. Tapi bantuan itu pasti akan ada syaratnya..."
Emily menelan ludah. "Syarat? apa syaratnya?"
Bos Brian lalu membisik di telinga Emily." Pembunuh Bayaran".
Emily kaget " APAAA?!!!
"Sssssttttt jangan keras-keras, tidak baik jika di dengar oleh orang lain. jika kamu setuju bekerja untukku. nominal yang akan kamu dapatkan bisa menyembuhkan adikmu dan bahkan bisa sampai adikmu tumbuh dewasa dia tidak akan kekurangan apapun. saya akan menjamin kehidupan adikmu akan sempurna'."Bisiknya lirih
Emily yang terdiam membeku ." Menolak tawaran itu dengan lantang ! Aku tidak mau..!"
"Kalaupun kamu tidak mau tidak apa-apa, tapi jika besok atau lusa kamu berubah pikiran. temui saya di Apartemen pusat kota' satu lagi kamu tidak usah khawatir dengan keadaan mu sendiri jika kamu bekerja untuku, semua akan berjalan lancar namamu tidak akan ada di daftar kepolisian. semua akan rapih.
Pria itu berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Emily
~
Emily pergi bergegas kembali ke rumah sakit
Di rumah sakit, Reno memeriksa kondisi Audrey.
"Sudah lebih baik, ya. Tapi tetap harus rutin cuci darah dan pantangan makan harus dijaga," ujarnya sambil mencatat.
Audrey mengangguk kecil. "Iya, kaka dokter."
Karin berdiri di samping Reno, ikut memperhatikan.
Emily masuk ke ruangan dengan wajah letih. Tatapannya bertemu dengan tatapan Reno, tapi kali ini tidak ada senyum di antaranya.
"Aku bawakan roti untuk Audrey," kata Emily sambil tersenyum pada adiknya.
Reno tersenyum kecil. "Aku titip Audrey dulu, ya. Aku ada pasien lagi."
Setelah Reno dan Karin keluar, Emily duduk di samping Audrey dan mencium keningnya. "Kakak janji... akan cari cara supaya kamu sembuh."
Audrey menggenggam tangan kakaknya. "Aku percaya sama kakak."
Air mata kembali menggenang di sudut mata Emily.
Dalam hati, ia berbisik, “Mungkin... aku harus ambil tawaran itu, tapi jika aku ambil tawaran itu. bagaimana nanti jika Audrey tahu pekerjaan kakanya sendiri. dia pasti akan merasa kecewa bahwa kakanya adalah seorang pembunuh bayaran. tapi jika tidak diambil tawaran itu, bagaimana dengan semua biaya rumah sakit ini.
~
"Aku mau gambar lagi, Kak," bisik Audrey sambil memeluk bonekanya.
Emily langsung duduk di samping tempat tidur, membuka tas kecilnya dan mengeluarkan buku gambar serta beberapa pensil warna yang sempat ia beli sebelumnya di koperasi rumah sakit.
"Nih, Kakak bawa buku gambarnya. Tapi kamu jangan terlalu capek, ya. Pelan-pelan aja," ucap Emily lembut, menyelipkan rambut adiknya ke belakang telinga.
Audrey membuka lembaran pertama dengan semangat kecil yang masih tersisa. Tangannya gemetar saat menggambar, tapi matanya tetap fokus. Ia mulai mengguratkan sebuah bunga di atas kertas putih itu. kelopaknya besar, tengahnya bulat. Audrey sedang menggambar bunga matahari lagi.
Emily hanya bisa duduk diam memperhatikan, perasaannya campur aduk. Senang karena Audrey masih semangat, tapi juga sedih karena tubuh kecil itu harus menanggung begitu banyak rasa sakit.
"Kak," ujar Audrey lirih. "Aku gambar bunga matahari ini buat Kakak. Nanti... kalau Kakak udah punya uang... beliin aku bunga matahari yang asli, ya?"
Emily menahan napas, matanya basah. Ia memaksakan senyum sambil mengusap pipi Audrey dengan lembut.
"Iya, Sayang... Nanti Kakak belikan yang paling cantik. Tapi kamu harus janji dulu, harus sembuh. Biar kita bisa lihat bunga matahari bareng-bareng."
Audrey mengangguk lemah, lalu kembali menggambar sambil memeluk boneka kelincinya erat-erat.
Dan di saat itu, dalam hati Emily, sebuah tekad menguat: ia harus melakukan apa pun demi kesembuhan Audrey.
