Bab 5 : Jalan Yang Tak Di Harapkan
Malam sudah bergulir jauh melewati tengah malam. Jarum jam menari pelan ke angka satu. Namun, mata Emily masih terbuka lebar, memandangi langit-langit kamar rumah sakit dengan pandangan kosong. Pikirannya berputar hebat, lebih gaduh dari suara detak jarum jam di dinding. Tawaran itu... tawaran berdarah yang tadi siang disampaikan pria asing bernama Bram, terus menghantui pikirannya.
Menerima berarti melukai hati nuraninya. Tapi menolak berarti membiarkan Audrey... adik kecilnya yang begitu manis, terus kesakitan tanpa harapan biaya pengobatan.
Emily memutar tubuh, menghadap Audrey yang tidur lemah di ranjang. Selang infus masih menempel di tangannya, dan napasnya terdengar pelan tapi berat. Gadis kecil itu bahkan tidak pernah mengeluh, padahal tubuhnya begitu rapuh. Emily menghela napas panjang. Air mata hampir menetes, tapi ia menahannya.
"Maaf, Audrey.. Kakak belum bisa janji apa-apa," bisiknya lirih.
Tak lama kemudian, lelah menampar tubuhnya. Mata Emily perlahan terpejam dalam dilema, membawa mimpi yang tak menenangkan.
~
Pagi pukul delapan. Sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit, menyentuh wajah Emily yang masih tertidur di sisi ranjang Audrey. Suara pintu diketuk pelan. Seorang perawat masuk membawa nampan makanan.
“Selamat pagi, Kak Emily. Ini sarapan untuk Audrey.”
Emily mengangguk lemah. “Terima kasih,.”
Ia membangunkan Audrey pelan, lalu membantu menyuapinya perlahan. Audrey masih tampak lemah, tapi wajahnya sedikit cerah pagi ini.
“Kak…” suara Audrey terdengar pelan tapi jernih.
“Hm?” Emily menoleh, tersenyum.
“Apakah... dokter itu pacar Kaka?”
Pertanyaan polos itu membuat Emily tertegun. Ia menatap adiknya yang masih mengunyah makanan, lalu tersenyum canggung.
“Bukan, sayang. Kaka dokter itu cuma orang baik yang membantu kamu.”
“Kalau gitu... dia suka Kaka ya?”
Emily terdiam sejenak. Sebelum ia bisa menjawab, pintu terbuka. Reno masuk dengan senyum lebar.
“Hay Audrey cantik, sudah bangun dan lagi sarapan ya?” sapanya ceria.
Audrey langsung berseri. “Kaka dokter! Bawa apa itu?”
“Coba tebak?” Reno berjongkok di sisi ranjang.
“Boneka?”
“Bukan.”
“Cokelat?”
“Bukan juga.”
Audrey mengerutkan dahi. “Apa dong?”
Reno mengeluarkan sesuatu dari belakang tubuhnya. “Taraaaa! Ini bunga matahari untuk Audrey! Memang bukan asli, ini dari plastik kerajinan. Tapi cantik, kan?”
Mata Audrey langsung berbinar. Ia menerima bunga itu dengan takjub. “Cantik banget! Jadi ini gak bakal layu ya?”
“Gak akan. Paling warnanya memudar nanti. Tapi kalau udah pudar, Kaka dokter beliin yang baru lagi ya?”
“Yeaaay! Makasih Kaka dokter!” seru Audrey senang.
Emily hanya terdiam menyaksikan momen itu. Hatinya penuh rasa campur aduk. Reno, seorang pria asing yang hanya kenal beberapa hari, memberikan kebaikan yang bahkan tak bisa ia balas.
Tak lama kemudian, Reno berdiri. “Kaka dokter mau pamit dulu ya. nanti malam datang lagi menemui Audrey. Cepat sembuh, ya.”
“Iya, Kaka dokter. Hati-hati ya,” ucap Audrey sambil melambai.
Emily buru-buru keluar kamar, mengejar Reno di lorong.
“Hem… makasih, ya,” ucap Emily canggung. “Aku… aku nggak tahu harus balas gimana…”
Reno menatapnya lembut. “Gak perlu balas apa pun. Aku cuma mau bantu. Itu saja.”
Ia tersenyum, lalu pergi begitu saja tanpa menunggu balasan.
Emily berdiri lama di lorong. Hatinya bergemuruh. Ia tahu Reno bukan orang jahat, tapi ia juga tahu kebaikan orang tidak bisa terus diandalkan. Audrey butuh lebih dari sekadar bunga plastik dan semangat. Ia butuh harapan. biaya pengobatan, darah rutin, dan masa depan.
Dan satu-satunya jalan yang terbuka di depan Emily saat ini…
Adalah jalan yang tak pernah ia harapkan.
Emily melihat Adiknya sudah tertidur pulas. ia segera bergegas pergi dan menitipkan adiknya kepada perawat.
"Aku titip adikku yaa mbak, saya ada urusan penting".
"Baik kak Emily".. Ucap seorang perawat perempuan.
~
Hari mulai malam lagi. Emily berdiri di halte, menatap lampu kota yang temaram. Tangannya gemetar.
Emily menarik napas panjang.
Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu, sejak detik itu… hidupnya tidak akan pernah sama.
Emily menatap jalanan dari balik jendela taksi dengan tatapan kosong. Hujan tipis menyisakan titik-titik air yang memburamkan kaca, seolah menggambarkan isi hatinya yang kacau. Tangannya mengepal di atas pangkuan, menggenggam erat rasa takut, cemas, dan keberanian yang dipaksakan.
Taksi berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah di tengah kota. Emily turun sambil menarik napas dalam-dalam. Ia menatap bangunan menjulang itu dengan perasaan campur aduk, antara ragu dan tekad. Langkah kakinya mantap memasuki lobi apartemen.
"Selamat Malam, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa petugas resepsionis dengan ramah.
Emily mendekat, mencoba tersenyum walau gugup jelas terasa dari suaranya. "Saya ingin menemui Pak Bram. Boleh saya tahu, beliau tinggal di kamar nomor berapa?"
Petugas itu menggeleng sopan. "Maaf, Kak. Kami tidak bisa memberikan informasi nomor kamar begitu saja. Tapi saya bisa bantu hubungi beliau. Namanya siapa, Kak?"
"Emily," jawabnya cepat.
Petugas itu mengangkat telepon dan mulai menekan nomor. Emily berusaha menenangkan diri, menggigit bibir bawahnya sambil menatap sekitar. Lobi apartemen itu sangat rapi dan modern, terlalu kontras dengan isi kepala dan kehidupannya yang porak poranda.
Beberapa menit kemudian, petugas meletakkan telepon dan berkata, "Kak Emily, Bapak Bram menyampaikan agar Kakak menunggu di kafe seberang. Nanti beliau akan menyusul ke sana."
Emily mengangguk. "Terima kasih."
Ia menyeberang menuju kafe kecil yang berada tepat di depan gedung apartemen. Suasana hangat dan aroma kopi menyambutnya saat masuk. Ia memilih meja di sudut, dekat jendela, dan memesan teh hangat. Sambil menunggu, ia memandangi uap yang naik dari cangkir, membayangkan wajah Audrey yang pucat, suara lemah adiknya yang masih terngiang di telinga.
Tak lama, pintu kafe terbuka. Bram masuk, mengenakan setelan santai tapi tetap elegan. Pria berusia empat puluhan itu mendekat dengan langkah tenang.
"Sudah lama menunggu?" tanyanya sambil menarik kursi dan duduk di seberang Emily.
Emily menggeleng. "Tidak."
Bram memesan kopi lalu langsung menatap Emily tajam. "Kita mulai pembicaraan dari mana?"
Emily menatap balik dengan sorot tak kalah tajam. "Yakinkan aku. Kalau aku ikut bekerja denganmu, keamanan dan namaku harus aman. Aku tidak mau menjadi buronan atau... mati sia-sia."
Bram tertawa kecil. "Berani juga kamu. Bagus." Ia mencondongkan tubuh ke depan, bersandar pada meja. "Dengarkan baik-baik, Emily. Aku punya banyak koneksi. Polisi, jaksa, bahkan media. Namamu tidak akan muncul di mana pun. Aku bisa atur semuanya. Tapi kamu harus satu hal: jangan pernah membuatku kecewa.
Emily terdiam beberapa saat. Pikirannya menari-nari antara ketakutan dan kebutuhan. Ia tidak suka dunia gelap. Ia takut darah, takut membunuh. Tapi ia lebih takut melihat Audrey perlahan mati karena ia tak punya uang.
"Apa aku harus membunuh orang tak bersalah?" tanyanya lirih.
Bram meneguk kopinya sebelum menjawab. "Dunia ini tidak ada orang benar-benar tak bersalah. Tapi targetku bukan orang biasa. Mereka kotor, berbahaya, dan sering lolos dari hukum. Kita hanya mempercepat takdir."
Emily menghela napas panjang. "Kalau begitu... aku butuh bukti. Aku mau dibayar di depan. Untuk biaya rumah sakit."
Bram mengangguk. "Tentu. Setelah pertemuan ini, saya akan transfer kamu dengan sejumlah uang muka,. tapi itu harus ada kerja nya dan tidak gratis. ."
Bram memberikan sebuah handphone, " Dan ini untukmu, ponsel ini di lengkapi dengan gps aktif yang terhubung dengan laptop ku. tidak akan bisa kamu nonaktifkan gps. itu hanya saya yang bisa atur. semua tugas mu akan saya kirimkan melalui ponsel ini dan berikut foto target yang mesti kamu habisi.
Emily menatap Bram. Hatinya berontak, tetapi wajahnya tetap tenang. Ia hanya membayangkan Audrey terbaring lemah, memegang buku gambar, menggambar bunga matahari sambil berkata, "Kak, nanti kalau Kaka punya uang, belikan aku bunga matahari ya..."
Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan.
"Baik," katanya akhirnya. "Aku akan ikut. Tapi satu syarat: kalau sesuatu terjadi padaku, kamu harus pastikan Audrey tetap hidup."
Bram tersenyum tipis. "Kamu memang seperti ayahmu. selalu peduli dengan keluarga, Jangan khawatirkan soal adikmu. selagi kamu tidak mengecewakanku.
Percakapan mereka berlanjut dengan detail-detail teknis. Bram menjelaskan bagaimana ia akan dilatih secara cepat namun efisien. bukan sebagai pembunuh brutal, tapi sebagai alat tak terlihat. Emily akan diberi identitas baru, dompet digital anonim, dan tempat tinggal sementara.
Setelah satu jam, pertemuan itu selesai. Bram berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Selamat datang di kehidupan barumu, Emily."
Emily menyambut uluran tangan itu dengan kaku. Ia merasa seperti menjual jiwanya. Tapi demi Audrey, ia rela menjadi monster.
Keluar dari kafe, hujan sudah berhenti. Langit mulai cerah, tapi hati Emily tetap mendung. Ia kembali ke rumah sakit sore itu dengan kantung mata membengkak karena menangis di dalam taksi.
Di kamar rawat, Audrey masih tertidur. Di meja, buku gambarnya terbuka. gambar bunga matahari yang belum selesai, dengan goresan tangan kecil yang sedikit bergetar.
Emily tersenyum getir, lalu duduk di sisi adiknya.
