Bab 3 : Seseorang Memperhatikan
Malam merayap pelan di atas atap rumah sakit yang mulai sepi. Hanya deru mesin infus dan langkah kaki perawat yang sesekali terdengar menggema di lorong. Lampu di kamar Audrey diredupkan. Anak itu sudah terlelap setelah diberi obat penenang. Napasnya lambat, tapi tidak tenang. Wajahnya masih pucat, seperti kertas yang kehilangan warna.
Emily duduk di sisi ranjang cukup lama, menggenggam tangan kecil adiknya. Tapi malam terlalu panjang untuk sekadar duduk diam dalam diam. Ia berdiri pelan, mencium kening Audrey, lalu berjalan keluar kamar.
Kakinya membawanya ke kantin rumah sakit yang kosong. Kursi-kursi plastik berjajar rapi tapi terasa dingin dan asing. Ia duduk di pojok, meminum teh hangat, dan menatap kosong ke arah dinding.
"Uang... aku butuh uang," batinnya bergemuruh.
Tagihan rumah sakit, biaya transfusi, obat-obatan, dan sekarang... cuci darah. Emily bukan orang bodoh, dia tahu penyakit Audrey tidak akan sembuh hanya dengan harapan dan air mata. Tapi berapa biaya yang dibutuhkan? Lima juta? Sepuluh juta? Seratus?
Emily meremas rambutnya. Pikirannya berputar tanpa arah. Bahkan menjual tubuh pun tak akan cukup cepat untuk menyelamatkan Audrey.
Dari kejauhan, seorang pria duduk di meja depan, memperhatikannya.
Emily yang menyadari tatapan itu langsung menghindar. Ia membuang muka, berdiri, dan bergegas kembali ke kamar Audrey. Ketika ia masuk, ada seseorang di sana.
Reno.
Pria itu berdiri di samping ranjang Audrey, sedang memeriksa hasil rekam medis. Ia hanya melirik saat Emily masuk.
"Aku baru periksa hasil lab terakhir," ucap Reno, tanpa basa-basi. "Besok Audrey harus cuci darah."
Emily membeku. Matanya membelalak, tapi mulutnya tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk. takut suaranya akan pecah jika bicara.
Reno menutup map medis dan melangkah keluar.
Emily berdiri mematung. Kaki terasa lemas. Ia perlahan duduk di tepi ranjang Audrey dan menatap wajah pucat adiknya.
"Kaka janji, Dek..." bisiknya lirih, menahan isak. "Kakak bakal usahain semua. Kamu harus sehat. Harus sekolah lagi. Harus senyum lagi..."
Matanya berkaca. Dalam diam, ia mengelus rambut Audrey yang mulai rontok karena pengobatan.
Dari jendela kecil di balik kamar, bayangan seseorang tampak berdiri.
Emily menoleh cepat. Tapi saat ia membuka pintu dan mengintip ke luar, tak ada siapa-siapa. Lorong rumah sakit lengang, hanya lampu temaram dan suara jam dinding yang terdengar.
“Siapa pria itu...? Kenapa dia terus mengikutiku?"
Merasa merinding, Emily kembali masuk. Ia memilih duduk di sofa kecil di sudut kamar dan memeluk tasnya. Tubuhnya lelah. Matanya berat. Dan akhirnya, ia tertidur di sana. dalam dingin dan kegelisahan.
Tak lama setelahnya, Reno masuk pelan. Ia mendekati ranjang Audrey, memeriksa alat infus dan suhu tubuh. Lalu pandangannya jatuh ke arah Emily yang tertidur dalam posisi menyedihkan, bersandar tanpa bantal, masih mengenakan jaket lusuhnya.
Ia menghela napas, lalu mengambil selimut dari lemari dan menyelimuti Emily. Tak lupa, Reno meletakkan sekotak buah segar di meja.
Ia tak berkata apa-apa. Hanya menatap sebentar, lalu pergi keluar, membiarkan keheningan kembali menyelimuti kamar.
Pagi harinya, Emily terbangun dengan leher pegal dan mata sembab. Ia sempat bingung kenapa tubuhnya hangat, lalu menyadari ada selimut di atas tubuhnya. Ia memandang sekeliling. tidak ada siapa-siapa.
Audrey masih tertidur, wajahnya sedikit lebih tenang. Mungkin obatnya sudah bekerja.
Emily berdiri pelan, mencuci wajah, dan bersiap menyambut hari baru. Hari yang sama beratnya. Ia menatap ponselnya. puluhan lowongan kerja sudah ia tandai semalam. Tapi siapa yang mau menerima gadis SMA yang tak lulus, tanpa pengalaman?
Ia mengenakan jaket dan berjalan keluar. Hari ini, ia akan mencoba lagi. Berjalan lagi. Mencari tanpa arah. Mungkin ada yang butuh penjaga toko, cuci piring, bersih-bersih, apapun.
Ia berjalan keluar rumah sakit, menuju halte. Tapi langkahnya terasa seperti orang yang berjalan tanpa tujuan. Ia tahu dia harus bergerak, tapi tak tahu ke mana arah yang benar.
Langit Jakarta masih kelabu. Udara pagi dingin dan ramai. Tapi di hati Emily, semuanya hampa.
“Aku akan mencari pekerjaan, bahkan jika aku harus jalan kaki sepanjang kota ini,” pikirnya. “Asal Audrey bisa sembuh…”
Di sudut jalan, pria yang sama yang menatapnya semalam, kembali muncul. Kali ini, ia hanya berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan.
Emily sadar dari semalam ia merasa di ikuti oleh pria tersebut.
~
Langit pagi masih kelabu ketika Emily kembali ke rumah sakit. Angin semilir menusuk kulitnya yang dingin. Langkahnya berat, matanya sembab karena menangis semalaman. Ia mencoba tersenyum walau pikirannya remuk. Jalanan sudah mulai ramai, tapi kepalanya seperti hampa. Ia berjalan seperti zombie, tanpa arah, hanya satu tujuan, kembali ke Audrey.
Sampai di depan kamar, ia menarik napas panjang, menghapus bekas air mata di pipinya dan mencoba terlihat ceria. Tapi saat membuka pintu kamar Audrey, hatinya langsung diliputi kehangatan.
"Audrey... kamu sudah bangun?" ucap Emily pelan, matanya membulat kaget.
Di atas ranjang rumah sakit itu, Audrey duduk bersandar sambil tersenyum lemah. Di tangannya ada kertas gambar, dan di pangkuannya sebuah boneka kelinci berwarna putih dengan pita merah.
"Iya, Kak! Lihat deh... aku lagi gambar bunga matahari!" jawab Audrey ceria.
Emily langsung menghampiri, matanya berkaca-kaca. "Gambarnya cantik sekali, sayang... Ini boneka dan alat gambar dari siapa?"
Audrey menunjuk ke arah boneka. "Dari Pak Dokter. Tapi dia gak mau dipanggil Pak, katanya harus 'Kaka Dokter', hehehe..."
Emily tertegun. Dalam hati ia membatin, apa itu Reno?
Sebelum sempat bertanya lebih jauh, pintu kamar terbuka. Reno masuk sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur dan jus jeruk.
"Selamat pagi Audrey. Wah, kamu sudah bangun ya. Ini ada makanan untukmu," ucap Reno lembut.
Audrey langsung bersorak kecil. "Kaka dokter datang!"
Emily tersentak, menatap Reno yang kini mendekat. "Kamu yang memberi semua ini?" tanyanya dengan nada pelan, setengah tak percaya.
Reno hanya mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Aku cuma ingin Audrey gak merasa sendirian saat kamu keluar tadi."
Emily diam. Ada rasa terima kasih yang tak terucap. Hatinya hangat tapi pikirannya tetap dihantui soal uang dan pengobatan.
"Aku aja deh yang suapin dia," kata Emily, mengambil alih nampan dari tangan Reno.
Reno mengangguk dan menyerahkan nampan itu, lalu duduk di kursi dekat jendela, mengamati mereka berdua dengan mata teduh.
Saat menyuapi Audrey, Emily sesekali menatap Reno dari sudut matanya. Pria ini aneh. Aneh... tapi baik. Tak ada yang memberinya kewajiban untuk peduli, tapi dia tetap hadir dan membantu.
Sementara itu Audrey tampak menikmati makanannya, sesekali tersenyum kecil sambil memeluk bonekanya. Emily menyeka sudut bibir adiknya dan membelai rambutnya dengan lembut.
"Audrey... suka gambar bunga matahari?" tanya Emily.
"Iya... soalnya bunga matahari selalu lihat matahari, Kak. Dia gak pernah tunduk, dia selalu cari cahaya," jawab Audrey dengan polos.
Kalimat itu menampar Emily dalam diam. Kenapa aku menyerah? Kenapa aku takut? Audrey masih bisa tersenyum... padahal tubuhnya sakit.
Setelah Audrey selesai makan dan tertidur kembali, Reno berdiri.
"Aku harus pergi dulu. Ada pasien yang harus aku tangani, Oh ya! malam ini Audrey sudah harus cuci darah yaa" ucap Reno.
Emily mengangguk pelan. "Iya, Makasih... untuk semuanya."
Reno sempat menatap Emily dalam-dalam, lalu berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi.
Emily memandangi adiknya yang kini tertidur sambil memeluk boneka. Ia lalu berdiri, berjalan ke jendela, menatap langit biru yang mulai terang.
"Audrey... kamu benar. Kita harus cari cahaya."
Tangannya mengepal.
Besok... ia akan mencari pekerjaan. Apa pun. Ia harus. Demi Audrey.
