
Ringkasan
Emily tidak pernah bercita-cita menjadi pembunuh. Namun, hidup tidak memberinya banyak pilihan. Sejak kedua orang tuanya meninggal, ia harus merawat adik perempuannya, Audrey, yang masih berusia sepuluh tahun dan menderita gagal ginjal. Biaya cuci darah yang terus-menerus menguras tabungan, sementara pekerjaan layak tak kunjung datang. Saat harapan mulai pudar, muncul seorang pria dari masa lalu ayahnya, Bos Bram . Ia datang menawarkan pekerjaan, bukan sebagai sekretaris, bukan juga sebagai penjaga toko, tapi sebagai pembunuh bayaran. Emily menolak, tentu saja. Sampai nominal yang disebutkan Bos Brian cukup untuk menyelamatkan nyawa Audrey. Dari satu nyawa ke nyawa lain, Emily berubah menjadi bayangan mematikan yang bergerak dalam sunyi. Hingga suatu hari, ia diberi target bernama Reno seorang Dokter yang ternyata pernah menyelamatkan nyawa Audrey. Kini, Emily berdiri di antara dua pilihan: menepati tugas yang menyelamatkan adiknya, atau mendengarkan hatinya yang mulai bergetar pada pria yang seharusnya ia bunuh. Antara cinta, luka, dan darah—Emily terjebak dalam alur hidup yang tak pernah bisa ia kendalikan. Satu kesalahan saja, bisa menjadi fatal.
Bab 1 : Sakitnya Audrey
Hari itu langit cerah.
Ponselnya bergetar di meja. panggilan dari nomor sekolah. Tangan Emily refleks mengangkat. Suara panik terdengar di seberang.
“Halo, Saya Siska. wali kelas Audrey. Tolong segera ke sekolah, adikmu pingsan di kelas.
"Baik, Aku akan segera datang" Ucap Emily
Emily langsung terkejut. saat mendengar tentang adiknya Audrey pingsan. ia langsung bergegas berangkat ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, tubuh mungil Audrey sudah dipindahkan ke ruang UKS. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan napasnya sesak. Emily menahan air mata sambil menggenggam tangan adiknya erat.
~
Mereka pulang. Audrey diminta banyak istirahat. Emily tahu itu tak cukup. bocah sepuluh tahun itu butuh lebih dari sekadar tidur dan air hangat. Tapi uang bahkan tak cukup untuk bayar listrik bulan depan.
Menjelang sore, hujan deras mengguyur kota. Suara guntur bersahut-sahutan.
Audrey menggeliat di kasurnya. Wajahnya memerah, tubuhnya panas seperti bara. Tangannya mencengkeram perutnya, menggigil sambil mengerang.
“Kak… sakit… kakak, tolong…”
Emily panik. Ia peluk tubuh adiknya, lalu berlari ke luar rumah, meski hujan masih deras. Ia basah kuyup, berdiri di pinggir jalan memanggil taksi yang tak kunjung datang.
Mobil-mobil berlalu, tak satu pun berhenti. Hingga sebuah mobil hitam melambat. Jendela di sisi pengemudi terbuka, menampakkan seorang pria muda mengenakan kameja formal berwana hitam.
“Ada apa, ada yang bisa saya bantu?”
Emily menoleh dengan mata sembab. “Adik saya sakit. Saya butuh mobil. untuk bawa dia ke rumah sakit."
Pria itu diam sejenak, lalu segera turun dan membuka pintu belakang mobil.
“Ayo, tunjukkan rumahnya. Kita bawa dia ke rumah sakit.”
Emily nyaris tak percaya, tapi tak punya waktu untuk berpikir. Ia berlari ke dalam rumah, membopong Audrey yang menggigil, lalu naik ke mobil itu bersama harapan terakhirnya.
Hujan masih deras saat Reno menginjak pedal gas, membawa mobilnya menembus jalanan basah menuju rumah sakit swasta di kota. Emily duduk di samping, memegangi tubuh Audrey yang semakin lemah di pangkuannya. Napas adiknya tersengal, wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Dia kenapa sebenarnya?" tanya Reno tanpa menoleh, suaranya tenang tapi terdengar waspada.
Emily menelan ludah, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku... nggak tahu. Tadi dia cuma bilang perutnya sakit. Pas aku jemput di sekolah, dia udah lemas banget."
Reno mengangguk singkat. Ia mengenal wajah kepanikan seperti itu. Bukan pertama kalinya ia melihat seseorang bertarung antara harapan dan ketakutan.
Setibanya di IGD, Reno membantu Emily menggendong Audrey ke dalam. Petugas langsung sigap membawa ranjang dorong, dan dalam hitungan menit, Audrey di bawa masuk ke ruangan.
Emily berdiri mematung. Hujan masih menetes dari ujung rambut dan jaketnya yang basah. Tangannya gemetar, entah karena dingin atau panik yang belum reda.
Reno menepuk pundaknya pelan. "Udah, duduk dulu. adikmu sedang di tangani oleh dokter. Biar aku cari teh panas buat kamu."
Emily menoleh, menatap pria asing yang baru dikenalnya sore ini. Ada sesuatu dalam caranya bicara. tenang, mengayomi, tapi juga menyimpan jarak. "Terima kasih, ya... kalau tadi kamu nggak lewat, aku pasti akan sangat kebingungan.."
Reno tersenyum tipis. "Kamu butuh bantuan. Kebetulan aku lewat. Itu aja."
Mereka duduk bersebelahan di ruang tunggu. Suasana rumah sakit dipenuhi suara monitor, tangis anak kecil, dan langkah petugas medis. Tapi di tengah semua itu, hanya satu yang memenuhi pikiran Emily. kondisi Audrey.
~
Tiga puluh menit kemudian, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter pria dengan jas putih dan wajah serius keluar dari dalam.
Emily dan Reno langsung berdiri dari tempat duduknya, langkah mereka terburu-buru menghampiri sang dokter.
"Dok, bagaimana kondisi adik saya?" tanya Emily dengan suara gemetar.
Dokter itu menatap keduanya sejenak, lalu menarik napas pelan. “Kondisinya cukup kritis. Audrey mengalami gagal ginjal stadium lanjut. Kami sudah melakukan penanganan awal, namun dia harus dirawat inap untuk observasi dan perawatan lebih lanjut.”
Emily terperanjat. Matanya membulat, dan tubuhnya hampir limbung kalau saja Reno tidak sigap menopang bahunya.
“Gagal... ginjal?” bisik Emily nyaris tak terdengar.
Dokter itu mengangguk pelan. “Kami akan segera memindahkan Audrey ke ruang perawatan khusus. Mohon tetap tenang, dan kami akan melakukan yang terbaik.”
Dengan langkah lemas, Emily dan Reno mengikuti perawat yang membawa Audrey di atas ranjang beroda menuju lantai atas. Hujan di luar masih belum reda. Iringan lampu lorong rumah sakit terasa semakin menyayat hati.
Sesampainya di ruang perawatan, Emily duduk di sisi ranjang Audrey. Tangan kanannya menggenggam jemari adiknya yang dingin dan pucat. Air mata jatuh perlahan, membasahi tangannya sendiri.
“kakak minta maaf sayang Audrey… Maaf kalau selama ini kakak terlalu sibuk mencari pekerjaan… Maaf kalau kakak kurang peka...” gumamnya lirih, nyaris seperti isak.
Reno berdiri beberapa langkah di belakang, memperhatikan punggung Emily yang gemetar. Hatinya ikut terasa sesak melihat kepedihan itu.
“Hemm hey, maaf ganggu…” panggilnya pelan.
Emily langsung menoleh. Matanya yang sembab menatap Reno dalam diam.
“Kamu sebaiknya pulang dulu. Bajumu masih basah. Jangan sampai kamu juga jatuh sakit,” ucap Reno, suaranya lembut namun tegas. “Aku bisa jagain adikmu di sini.”
Emily menggeleng pelan. “Tidak, aku disini saja.”
“Aku tidak keberatan, untuk menjaga adikmu” sela Reno. “Aku di sini. Kamu bisa percaya.”
Emily menatap pria itu dalam-dalam. Di balik pakaian yang sudah kering sebagian, ada ketulusan dalam sorot mata Reno yang membuatnya luluh.
“Terima kasih…” bisiknya, kemudian berdiri perlahan dan menyeka air matanya. “Aku akan kembali secepatnya.”
Reno mengangguk pelan, lalu duduk di kursi samping tempat tidur Audrey. Ia menatap wajah gadis itu yang tertidur lemah, napasnya ditopang selang oksigen.
Di dalam ruang rumah sakit yang sepi dan berbau antiseptik, hanya ada diam dan ketegangan yang menggantung. Namun di antara keheningan itu, takdir baru seolah mulai tertulis. antara Audrey, Emily, dan Reno, yang belum menyadari bahwa hidup mereka akan berubah selamanya.
~
Pukul 09.00 malam.
Reno berdiri dari kursinya pelan-pelan, memastikan Audrey tetap tertidur lelap. Ia melangkah keluar ruangan menuju ruang staf rumah sakit, mengganti pakaian basahnya dengan seragam dokter. Meski tubuhnya mulai lelah, tanggung jawabnya sebagai dokter membuatnya tetap sigap. Ia tak tega meninggalkan Audrey sendirian malam ini, apalagi melihat wajah Emily yang begitu cemas.
Beberapa menit kemudian, Reno kembali ke kamar perawatan Audrey. Ruangan itu tenang, hanya terdengar suara pelan dari alat monitor detak jantung. Reno duduk kembali di sisi ranjang Audrey, memperhatikan napas gadis kecil itu yang tampak sedikit lebih stabil.
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka perlahan.
Emily masuk sambil membawa kantong plastik kecil berisi baju ganti dan termos kecil berisi teh hangat. Namun langkahnya langsung terhenti saat matanya menangkap sosok Reno di dalam kamar. kali ini, dengan jas dokter lengkap dan name tag di dada kirinya.
Matanya membesar. “Kamu… dokter?” ucapnya setengah berbisik.
Reno berdiri, sedikit gugup. “Iya… aku belum sempat bilang. Aku dokter di rumah sakit ini, hemm ini sudah jam tugas ku jadi aku memakai seragam, oh ya kita belum sempat saling kenal. Namaku Reno."
Emily mendekat pelan, menatap Reno dengan sorot mata penuh rasa campur aduk. kaget, kagum, dan sedikit tak percaya. “ Hemm yaa aku Emily. Jadi tadi... kamu lewat itu arah pulang?”
Reno tersenyum kecil. “Iya benar, tadi aku arah pulang mau istirahat. Aku memang lewat secara kebetulan, tapi sisanya… mungkin memang sudah jalannya aku harus bantu kalian malam ini.”
Emily duduk di sisi Audrey, meletakkan termos di meja kecil. “Terima kasih ya… aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa.”
Reno hanya mengangguk pelan. “Tenang saja, sekarang Audrey sudah dalam pengawasan yang tepat. Kita akan berjuang sama-sama untuk kesembuhannya.”
