Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 : Langkah Pertama Di Tengah Derita

Siang itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang rawat Audrey. Udara masih mengambang dalam keheningan, hanya suara mesin pemantau detak jantung yang terus berdetak pelan namun pasti. Emily duduk di tepi ranjang, memegang tangan adiknya yang dingin dan lemah. Ia menatap wajah Audrey dengan pandangan kosong, penuh kekhawatiran yang mendalam.

Di dalam pikirannya, badai terus bergulung. Uang. Biaya pengobatan. Waktu. Semuanya terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Emily menarik napas panjang dan menunduk. Ingatannya melayang pada satu benda. sebuah kalung emas sederhana peninggalan ibunya. Kalung itu tersimpan rapi di dalam kotak kayu kecil, tersembunyi di laci meja rias di rumah. Nilainya mungkin tak seberapa bagi orang lain, tapi baginya, kalung itu adalah satu-satunya kenangan berharga dari almarhumah sang ibu. Namun kini, ia mulai berpikir realistis. Apa arti sebuah kenangan jika orang yang ia sayangi tak bisa diselamatkan?

"Aku harus menjualnya," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Pintu kamar Audrey mendadak terbuka. Reno masuk bersama seorang perawat wanita. Emily sontak berdiri dan sedikit menunduk sebagai bentuk hormat. Perawat tersebut langsung memeriksa kondisi Audrey. mengecek suhu tubuh, tekanan darah, serta mencatat kondisi vital lainnya.

Sementara itu, Reno berdiri di dekat kaki ranjang, membaca hasil dari monitor pasien. Setelah perawat selesai, ia berjalan keluar lebih dulu. Reno menyusul di belakangnya, tapi langkahnya terhenti saat sebuah tangan tiba-tiba menarik lengan bajunya.

Reno menoleh. Emily, dengan wajah gugup dan suara nyaris bergetar, menahan lengannya.

“Eh… maaf,” ucap Emily pelan, segera menarik tangannya. “Apa… apakah kamu sibuk hari ini?”

Reno mengangkat alis, lalu menatap gadis itu dengan tenang. “Ada apa?”

Emily menggigit bibir bawahnya, menunduk. “Aku… aku ada urusan sebentar. Bolehkah aku menitipkan Audrey? Hanya sebentar, aku janji akan cepat kembali.”

Reno diam sejenak. “Aku masih ada pasien lain yang harus ditangani, tapi tenang saja. Aku akan menyuruh perawat terpercaya untuk menjaga adikmu.”

Emily tersenyum lega. “Benarkah? Terima kasih… aku sangat berterima kasih.”

Reno hanya mengangguk singkat lalu melangkah pergi. Emily melihat punggung pria itu hingga menghilang di balik pintu, lalu menghela napas panjang.

Tanpa membuang waktu, Emily meninggalkan rumah sakit. Langkahnya cepat namun hatinya berat. Ia tahu apa yang akan ia lakukan tidak mudah. Tapi jika itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan Audrey, ia siap melakukannya.

Langit siang begitu terik saat Emily tiba di rumah kecil peninggalan orangtuanya. Dengan cepat, Emily membuka pintu dan masuk. Udara di dalam rumah terasa pengap, namun ia tak memedulikannya.

Menuju kamar ibunya, Emily membuka laci tua di meja rias. Di sana, tergeletak sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran sederhana. Tangannya gemetar saat membuka tutupnya. Di dalamnya, terletak kalung emas berliontin kecil berbentuk hati. Ia memegangnya dengan perlahan, seolah takut kalung itu akan pecah jika disentuh terlalu keras.

Matanya mulai berkaca-kaca. Kenangan masa kecil bersama ibunya mengalir deras seperti banjir. senyum hangat sang ibu, dekapan lembutnya, dan kalimat terakhir sebelum ibu pergi: “Kalung ini untukmu, Emily. Simpan baik-baik. Ibu percaya kamu akan tumbuh menjadi gadis kuat dan mandiri, tolong jaga baik adikmu, sayangi dia."

Emily menutup kotak itu kembali dan memeluknya erat di dada.

“Maaf, Bu…aku butuh ini sekarang, aku akan menjualnya, untuk Audrey.."

Setengah jam kemudian, Emily tiba di sebuah toko emas sederhana di pinggir jalan. Di balik etalase, seorang pria paruh baya menyambutnya dengan tatapan penasaran.

“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” tanyanya ramah.

Emily mengangguk pelan, lalu membuka kotak kayu dan meletakkan kalung emas di atas meja kaca. “Saya… ingin menjual ini.”

Pria itu mengambil kalung tersebut, memeriksanya dengan kaca pembesar, menimbangnya dengan timbangan digital, lalu mengangguk kecil.

“Ini emas asli. Tapi sudah cukup tua. Saya bisa bayar… dua juta rupiah.”

Emily terdiam. Angka itu terlalu kecil dibanding harapannya. Tapi ia juga sadar, ia tak punya pilihan.

“Baiklah…” jawabnya lirih.

Pria itu masuk ke belakang dan kembali dengan uang tunai. Emily mengambilnya dengan kedua tangan. Tangannya dingin, tapi ia mencoba tersenyum.

“Terima kasih.”

Saat ia berjalan keluar dari toko, matahari terasa menyengat kepala. Tapi rasa dingin tetap membungkus tubuhnya. Bukan karena suhu udara, tapi karena rasa kehilangan yang diam-diam mencubit hatinya. Ia merasa baru saja kehilangan bagian dari masa lalunya, dan entah kenapa, itu terasa seperti mengorbankan sebagian dirinya.

Sesampainya di rumah sakit, Emily berlari kecil menuju kamar Audrey. Perawat yang ditugaskan Reno sedang duduk di sisi ranjang, memegangi tangan Audrey sambil memperhatikan infus.

“Oh, kamu sudah kembali?” tanya perawat itu ramah.

Emily mengangguk. “Terima kasih sudah menemani adik ku.”

Perawat itu pamit dan meninggalkan ruangan. Emily duduk di kursi dan menatap Audrey dengan sorot baru. sorot seseorang yang baru saja melewati ujian batin.

Ia memegangi uang hasil penjualan kalung dan berkata dalam hati, “Ini baru awal, Audrey. Kakak akan cari cara lain. Demi kamu.”

Tak lama, Reno masuk lagi. Kali ini hanya sendiri, mengenakan jas putihnya.

“Bagaimana urusanmu?” tanyanya sambil melihat kondisi Audrey.

Emily menatapnya. “Sudah selesai. Terima kasih sudah bantu titip Audrey.”

Reno mengangguk. “Ada yang mau Aku sampaikan, mungkin ini berat. tapi kamu kakaknya Audrey jadi kamu harus tahu.., Adikmu sesegera mungkin untuk melakukan cuci darah."

Emily tertegun, kaget “Cuci darah ? Benarkah?”

“Iya. Benar,” kata Reno sambil menulis sesuatu di clipboard-nya.

“Baiklah, lakukan yang terbaik untuk adikku, hanya dia satu-satunya yang ku miliki.” Sambil meneteskan air mata

Reno menoleh. “Maaf, orang tua mu?

Emily menatap Reno dengan sorotan mata yang lirih, " Tidak ada, mereka sudah meninggal."

Reno menatap Emily penuh rasa iba ." Kamu Kakak yang hebat, Yakinlah semuanya akan baik-baik saja.'

Emily tersenyum hambar, tapi sorot matanya tegas. Langkah pertama telah ia ambil, walau jalannya masih panjang.

Tunggu sebentar, aku akan kembali." Ucap Reno sambil melangkah pergi.

Reno sempat kembali ke ruangan Audrey membawa sekotak makanan hangat. Ia mengetuk pelan pintu sebelum masuk.

"Aku tadi sempat mampir ke kantin rumah sakit. Ini untukmu," ucap Reno, menyerahkan makanan pada Emily. "Kamu pasti belum makan sejak tadi siang, kan?"

Emily sedikit terkejut. Ia menerima makanan itu dengan ragu, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih… kamu terlalu baik, Dokter Reno."

Reno hanya tersenyum, lalu melirik Audrey yang masih tertidur lemah. "Aku harus lanjut tugas. Kalau ada apa-apa, tekan tombol panggil perawat, ya."

Setelah Reno keluar, Emily membuka kotak makanan itu perlahan. Matanya sedikit berkaca-kaca. Ini bukan soal makanannya, tapi perhatian sederhana itu terasa begitu besar di tengah kondisi mereka sekarang. Ia merasa sedikit lega, meski beban tetap menempel kuat di pundaknya.

Beberapa menit berlalu.

Tiba-tiba, suara lirih memanggil pelan, "Kak..."

Emily langsung menoleh cepat. "Audrey? Kamu sudah sadar?"

Audrey membuka mata pelan, terlihat lemah, namun matanya mulai bisa fokus.

"Jangan banyak gerak dulu, sayang. Kakak di sini, ya..." Emily meraih tangan adiknya dengan lembut, lalu mengecupnya.

"Aku… kita di mana, Kak?"

"Kamu di rumah sakit, sayang.."

Audrey mengernyit pelan. "Kenapa kita nggak di rumah aja? Aku nggak mau repotin Kakak terus..."

Emily tersenyum tipis, meski matanya sedikit berkaca. "Nggak apa-apa, kamu harus istirahat di sini dulu sampai sembuh. Jangan mikirin yang lain, ya? Kakak selalu di samping kamu."

Audrey menatap wajah kakaknya yang lelah, tapi tetap berusaha tersenyum. Ia tahu, kakaknya sedang berjuang sangat keras demi dirinya.

"Lalu bagaimana dengan sekolahku, jika aku terbaring disini?"

"Kaka sudah minta izin ibu guru kamu, ibu siska untuk sementara kamu istirahat sampai sembuh" ucap Emily.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel