Chapter 6 Kesatria Termulia part 6
Ia tidak pernah mengetahui siapa orang tuanya. Memorinya yang paling kabur dan terpendam jauh di lubuk hatinya yang tergelap adalah kenangan tentang adik lelaki satu-satunya bernama Tan Arok[ Arok merupakan kosakata minang kuna yang masih digunakan dalam bahasa Minang hingga saat sekarang. Kata ini secara semantis bermakna harapan, rasa senang, atau bahagia. ]. Adiknya menghilang, mereka terpisah saat ia berusia tujuh tahun. Elang Langit bahkan tak mampu lagi mengingat wajah sang adik. Kenangan itu terasa jauh dalam hatinya, jauh dan tak tergapai lagi. Ia tak mampu mengingatnya secara jelas, tetapi juga tak sanggup untuk melupakannya.
Puti Elang Langit menelusuri hati dan kenangannya. Satu hal yang tak pernah lagi dilakukannya selama lebih dari dua belas tahun. Ia tidak mengetahui kenapa kebersamaan bersama Dapunta membuat ia melakukan itu tanpa sadar. Sesaat kemudian ia merasakan begitu banyak perasaan yang telah hampir terlupakan. Memori yang jauh dan terasa seolah-olah telah terpisah dengan jiwanya yang sekarang. Sejauh ia memandang kedalam hatinya yang ia temukan hanyalah pertumpahan darah, penderitaan, kematian, rasa sakit luka dan perjuangannya di jalan pedang. Sesuatu yang tak ingin ia kenang. Tidak ada manusia yang ingin mengenang kematian. Seumur hidupnya ia hanya tahu menghunus pedang.
“Apakah kehidupan seperti ini bernilai? Bermakna? Kenapa paduka begitu damai bersamaku? Tanganku berlumur darah, aku tak pantas untuk memberikan keteduhan bagimu pangeran Dapunta. Aku juga tak pantas menerima kebahagiaan darimu pangeran” Elang Langit bergelut dengan perasaan-perasaan yang tak ia pahami lagi. Tiba-tiba Dapunta terbangun. Ia duduk dan menatap wanita itu lembut.
“Uni puti kenapa?”
“Tidak apa-apa paduka”
Dapunta melihat ada genangan di sudut mata gadis itu. Ia menyentuhnya. Elang Langit terdiam. Sentuhan itu seperti menembus ke dalam hatinya. Dapunta tersenyum.
“Uni puti, aku berjanji tidak akan membuat air mata uni mengalir lagi”
Puti Elang Langit tak bisa berkata apa-apa mendengar ujaran sang pangeran. Ia tidak ingin meraba-raba maksud dari perkataan itu. Dapunta kemudian berdiri menatap rembulan dari jendela kamar itu.
“Uni puti, mungkin aku berbeda dari ayahanda maharaja. Bagiku perang bukan segalanya. Aku memiliki impian untuk menghapus semua peperangan, pertumpahan darah, dan perpecahan di Nusantara” Dapunta berkata lembut sambil memejamkan matanya.
“Menghapus semua peperangan? Paduka ingin menghentikan semua peperangan?”
“Benar! Aku ingin menghentikan semua pertumpahan darah ini! Kenapa para wangsa di Nusantara tidak bisa bersatu. Kenapa kita wangsa Syailendra harus berperang dengan orang-orang Malayu selatan dan utara? Kenapa setiap saat kita harus bertempur dengan sesama kadatuan Syailendra seperti Madang Landi dan Bayang Pasisia. Terkadang pasukan kita di samudera juga berhadapan dengan Kesatria-Kesatria Bugis dan Malayu di semenanjung Malaya. Bahkan peperangan juga terjadi dengan wangsa Sanjaya di Jawa Dwipa seperti yang dilakukan leluhurku maharaja Minanga Sri Matah Ci Dang Hyang tiga abad yang lalu. Semua pertumpahan darah ini adalah perpecahan yang menimbulkan penderitaan bagi rakyat Nusantara!”
Dapunta berkata dengan wibawa yang tak biasa. Elang Langit terpana. Pertama kalinya ia melihat pewaris tahta Minanga menunjukkan kharisma dan pesona seorang calon pemimpin besar ranah Minanga.
“Paduka!” hanya sepatah kata itu yang keluar dari bibir tipis sang Kesatria.
Dapunta kemudian duduk kembali. Wajah pangeran muda itu begitu berwibawa terpapar cahaya rembulan yang menerobos dari jendela kamar di kadatuan Minanga. Elang Langit terpesona. Sang pangeran kemudian menggenggam tangan Elang Langit.
“Uni puti! Bersediakah uni membantuku mewujudkan impian ini?”
“Paduka, apapun akan kulakukan untuk membantu paduka!”
“Aku akan menyatukan Nusantara dan Champa! Hingga tidak ada lagi peperangan dan pertumpahan darah di dunia! [ Maksud Dapunta dengan dunia adalah asia tenggara.]”
“Paduka!”hanya sepatah kata kemudian gadis itu terdiam. Seorang pangeran berusia dua belas tahun mengucapkan pikiran sebesar itu. Bahkan sebagai seorang panglima perang tak pernah sedikitpun terlintas di hati Elang Langit untuk bertempur di wilayah-wilayah terjauh Nusantara dalam rangka penyatuan para wangsa.
“Aku ingin para wangsa di Nusantara ini bersatu uni! Tidak ada lagi pertumpahan darah, tidak ada lagi ketidak-adilan!”
“Paduka, aku hanya tahu bertempur dan menghunus pedang! Aku tidak bisa memberikan komentar apapun, tetapi aku percaya kepada paduka! Impian besar paduka itu berat dan sulit untuk diwujudkan! Tetapi tak ada yang tak mungkin selama kita percaya!” Elang Langit mengangguk.
“Uni puti percaya kepadaku?”
“Aku percaya paduka mampu mewujudkan semua impian paduka! Bahkan jika aku harus berperang di medan laga terberat, bertempur di wilayah-wilayah asing terjauh di seberang samudera, selama aku berperang untuk paduka! Selama aku menghunus pedang demi paduka! Maka tak ada keraguan di hatiku!”
Dapunta menatap wajah sang panglima. Lekat, hangat, dekat. Pangeran itu merasakan wajah itu telah lama terukir di relung terdalam jiwanya. Sama seperti impian penyatuan Nusantara dan penghapusan segala angkara di dunia. Bagi Dapunta, wajah sang wanita memberikan makna pada impian dan hidupnya.
***
Puti panglima Elang Langit berangkat pagi itu dengan seratus prajuritnya menuju perbatasan utara. Pangeran Dapunta mengantarnya hingga ke gerbang terluar Akhandalapura. Matahari pagi menerpa wajah sang Kesatria. Dapunta menatap wajah itu lama dan mengingatnya dalam segenap jiwa.
“Uni puti, saat ini mungkin aku masih terlalu muda untukmu. Suatu saat nanti aku akan membuktikan diriku layak sebagai pendampingmu! Aku ingin menggapai impianku bersamamu!”
Datu pangeran Dapunta telah lama menyadari satu hal. Ia jatuh cinta kepada sang panglima, tetapi tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Usianya yang masih terlalu muda tidak memungkinkan untuk itu. Namun ia bahagia mengetahui Elang Langit telah bersumpah setia padanya atas nama pedang janawi Nago kembar. Sumpah atas nama senjata andalan bagi seorang Kesatria Syailendra adalah kehormatan seumur hidup.
Elang Langit dan pasukannya menelusuri jalan rimba dan gunung. Perjalanan menuju perbatasan utara dari Akhandalapura memakan waktu enam hari dengan kuda. Rombongan berhenti dan berkemah di nagari[ Negeri. Agam merupakan salah satu daerah bersejarah bagi wangsa Syailendra. Dikenal sebagai salah satu tempat asal Silek Harimau, ilmu beladiri khas kesatria Syailendra Minanga Tamuan. ] Agam. Malam tiba. Rimba Agam hingga ke nagari Para Hyang[ Sekarang disebut dengan nama Pariangan. Salah satu daerah budaya di Sumatera Barat. ] merupakan wilayah keras dan penuh konflik. Nawala Minanga Tamuan belum bisa sepenuhnya mengamankan situasi.
“Panglima memanggilku?” dubalang Akabiluru menemui puti Elang Langit di kemahnya.
“Siagakan para prajurit jaga, wilayah ini masih diteror oleh kelompok penyamun harimau tambun tulang. Mereka sama sekali tidak memandang para Kesatria dan prajurit kadatuan Minanga Tamuan. Selepas tengah malam adalah jam perang bagi pandeka-pandeka Syailendra, kelompok penyamun tambun tulang masih menganut budaya ini. Kita jangan sampai lengah!”
