Chapter 5 Kesatria Termulia part 5
“Mungkin dia tidak ingin pertarunganku dengannya menarik perhatian pasukan Minanga, dia pintar, tidak terpengaruh oleh ego Kesatria, berarti ia memiliki tujuan yang jauh lebih besar” Harimau Kuning mencoba memahami lawannya
“Aku akan meminta para nawala penjaga untuk meningkatkan kewaspadaan!”
Nan Mada pamit. Ia berlalu. Ia paham betul siapa panglima Harimau Kuning yang tak pernah terkalahkan dalam duel. Menilai cara pandeka itu bertarung menunjukkan ada hal di luar dugaan yang akan terjadi.
***
Puti panglima Elang Langit berkemas untuk berangkat kembali ke benteng utara besok pagi. Tiba-tiba pintu kamarnya diketok. Pangeran Dapunta telah berada di depan tempat peraduan sang panglima.
“Paduka!” Elang Langit tak menyangka Dapunta datang malam-malam begini mengunjunginya.
“Uni puti, boleh aku masuk?”
“Silahkan paduka...” Dapunta dan Elang Langit duduk di atas kursi keemasan dalam ruangan itu.
Cahaya dari dari lampu minyak menerangi ruangan yang dihiasi ukiran-ukiran kaluak paku keemasan. Tanpa mengenakan baju zirah dan deta harimau seperti biasanya, Elang Langit menggunakan kain baseba[ Baju wanita dari zaman Minang kuna, tidak seperti kemben di Jawa, baju baseba menutupi seluruh tubuh dalam balutan kain panjang dan saling mengikat. ] putih. Ikatan busananya yang agak ketat menunjukkan lekuk indah tubuhnya. Ramping, tinggi semampai, dan berambut hitam panjang. Dapunta makin menyadari bahwa puti Elang Langit ternyata cantik. Hal ini sering tertutupi oleh fakta bahwa wanita itu adalah seorang Kesatria dan salah satu panglima perang kadatuan.
Dapunta hanya terdiam. Elang Langit heran kenapa pangeran muda yang masih berusia dua belas tahun itu terlihat gundah.
“Ada sesuatu yang paduka pikirkan?”
“Uni puti berangkat besok pagi-pagi ya?”
“Iya, laporan yang diminta oleh maharaja Santanu telah aku[ Pada abad 7 M, para petinggi wangsa Syailendra ranah Minanga telah menggunakan kata ‘aku’ untuk mengacu kepada orang pertama tunggal. Saat ini jejak kata ‘aku’ dalam bahasa Minang kuna hanya bertahan dalam bahasa-bahasa mantera. ] selesaikan paduka, aku harus kembali ke perbatasan”
Dapunta terdiam kembali. Elang Langit melihat ada kesedihan di wajah sang pewaris tahta. Walaupun panglima wanita itu ditempa dari seribu pertempuran dan pertumpahan darah, di hadapan pangeran muda itu hatinya masih memiliki perasaan sebagai seorang perempuan. Ada rasa kasih sayang menyelimuti hatinya saat melihat sang pangeran Syailendra bersedih karena ia akan kembali ke perbatasan.
“Ah seandainya pangeran Dapunta ini adalah adik lelakiku, ingin rasanya aku memelukmu dik” Elang Langit berbisik dalam hatinya. Tentu saja ia tak berani lancang melakukan itu walaupun ia dan Dapunta telah lama dekat.
“Apakah tidak ada satu hal pun yang bisa menahan uni puti lebih lama di sini?”
Dapunta berkata sambil menatap panglima wanita itu dengan wajah sendu. Elang Langit terdiam. Bagaimana ia harus menjawab junjungannya itu.
“Paduka, aku memikul tanggung jawab berat menjaga perbatasan utara. Suku Malayu utara memiliki cara berperang berbeda dengan kadatuan Malayu selatan. Serangan dari kelompok-kelompok kecil pasukan utara bisa terjadi dalam waktu yang panjang dan sulit diprediksi. Itulah mengapa aku harus kembali. Benteng tanpa seorang panglima ibarat harimau yang terluka”
Elang Langit memahami bahwa sang pewaris tahta kadatuan sulit untuk melepasnya, namun ia memiliki tanggung jawab yang tak tergantikan oleh panglima lain.
“Maaf uni, sangat sulit bagiku untuk berpisah dengan uni puti. Apalagi aku hanya bisa bertemu dengan uni sekali dalam setahun, semenjak kecil aku selalu merasakan hal ini setiap akan berpisah dengan uni puti”
Dapunta berkata dengan polos. Elang Langit terdiam. Ia kebingungan mesti berkata apa. Tiba-tiba pangeran muda itu merebahkan kepalanya di pangkuan Elang Langit. Sang panglima kaget, namun ia tak sanggup menolak keinginan putra mahkota kadatuan.
“Maafkan aku jika lancang kepada uni. Izinkan aku meneduhkan diri di pangkuan uni puti walau hanya sesaat.”
Elang Langit tersenyum. Jika dengan ini ia bisa mengobati hati sang pangeran Syailendra kenapa tidak. Gadis itu kemudian membelai kepala Dapunta dengan penuh kasih sayang hingga pangeran itu terlelap. Ia tidak yakin dengan tangannya yang telah banyak menumpahkan darah itu bisa memberikan ketenangan kepada Dapunta.
Puti Elang Langit menatap wajah pangeran Dapunta lembut. Walaupun sang pewaris tahta baru berusia dua belas tahun namun gurat-gurat ketampanan dan kewibawaan telah terlihat di wajahnya yang polos.
“Pangeran memiliki hati yang lembut dan baik, tidak pernah menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain. Ia tidak pernah memerintah, ia menggunakan kata-kata seolah-olah semua orang setara dengannya, ia juga tidak menyukai peperangan dan pertumpahan darah, kenapa paduka pangeran begitu berbeda dari maharaja Santanu? Dengan hati sebaik dan selembut ini apakah mungkin datu pangeran bisa memimpin kadatuan yang terus menerus berperang? Konflik dan pertumpahan darah di bumi wangsa Syailendra ini terjadi terus menerus tetapi paduka lebih memikirkan keadaan rakyat ketimbang tahtanya sendiri” Elang Langit berbicara dalam hatinya. Baginya sikap Dapunta sangat aneh sebagai seorang bangsawan dan calon maharaja Minanga selanjutnya. Ia tidak pernah menganggap dirinya lebih tinggi dari rakyat.
Puti Elang Langit terus membelai rambut sang pangeran. Ia merasakan kedamaian. Entah kenapa hatinya bahagia dengan kondisi seperti itu. Wanita itu tidak mengerti kenapa ia tidak ingin momen itu berakhir.
“Pangeran, apapun yang terjadi aku akan selalu melindungimu, aku tak akan pernah membiarkan dirimu dalam bahaya. Aku akan ada di sisimu, melindungi dirimu, melindungi hatimu” panglima wanita itu makin larut dalam perasaannya.
“Uni puti, bolehkan aku rebahan beberapa lama lagi? Hatiku tenang di pangkuan uni” Dapunta berbisik.
“Tentu saja boleh paduka” Elang Langit berdebar. Kesatria itu tidak pernah mengenal perasaan aneh yang membuat dadanya berdebar-debar seperti ini. Bertahun-tahun berperang dan merenggut nyawa pasukan musuh mengharuskan ia menghilangkan perasaannya sendiri agar tak ada keraguan dalam pertempuran maupun pertarungan. Elang Langit tak pernah ragu dalam membunuh dan membelah tubuh musuhnya. Ia tak merasakan apa-apa. Tidak ada rasa bersalah, kesedihan, ataupun kemarahan dan penyesalan. Mendengar jeritan dan erangan musuh yang tewas akibat tebasan pedangnya merupakan hal wajar bagi sang panglima. Melihat tulang terputus dan kepala musuh terbelah akibat serangannya juga hal yang normal bagi puti Elang Langit. Akan tetapi saat Dapunta merebahkan kepala di pangkuannya dan terlihat damai bersamanya, Elang Langit merasa dirinya berbeda dari yang ia kenal sebelumnya. Wanita itu tidak pernah menyadari ada sisi lain dari dirinya yang tidak ia kenali.
“Kenapa aku begini? Apa yang terjadi padaku? Aku merasa asing dengan diriku sendiri, apakah ini yang namanya kebahagiaan? Aku tidak mengerti” Elang Langit berbisik dalam hatinya.
Kasih sayang merupakan perasaan asing bagi Kesatria wanita itu. Ia tidak memahami hal seperti itu. Ia tumbuh di medan laga di mana pertumpahan darah terjadi terus menerus. Di usia delapan tahun ia membunuh untuk pertama kalinya. Benda pertama yang ia pegang saat masih anak-anak adalah panah, keris, kerambit, tombak dan pedang.
