Chapter 7 Kesatria Termulia part 7
“Daulat panglima!”
Dubalang Akabiluru mohon pamit dan melaksanakan perintah junjungannya. Elang Langit paham betul cara berperang leluhur wangsa Syailendra terutama para pewaris pecahan silek harimau. Mereka menggunakan taktik sergap dan serangan mendadak cepat, senyap dan mematikan, sama seperti harimau memburu mangsanya di kegelapan sebelum fajar menyingsing.
“Melewati tengah malam adalah jam kritis, kita berada di wilayah mereka!” Elang Langit duduk bersila dan waspada. Menghadapi kelompok pandeka penyamun lebih sulit dari pada duel tanding melawan Kesatria.
Benar saja, prajurit jaga berhasil mendeteksi pergerakan di dalam rimba. Mereka memburu pelaku. Namun tak satupun prajurit jaga yang kembali. Para dubalang melaporkan hal ini kepada puti Elang Langit.
“Kalian ceroboh sekali langsung mengejar ke dalam rimba! Itu semua jebakan! Tarik pasukan pengejar segera! Dalam pertempuran seperti ini kita harus bertahan!” Elang Langit menyesali pasukannya tak berhati-hati merespon pancingan para penyamun.
“Daulat!”
Pasukan benteng utara kemudian membentuk formasi perang. Para pemanah berjaga-jaga di tempat yang tinggi. Para dubalang telah siap mengawal kemah. Para prajurit jaga juga mengelilingi perkemahan.
“Para pandeka penyamun ini menggunakan taktik serangan senyap lewat tengah malam. Mereka akan menghabisi pasukanku sedikit-demi sedikit sampai momentum perang frontal! Tidak akan kubiarkan!”
Elang Langit paham pasukannya lebih terbiasa dengan perang benteng ketimbang perang rimba. Sepertinya musuh memanfaatkan situasi itu. Opsi yang bisa digunakan oleh puti Elang Langit adalah menjaga agar pasukanya tidak susut akibat disergap di tengah kegelapan.
“Mereka mengawasi kita dari tengah rimba! Kita tunggu mereka keluar!” Elang Langit memberikan perintah.
“Daulat!
Para pandeka penyamun harimau tambun tulang sepertinya memahami pasukan Minanga tidak terpancing. Ini masalah adu kesabaran, harimau dikenal sabar menunggu mangsanya, akan tetapi kelompok penyamun ini terbatasi oleh opsi serangan senyap dalam kegelapan. Mereka tidak mungkin menunggu sampai matahari terbit.
“Mereka tidak menyerang lagi panglima!”
“Mereka mundur sementara disebabkan pimpinan penjahat itu belum bisa mengukur daya tempur pasukan kita. Jadi untuk sementara mereka memilih mundur. Penyamun tambun tulang tidak kenal menyerah. Mereka akan menyerang lagi malam nanti. Kita harus memecah fokus kekuatan kelompoknya dan memaksa mereka bertempur di luar rimba”
“Jadi apa yang mesti kami lakukan panglima?”
“Kita bagi pemusatan kemah-kemah kita. Itu akan memecah perhatian dan kekuatan para pandeka tambun tulang, ketika mereka terpancing dan terpecah kita serang dengan pasukan utama! Kita tidak mungkin kembali ke benteng utara jika tidak menumpas para penyamun itu!”
“Daulat!”
Siang harinya Elang Langit menyusuri rimba dataran Agam. Ia melihat musuh memanfaatkan pengetahuan wilayah yang telah mereka kuasai. Pasukan Minanga jarang berperang di Agam, hal ini menyebabkan pemahaman wilayah mereka tidak sebaik pandeka-pandeka yang telah lama menjelajah daerah itu.
“Panglima! Menurut laporan masyarakat Minanga di Agam, para penyamun itu telah lama meneror mereka. Para datu yang mengepalai masing-masing nagari tak mampu berkutik” dubalang Akabiluru menemui Elang Langit.
“Berapa luas wilayah pergerakan para pandeka tambun tulang itu?”
“Pusat kekuatan mereka ada di bukit Tambun Tulang[ Bukit atau gunung Tambun Tulang adalah wilayah pegunungan dan rimba di Silaiang, pedang Panjang Sumatera Barat.] di Silaiang[ Sebuah daerah pegunungan berliku di pedang Panjang Sumatera Barat, saat ini merupakan bagian dari wilayah kabupaten Tanah Datar.], mereka biasa menyergap siapa saja yang melalui daerah itu. Tak peduli siapapun”
“Sekarang mereka juga sampai ke dataran Agam yang membutuhkan perjalanan satu hari dengan kuda. Itu berarti mereka memiliki sarang sementara di dekat rimba. Nanti malam kita siapkan jebakan!”
“Daulat!”
“Bahkan para bangsawan Minanga di Agam tak mampu mengamankan daerah ini! Kadatuan Minanga selama ini fokus menghadapi ancaman dari kadatuan Palimpang dan suku Malayu utara, akibatnya pengamanan masyarakat di beberapa wilayah tidak maksimal. Akan kutumpas para penyamun ini!” Elang Langit berbicara sendiri dalam hatinya.
Malam hari pengawalan di perkemahan pasukan benteng utara terlihat lengang. Hanya ada satu-dua prajurit jaga. Di samping itu perkemahan juga terpencar-pencar dalam jarak seratus tombak. Sepuluh sosok bergerak dengan kecepatan tinggi dari rimba. Mereka mengincar perkemahan utama. Alangkah kagetnya mereka saat melihat perkemahan utama kosong. Tidak ada barang-barang berharga maupun orang di dalam kemah itu.
“Sial mereka pergi kemana!” salah seorang pimpinan penyamun mengumpat.
“Serang!” terdengar perintah dari kejauhan.
Ratusan anak panah menghujani para perampok itu. Para penyamun tambun tulang jelas bukan pandeka sembarangan. Mereka berkelit mundur ke hutan. Langkah mereka tertahan, delapan puluh prajurit benteng utara telah mengepung mereka. Pertempuran tak terhindarkan. Dubalang Akabiluru beserta pasukannya menerjang maju menyerang. Dalam kondisi terkepung para pandeka penyamun itu tidak mungkin lagi menggunakan taktik senyap, mereka harus berhadapan frontal. Pasukan benteng utara yang ditempa oleh pertarungan dan pertempuran terus menerus di perbatasan menunjukkan kemampuan tempur yang tinggi.
Dubalang Akabiluru menyerang dengan keris gandanya. Ia berhasil menikam salah seorang penyamun, ia heran kenapa para pandeka itu memiliki ilmu silek rata-rata mampu menandingi para prajurit. Dua prajurit benteng utara terluka oleh serangan para penyamun dan mulai kejang.
“Sial senjata mereka beracun!” dubalang Akabiluru waspada.
Para penyamun membentuk formasi bertahan. Kehilangan salah satu anggota yang terbunuh oleh dubalang benteng utara membuat mereka waspada penuh. Formasi itu menggunakan senjata sumpit beracun dari belakang tameng hidup anggota penyamun. Pasukan Minanga mulai terkena serangan sumpit dan satu persatu mulai keracunan.
“Taktik licik! Tak akan kumaafkan!” tiba-tiba puti Elang Langit muncul dan menerjang formasi itu dengan pedang janawi Nago kembar. Kecepatan serangan sang panglima begitu dahsyat, tebasan lengkung Nago kembar Harimau Lalok, seni mencabut pedang dengan sudut bunuh seratus delapan puluh derajat dari arah kiri menghabisi lima penyamun tameng hidup formasi sekaligus. Bau darah menyengat hidung ketika pedang pusaka penebar angkara wangsa Syailendra merenggut nyawa para pandeka tambun tulang. Formasi itu buyar, pasukan Minanga bisa bebas menyerang kembali. Empat penyamun yang tersisa terpaksa mundur, namun mereka dihadang oleh sisa pasukan benteng utara.
Dubalang Akabiluru menikam dua diantara mereka, tewas seketika. Hanya tersisa dua penyamun. Mereka menyerah. Kedua penyamun itu ditangkap dan diikat. Mereka terpana menyaksikan tingkat ilmu pedang panglima benteng utara yang merontokkan formasi mereka hanya dalam hitungan detik.
“Melukai dan membunuh pasukan benteng utara adalah kesalahan besar! Jika dari awal kalian tidak menyerang kami maka aku tak berpikir untuk menumpas kalian!” puti Elang Langit menatap tajam para penyamun itu. Hawa pembunuh dan karisma Kesatrianya tak terbantahkan. Sekali ia berkomitmen untuk berperang maka tak ada yang bisa menghalanginya. Darah akan tertumpah. Dubalang Akabiluru dan beberapa prajurit membawa kedua penyamun itu ke kemah penyiksaan. Mereka berhasil mengambil penawar racun dan informasi di mana sarang mereka di dataran Agam.
