Pustaka
Bahasa Indonesia

TERJERAT CINTA SANG PANGERAN

59.0K · Tamat
Novra Hadi
59
Bab
30.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Berlatar di abad 7 M sebelum pendirian kerajaan Sriwijaya, Putri Elang Langit tidak menyangka dia akan jatuh cinta kepada pangeran Dapunta Hyang sang pewaris tahta wangsa Syailendra Minanga Tamuan. Cinta antar keduanya terhalang perbedaan usia dan status antara sang pangeran dan sang kesatria wanita. Baru saja keduanya mulai menyadari perasaan masing-masing Wanua Minanga diinvasi oleh pasukan Arya dari Wanua Chola, terjadilah perang dahsyat yang menumpahkan darah secara mengerikan. Bagi Putri Elang Langit, misinya hanya satu, melindungi pujaan hatinya dan memastikan sang pangeran bisa merebut kembali tahtanya.

RomansaDewasaOne-night StandactionpetarungRevengePengkhianatanpembunuhanZaman Kunomiliter

Chapter 1 Kesatria Termulia part 1

Tahun 675 M

Minanga Tamuan, Akhandalapura Swarnabumi

Pasukan Palimpang menginvasi Darmas Raya di perbatasan Sijunjung. Maharaja Diraja Santanu, raja tanah Minanga penguasa wangsa Syailendera membalas invasi itu dengan berkirab mengirim angkatan perang. Ia memimpin sendiri tujuh puluh ribu nawala tangguh yang dikenal mampu menggetarkan setiap kerajaan di Nusantara dan Champa.

Pasukan Minanga Tamuan terdiri dari empat puluh ribu pasukan berkuda yang disebut para dubalang bersenjatakan pedang, tombak, keris, kerambit dan panah. Masing-masing sepuluh ribu pasukan di pimpin oleh seorang datu Panglima. Sisanya sepuluh ribu prajurit regu pemanah dan dua puluh ribu pasukan gabungan dubalang, pemanah, dan pejalan kaki dibawah komando raja.

Tiga orang panglima perang kadatuan Minanga Tamuan masing-masing membawahi sepuluh ribu pasukan divisi pertama. Datu panglima Harimau Sati, Kesatria paling senior diantara mereka dikenal sebagai pandeka dan ahli tahak parang terkemuka di Swarna Bhumi, datu panglima Harimau Kuning, pewaris tombak Wasi Kuning, di usianya yang masih sangat muda telah membuktikan diri layak menyandang gelar panglima dan Kesatria tanpa tanding, datu panglima Nan Mada yang dikenal sebagai pandeka pedang kembar dan ahli tahak parang muda. Sepuluh ribu pasukan khusus Inyiak Balang dipimpin oleh datu panglima Tapa Hitam. Maharaja Santanu sendiri membawahi dua puluh ribu pasukan gabungan.

Peperangan dahsyat terjadi dengan sengit. Pasukan khusus Inyiak Balang yang jarang turun dalam pertempuran kali ini total menyerang. Datu Harimau Sati dan pasukannya menjepit sisi kiri angkatan perang berkuda Palimpang. Datu Nan Mada dan prajuritnya merengsek sisi kanan. Lima puluh ribu pasukan dari tanah selatan Swarnabhumi itu terdesak terjepit oleh dua grup pasukan Minanga. Di hadapan mereka gabungan pasukan pejalan kaki dan pasukan khusus Minanga Tamuan, dibantu pasukan datu Harimau Kuning.

Datu Harimau Kuning menyerbu dengan gagah berani ke tengah-tengah pasukan Palimpang. tombak Wasi Kuning digenggamannya menikam ke segala penjuru. Tak ada baju zirah dan perisai yang mampu menahan amukan pusaka tinggi wangsa Syailendra itu. Senjata keemasan itu dikenal ditempa dari pecahan matahari yang jatuh ke bumi. Bilah dan hulunya adalah satu logam utuh berkilat kekuningan, dalam legenda disebut sebagai senjata Para Hyang dan Sang Hyang Tungga.

Menghadapi organisasi perang yang begitu fleksibel dan dinamis. Pasukan Palimpang mengalami kekalahan. Tidak kurang dua puluh ribu prajurit mereka terbunuh. Panglima Hang Mahawangsa, pemimpin angkatan perang Palimpang merasa tidak punya pilihan kecuali mundur, namun sebagai Kesatria tanah selatan, ia harus mempertahankan kehormatannya.

Sekarang di hadapannya seorang Kesatria Syailendra menunggang kuda perang berwarna hitam legam, dan menghunus tombak berkilat kekuningan menatap tajam kepadanya. Sebagai Kesatria yang juga memilih tombak sebagai senjata andalan, jelas ini adalah tantangan duel satu lawan satu. Pertarungan terhormat antar pandeka.

Panglima Hang Mahawangsa memilih maju duluan, kuda perangnya merengsek ke depan. tombaknya melesat membelah angin. Datu Harimau Kuning merespon serangan itu, Sabarang, kuda perangnya berlari menyambut lawan. Ilmu tombak berbeda dari ilmu pedang, walau sama-sama bagian dari silek, teknik tikam mendominasi serangan tombak. Dua senjata beradu, percikan api dari bilah logam tombak membuat keduanya bergeming. Serangan pertama keduanya menangkis tikaman masing-masing. Namun Datu Harimau Kuning tidak berhenti, tikaman bilah dan tebasan badan tombak menyerang dari berbagai sisi. Sekarang Panglima Hang Mahawangsa merasakan tombaknya bergetar hebat, hal ini disebabkan tombaknya tidak mampu menyerap benturan dari tombak lawan.

“Seluruh bagian tombaknya adalah baja berat? Dan ia menghunusnya tanpa kesulitan?”

Kecemasan mulai melanda panglima selatan itu. Hal ini disebabkan perbedaan senjata mereka. tombak yang ia hunus menggunakan gagang kayu Surian yang telah dikeraskan dengan pemanasan minyak, walaupun cukup keras namun tetap saja bobotnya tidak sebanding dengan baja padat. Perbedaan ini membuat tebasannya tidak sebanding dengan lawan. Ia mulai terdesak.

Datu Harimau Kuning melepaskan tebasan keras kearah kepala, panglima Hang Mahawangsa mencoba menangkis namun gabungan bobot baja utuh dan tenaga lawan membuat ia terpelanting dari kudanya. Lawan dalam kondisi terjepit, adalah wajar jika Harimau Kuning menyerang dari kudanya dan menggunakan tikam terakhir kearah dada lawan untuk mengakhiri duel. Namun anehnya ia tidak melakukan itu. Kesatria muda itu malah turun dari kudanya. Ia tidak ingin mengambil keuntungan.

“Kenapa datu tidak menyerangku saat ada kesempatan?” Panglima Hang Mahawangsa merasa kagum dengan sikap Kesatria muda itu.

“Aku tidak ingin menggunakan kesempatan yang tidak adil, jika aku harus membunuh datu, maka akan kuakhiri dengan terhormat dan adil” datu Harimau Kuning memberikan jawaban tegas seorang Kesatria pilih tanding.

Sekarang Panglima Hang Mahawangsa menyadari siapa lawannya, ia merasa tidak akan memenangkan duel itu. Hanya Kesatria sejati yang yakin dengan kekuatannya yang mau memilih bertarung secara adil.

“Namaku Hang Mahawangsa, panglima kadatuan Palimpang, aku Kesatria tanah selatan. Aku merasa terhormat bertempur melawan datu panglima”

“Namaku Harimau Kuning, panglima kadatuan Minanga Tamuan, aku Kesatria tanah Minanga, aku juga merasa terhormat berperang melawan datu”

Kedua pandeka itu sama-sama menyadari jika seandainya mereka tidak bertemu di medan laga pasti mereka bisa menjadi sahabat. Keduanya mengambil kuda-kuda. Harimau Kuning ingin mengakhiri laga dengan cepat sehingga tidak menimbulkan penderitaan bagi lawannya. Setidaknya itu adalah wujud penghormatannya bagi sang Kesatria selatan. Kuda-kudanya merendah, kaki kiri di depan, tombak dihunus ke hadapan musuh dengan tangan kanan, sisi depan tombak ditopang oleh tangan kiri antara telunjuk dan ibu jari, tubuhnya sedikit membungkuk, siap memberikan lentingan elang. Ini adalah ilmu pamungkas mancak pedang dan tombak dalam Silek Alang Minanga yang disebut Tikam Alang Bara Angkara.

Angin sepoi-sepoi berhembus. Aroma darah menyengat hidung. Panglima Hang Mahawangsa memutuskan menyerang dengan sekuat tenaga. Baginya ini adalah duel terakhir, ia harus menggunakan seluruh kekuatannya. Datu Harimau Kuning merendahkan badannya, seketika ia melenting ke depan memberikan seluruh bobot tubuhnya pada satu tikam terakhir. Perubahan manuver dengan lentingan yang membuat tubuh melayang di udara itu sama sekali tidak terprediksi oleh Panglima Hang Mahawangsa. Ia menyangka mereka akan berduel di tanah. Terlambat, tombaknya luput. Sementara itu tombak Wasi Kuning telah menembus dada sebelah kiri Kesatria selatan itu.

Serangan fatal telah menerobos jantung. Panglima Palimpang itu tersedak, mulutnya memuntahkan darah segar akibat jantungnya yang pecah. Ia sadar akan kalah, namun gerakan lawan benar-benar di luar perhitungannya. Ia paham apa yang dilakukan Harimau Kuning adalah untuk menghabisinya secepat mungkin agar ia tidak menderita. Sekarang ia mengerti kenapa Minanga Tamuan nyaris tak terkalahkan dalam peperangan. Kesatria Palimpang itu menatap sang panglima Minanga. Pandangannya mulai gelap dan ia terduduk dalam posisi bersimpuh. Kemauannya yang kuat membuat ia meninggal dalam kondisi duduk terhormat.