Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 4 Kesatria Termulia part 4

Datu Harimau Sati memperbaiki posisinya. Ia tersenyum. Ia bahagia karena setelah sekian lama akhirnya sang murid berhasil melampauinya.

“Aku telah menemukan penerus! Di usia tua ini aku tidak menyesal. Silek harimau usali dan pedang janawi Nago kembar telah berada di tangan yang tepat, Kesatria termulia wangsa Syailendra” air mata panglima tua itu menetes. Puti Elang Langit berlutut di hadapan sang guru.

“Elang Langit! Bersumpahlah demi pedang janawi Nago kembar untuk melindungi dan menjaga datu pangeran Dapunta seumur hidupmu. Ini adalah permintaan terakhirku, setelah ini aku tidak akan meminta apapun lagi darimu, serta tidak akan ada lagi penyesalan dalam hidupku”

Perih hati Puti Elang Langit mendengar permintaan terakhir gurunya. Ia merasa ini seperti ucapan perpisahan. Namun ia adalah Kesatria dan pandeka, pantang baginya menghindari tanggung jawab. Sesulit apapun akan ia hadapi.

“Aku bersumpah demi kemuliaan pedang janawi Nago kembar akan melindungi datu pangeran Dapunta seumur hidupku!”

Tidak ada keraguan di hati wanita muda itu. Sumpah atas nama pedang telah terucapkan. Pandeka sejati tidak pernah mengkhianati pedangnya sendiri.

***

Panglima Harimau Kuning menyusuri bagian bawah benteng Akhandalapura. Ia mendapat laporan dari salah satu prajurit mata-mata ada orang aneh yang menyusup ke dalam benteng. Ia memutuskan menyelidiki sendiri karena tidak ingin memicu keributan besar di tengah perayaan kemenangan pasukan Minanga. Memasuki bagian gelap terowongan yang menjadi tempat saluran air mendadak panglima muda itu merasakan hawa pembunuh tak lazim.

“Hawa pembunuh? Pastilah seorang pandeka berilmu tinggi. Sebaiknya aku periksa”

Ia bergerak mendekat langkahnya tertahan. Sesosok pandeka bertopeng keemasan berdiri di hadapannya. Karismanya menunjukkan seorang Kesatria pilih tanding.

“Kau mengikutiku? Hehe...”

Kesatria bertopeng emas itu tertawa menyeringai. Suaranya berat, berwibawa dan menyiratkan dendam. Ia menghunus pedangnya dan melesat menyerang Harimau Kuning dengan tebasan lengkung dari samping kiri. Panglima Minanga itu merespon dengan kecepatan tinggi menghunus tombak Wasi Kuning. Kedua senjata itu beradu keras. Badan tombak Wasi Kuning bergetar hebat menyerap benturan dahsyat itu. Harimau Kuning kaget. Lawannya adalah orang kedua setelah puti Elang Langit yang mampu memberikan tebasan pedang berkekuatan tinggi seperti ini. Ia kemudian menghujamkan tombak ke tanah sambil membentuk kuda-kuda rendah silek alang Minanga untuk mempercepat proses netralisir daya bentur senjata. Pandeka bertopeng emas itu tidak melanjutkan serangannya saat ada kesempatannya. Sepertinya pedang di tangannya juga bergetar sama seperti tombak Wasi Kuning.

“pedangnya juga bergetar! Bagus orang ini setara denganku!” Harimau Kuning menerjang pandeka itu dengan tikaman tengah dari samping kanan.

Ilmu tikam Cikok Balago merupakan teknik tikam dengan menggunakan daya dorong tubuh dan kecepatan langkah dalam formasi kuda-kuda serang untuk meningkatkan daya bunuh tombak. Pandeka bertopeng emas merespon dengan melepaskan tebasan keras dari samping kanan atas dengan sudut bunuh empat puluh derajat kearah kiri bawah. Kemudian menyerang dengan tebasan empat penjuru mata angin secara beruntun. Percikan api dari kedua senjata menunjukkan Kesatria bertopeng juga menghunus senjata pusaka tinggi. Harimau Kuning memutar badan tombak dengan cepat untuk melindungi dirinya dari tebasan mematikan itu. Ia berkelit dan memutar badan tombak di sekeliling pinggangnya sambil berputar tiga ratus enam puluh derajat, ia kemudian memanfaatkan daya putaran badannya dan tombak untuk meningkatkan kelajuan serangan sambil melenting ke udara dan memberikan tikaman atas Alang Manyemba.

Serangan itu begitu dahsyat, pandeka bertopeng emas menepis tikaman hebat itu dengan memberikan tebasan keras dari atas ke badan tombak Wasi Kuning. Harimau Kuning bersalto lima kali saat mendarat di tanah, seketika ia membentuk kuda-kuda serang silek Alang dengan ujung tombak diarahkan ke lawannya. Ia siap melenting dan bermaksud mengerahkan tikam Alang Bara Angkara tenaga setengah.

“Haha! Hebat! Aku ingin tahu siapa namamu?” pandeka bertopeng itu menyeringai.

“Harimau Kuning!”

Tiba-tiba Kesatria bertopeng emas itu menyerang dengan tebasan lengkung seratus delapan puluh derajat dari samping kiri. Kecepatan serangan itu tak terbayangkan. Harimau Kuning tak menduga lawannya memiliki kecepatan serangan seperti itu. Ia terlambat merespon sepersekian detik. Ia tak punya pilihan kecuali menangkis dengan badan tombak. Serangan pandeka itu begitu hebat. Benturan kedua senjata membuat Harimau Kuning harus mundur sepuluh langkah dalam kuda-kuda bertahan rendah silek Alang untuk menyerap dan menetralisir daya benturan. Kedua senjata bergetar keras. Mendadak pandeka bertopeng emas itu melesat cepat meninggalkan lokasi pertempuran. Ia tidak melanjutkan serangannya saat ada peluang.

“Hahaha Harimau Kuning kita akan bertemu lagi!” sang Kesatria menghilang di tengah kegelapan saluran air benteng istano wasa.

Harimau Kuning berada dalam kondisi menetralisir daya benturan sehingga tidak memungkinkan untuk mengejar.

“Sial! Tebasan pedangnya sangat hebat! Kecepatan dan kekuatan serangannya seimbang dengan puti Elang Langit! Apa yang ia lakukan di sini? Siapa orang ini?”

Saluran air itu begitu gelap. Sering luput dari pengawalan karena ujungnya adalah sungai buatan yang mengelilingi benteng istano. Harimau Kuning merasa tak ada gunanya mengejar Kesatria bertopeng itu. Ia berjalan ke luar dari terowongan air.

“Aku tak menyangka! Pandeka lain yang seimbang dengan puti Elang Langit adalah hal yang langka”. Sang panglima kemudian memerintahkan prajurit pengawal untuk waspada terhadap kemungkinan adanya penyusup. Setelah menelusuri segenap penjuru benteng tak ada jejak yang mencurigakan.

Harimau Kuning merenungi pertarungannya dengan Kesatria aneh itu. Ia melihat datu Nan Mada telah ada di belakangnya.

“Sepertinya panglima habis bertarung? Aku merasakan sisa-sisa hawa pembunuh yang kentara”

“Benar datu, ada penyusup aneh bertopeng emas di terowongan air”

“Aneh, hanya pengawal dalam benteng yang paham posisi dan rute terowongan air..” datu Nan Mada merasa heran.

“Tidak hanya itu, ilmu sileknya dan ilmu pedangnya sangat tinggi. Aku bahkan tak mampu mengalahkannya”

“Apa! Penyusup itu memiliki ilmu pedang sehebat itu? Jika kata-kata ini keluar dari panglima sehebat tandika[ Panggilan hormat kepada pria. ] sepertinya masalah ini serius.. Tetapi sayangnya kita kehilangan jejak”

“Ilmu silek dan mancak pedangnya berasal dari ilmu kuno leluhur wangsa Syailendra. Itu yang kurasakan, tetapi aku tidak bisa memastikannya, terowongan air sangat gelap. Aku tidak bisa menilai postur kuda-kuda dan gaya tebasnya, akan tetapi serangannya begitu dahsyat dan kecepatannya bahkan setara dengan puti panglima Elang Langit. Dan hal yang mengejutkan lainnya, pandeka itu menghunus pedang pusaka tinggi yang tidak bisa kukenali, yang jelas pedang itu setanding dengan tombak Wasi Kuning dan pedang janawi Nago kembar”

“Ohhh ini aneh! Atas dasar apa ia menyusup? Pandeka bertopeng emas itu tidak mungkin hanya mampir, besar kemungkinan ia menemui seseorang di Akhandalapura ini secara rahasia. Kita belum tahu siapa orang itu, dan kenapa ia tidak memberikan serangan terakhir?” Nan Mada merasa masalah ini mengandung potensi bahaya tetapi ia tidak menemukan fakta yang jelas untuk disimpulkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel