Chapter 3 Kesatria Termulia part 3
“Ayahanda, ananda ucapkan selamat atas kemenangan ini!”
Dapunta mencoba setenang mungkin, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa groginya. Ia tidak dekat dengan ayahandanya. Hal ini membuat komunikasi mereka terasa sulit.
“Pasukan Minanga tidak mengenal kata kalah!”
Maharaja Santanu berkata dingin merespon sambutan Dapunta sambil berlalu di atas kudanya. Tidak hanya sang pangeran, puti Elang Langit juga selalu merasa aneh jika melihat hubungan ayah dan anak ini. Sama sekali tidak menunjukkan seperti keluarga.
“Puti panglima[ Panggilan hormat kepada panglima perempuan. Bandingkan dengan datu panglima. ], bagaimana kondisi istano saat ini?” tegas dan berwibawa sang maharaja meminta laporan dari puti Elang Langit.
“Semuanya aman terkendali paduka” Puti Elang Langit menjawab sambil mengatupkan kedua tangannya.
Di belakang maharaja, rombongan datu panglima Harimau Sati dan datu panglima Harimau Kuning diikuti oleh datu Nan Mada serta datu Tapa Hitam melambaikan tangan ke rakyat Minanga yang menyambut mereka dengan segala pujian dan penghargaan.
“Elang Langit, dia di sini!” datu Harimau Kuning tersenyum kecut, tombak Wasi Kuning di genggamannya berdengung merespon hawa pembunuh pedang janawi Nago kembar.
Di halaman istano Wasa, tiga trah bangsawan Syailendra menyambut maharaja, mereka adalah pangeran Samara Tungga, dari trah Tungga, pangeran Anangga Warmadewa dari trah Mauli Warmadewa, dan pangeran Suri Matah Purnawarman dari trah Warman. Ketiga keluarga bangsawan ini memiliki pengaruh besar di kadatuan dan Akhandalapura. Mereka adalah pilar-pilar ekonomi, politik, dan militer kadatuan, hal ini membuat maharaja menghormati mereka. Pangeran Suri Matah bahkan memiliki relasi politik hingga ke Jawa Dwipa menjadikan ia sebagai duta Syailendra di bumi wangsa Sanjaya. Kiprah trah Warman begitu kentara dengan mendongkrak ekonomi kadatuan Minanga melalui perdagangan di Nusantara hingga ke Champa, Siama[ Siam/Thailand.], Cungguk[ Dinasti Tang Cina abad 7 M.], Nihun[ Jepang era Hayan.], dan Hangguk[ Korea/Goryo.].
“Selamat paduka yang mulia. Kemenangan ini akan mendiamkan Palimpang sementara, pasukan Malayu selatan butuh waktu lama untuk memulihkan diri” Pangeran Samara Tungga memberi hormat.
“Saya menghargai bantuan pasukan dan emas dari keluarga Tungga dalam peperangan ini, demikian juga dengan keluarga Warman dan Mauli Warmadewa, peperangan ini dimenangkan berkat bantuan kalian semua”
Maharaja berkata dengan hangat, sikap yang berbeda dengan sebelumnya saat bertemu dengan pangeran Dapunta.
“Kami mendengar keberanian dan keperkasaan datu panglima Harimau Kuning yang berhasil membunuh panglima Hang Mahawangsa pemimpin angkatan perang selatan dalam duel tombak..” pangeran Anangga Warmadewa menunjukkan kekagumannya.
“Benar! Kadatuan Minanga Tamuan beruntung memiliki Kesatria tangguh seperti datu Harimau Kuning” maharaja tersenyum. Ia merasa ancaman-ancaman yang datang dari luar Minanga makin bisa diatasi.
Datu Harimau Kuning yang berada di belakang maharaja kaget ketika tangan Datu Harimau Sati menepuk bahunya.
“ Para bangsawan telah mulai melihat kiprahmu datu”.
“Ah datu, apa yang saya lakukan ini hanyalah pelaksanaan tugas saya sebagai panglima perang. Saya tidak melihat ini sebagai sesuatu yang terlalu istimewa..” Datu Harimau Kuning mencoba merendah.
“Hahaha jangan terlalu merendah datu! Puti Ambun Suri telah mendidikmu dengan baik..”
Datu harimau Kuning terkesiap mendengar nama puti Ambun Suri[ Putri Embun Sri.], ada kerinduan dan kepedihan di hatinya mengenang wanita itu. Telah lebih sepuluh tahun ia bertugas sebagai panglima. Selama itu pula ia belum sempat mengunjungi kakak perempuannya di pertapaan gunung Singgalang.
“Ah uni[ Kakak. Panggilan hormat kepada kakak perempuan. ] puti, aku adikmu sungguh tidak berbakti, sepuluh tahun seperti melupakanmu. Silek Alang[ Silat Elang.] Minanga telah kuwarisi darimu, mancak pedang dan tombak[ Ilmu pedang dan tombak.] Wasi Kuning telah uni turunkan padaku tapi aku malah seperti tidak mengingatmu lagi..” Datu Harimau Kuning berbisik kepada hatinya yang merasa bersalah.
***
Datu Harimau Sati pamit undur diri dari pertemuan dengan para bangsawan itu. Ia merasa politik bukan bidangnya. Ia berjalan menjauh dari taman menuju pelataran arah barat. Senja itu ia ingin memandangi matahari terbenam di langit akhandalapura. Seseorang telah menunggunya di sana dengan sikap hormat.
“Guru! Anak sasian[ Murid.] mahaturkan sambah[ Hormat.]” puti Elang Langit mengatupkan kedua tangannya sambil membungkuk memberikan hormat kepada Datu Harimau Sati.
“Lama tidak berjumpa, Elang Langit!” Datu Harimau Sati secepat kilat menghunus pedang janawi Sura Wasa sambil menyerang dengan kecepatan tinggi.
Ilmu pedang janawi Nago kembar Harimau Lalok, seni menghunus pedang dari sarungnya dan menghasilkan tebasan menyamping lengkung merupakan teknik defensif ofensif, bertahan dan menyerang sekaligus. Mustahil Puti Elang Langit menghindari serangan mendadak itu. Mundur ke belakang, ke samping kiri atau kanan tubuhnya tetap akan terbelah. Namun ia telah merasakan hawa pembunuh dari gurunya itu sedetik sebelum ia menyerang. Hal ini memungkinkan sang Kesatria wanita menghunus pedang janawi Nago kembar dengan kecepatan yang menakutkan menangkis serangan sang guru dengan teknik yang sama. Desiran aneh dan lengkingan yang membangkitkan bulu roma akan menggetarkan prajurit biasa, tapi tidak datu Harimau Sati.
Sedetik kemudian kedua pedang pusaka wangsa Syailendra itu saling tebas dan tikam dengan kecepatan yang mengagumkan. Gemercik api dan suara logam beradu selaras dengan langkah silek dan manuver mancak pedang yang halus dan anggun. Datu Harimau Sati terus menyerang bagian fatal seperti leher, mata, dada sebelah kiri, sesekali tebatasan pedangnya terlihat kacau atas bawah dan bawah atas tak beraturan. Bagi pandeka biasa mereka tidak akan mampu membaca gerakan pedang seperti ini, namun Puti Elang Langit yang telah melalui tempaan keras dari sang guru mampu merasakan setiap serangan datu Harimau Sati.
Sang Kesatria wanita memutuskan menyerang dengan brutal. Gerakannya halus, tebas dan tikamnya seperti menyerang dari segala penjuru memaksa datu harimau sati untuk bertahan. Panglima tua itu hampir tidak melihat celah untuk menyerang. Ia kesulitan menemukan momentum. Puti Elang Langit menyerang tiada henti. Kecepatannya meningkat pesat, gemerincing pedang beradu pedang memekakkan telinga. Melihat sang guru terdesak ia melompat memberikan seluruh berat badannya pada satu tebasan terakhir melengkung setengah lingkaran dari posisi atas untuk menyerang leher dan bagian tengah tubuh. Ilmu pamungkas Nago kembar Cinto Taputuih Kasiah Tarangguik merupakan gabungan kecepatan tebasan atas lengkung, daya tarik bumi, bobot badan pemilik pedang. Serangan seperti ini cukup untuk membelah tubuh manusia jadi dua.
Datu harimau sati tak punya pilihan kecuali menangkis serangan itu, walaupun ia berdiri dengan posisi kuda-kuda harimau usali yang rendah, namun tetap saja ia terlempar sepuluh langkah ke samping untuk menetralisir daya bentur dan daya kejut. pedang janawi Sura Wasa bergetar dan berdengung hebat menyerap benturan keras dari pedang janawi Nago kembar milik Puti Elang Langit. Tangan panglima tua itu terasa kram dan kesemutan. Jika ia menggunakan pedang biasa pastilah pedang itu telah terbelah berikut kepala dan lehernya.
