Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 2 Kesatria Termulia part 2

Datu Harimau Kuning mencabut tombaknya. Ia tidak mau melakukan itu sebelum Panglima Hang Mahawangsa menghembuskan nafas terakhirnya.

“Prajurit! Kuburkan panglima ini dengan layak, ia adalah Kesatria sejati tanah selatan, ia harus diperlakukan dengan mulia!”

“Siap panglima!” serentak enam orang prajurit kadatuan Minanga mengangkat tubuh panglima Hang Mahawangsa. Kesatria itu dikuburkan dengan layak di dekat medan laga Darmas Raya.

Pasukan Palimpang makin kocar-kacir mereka tidak punya pilihan kecuali mundur sementara ke kadatuan Kuntala, kerajaan yang tengah bergolak di selatan. Darmas Raya akhirnya kembali ke pangkuan Minanga Tamuan.

***

Di dalam tenda berwarna keemasan, terlihat maharaja Santanu, dan keempat datu Panglima tengah mendiskusikan taktik selanjutnya.

“Pasukan Palimpang mundur sementara ke Kuntala Paduka, tapi kita tidak usah khawatir, kedatuan Kuntala bukan sekutu mereka” datu Harimau Sati mengisyaratkan Palimpang dan Kuntala tidak akan menyatukan kekuatan.

“Kuntala sekarang tengah bergolak, puti Dewi Tara Kawulan sang pewaris tahta sedang berperang saling menghabisi dengan pangeran Batara Sulu untuk mengklaim tahta. Hal itu mengakhiri perang Kuntala dan kadatuan Madang Landi di wilayah timur, benar sekali Datu, kondisi ini menguntungkan kita. Untuk sementara Kuntala tidak akan menjadi ancaman” Datu Panglima Nan Mada membenarkan pandangan Datu Harimau Sati.

“Baiklah, jika demikian pandangan kalian. Artinya kita telah memenangkan peperangan ini. Kita bisa kembali ke Akhandalapura” Maharaja Santanu berdiri dan menatap para panglima.

“Titah paduka kami laksanakan!” keempat panglima menjawab bersamaan.

***

Jauh di Akhandalapura, kadatuan Minanga Tamuan, berdiri megah istano wasa yang berdiri kokoh di wilayah barat Swarna Bhumi. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Malayu selatan dan Jawa Dwipa, wangsa Syailendra di tanah leluhurnya membangun istana di wilayah pegunungan dan jauh dari pantai. Pusat kerajaan dibangun di ketinggian menguntungkan dalam peperangan. Musuh akan kesulitan dalam melakukan penyerangan karena dihambat oleh lika-liku pegunungan dan rimba.

Terlihat pengawal berjaga-jaga. Dalam kondisi peperangan dimana sebagian besar pasukan dikirim ke medan laga otomatis pasukan di istana berkurang. Ini kondisi yang berbahaya jika ada pihak musuh memanfaatkan situasi ini. Dalam situasi itu terdengar sayup-sayup suara pedang beradu. Seorang anak kecil berusia dua belas tahun terengah-engah menghadapi serangan seorang wanita. Jelas itu hanya latihan, Kesatria wanita itu terlihat hanya menggunakan sebagian kecil tenaga dan kecepatannya agar tidak melukai anak itu. pedang yang ia gunakanpun terlihat bukan miliknya. Gerakan yang ia tunjukkan juga hanya bentuk-bentuk dasar mancak pedang[ Ilmu pedang.] seperti tebasan atas, bawah, kiri dan kanan. Namun itu saja sudah cukup untuk membuat pedang anak kecil itu terbang ke udara.

“Ahhh kakak putri terlalu serius, mana mungkin aku bisa menghadapi serangan kakak secepat ini!” anak kecil itu terlihat kesal. Terlihat para dayang tergopoh-gopoh datang melap keringat sang anak.

Kesatria wanita menatap anak itu dengan penuh hormat. Ia mencabut pedang dipinggangnya yang ramping. Terdengar desingan aneh melengking disertai hawa pembunuh yang mengerikan, terasa dingin menusuk dada. Menciutkan nyali siapapun yang melihat pedang itu. Permata rubi merah menghiasi bagian tengah antara gagang dan bilahnya. Ukiran naga kembar melingkar di gagang berwarna keemasan. Aksara Minanga kuno terukir menghiasi bilah pedang yang berkilat ditimpa cahaya matahari itu. Para dayang menggigil. Pandeka wanita itu berlutut di hadapan sang anak dan menggenggam pedangnya menghujam tanah.

“Mohon Datu Pangeran Dapunta lebih serius berlatih ilmu silek[ Silat.] dan mancak pedang! Dalam peperangan hanya itu yang akan menyelamatkan paduka!” Wanita itu memohon dengan tegas. Anak kecil itu tersenyum, ia tidak menyangka wanita muda itu begitu serius.

“Kenapa uni puti tidak ikut membantu ayahanda berperang di Darmas Raya? Uni malah sibuk melatihku di kadatuan” anak kecil itu tidak lain adalah datu pangeran Dapunta Hyang, pewaris tahta Minanga Tamuan.

“Maharaja menugaskan hamba untuk menjaga kadatuan selama beliau berperang. Disamping itu hamba tidak bisa membawa pasukan hamba yang bertugas di perbatasan utara. Datu pangeran tidak usah khawatir, maharaja Santanu dan dan tiga panglima Minanga tidak pernah kalah dalam peperangan. Pasukan Palimpang tidak akan menang”

“Hmm uni puti yakin sekali. Aku tahu ayahanda tidak akan kalah tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi”

“Datu pangeran tidak usah cemas, ada datu Harimau Sati panglima parang legendaris, datu Harimau Kuning Kesatria tak terkalahkan di tanah Minanga ini, dan datu Nan Mada, mereka juga membawahi nawala-nawala hebat yang selalu memenangkan peperangan selama ini”

Pangeran Dapunta menatap wajah wanita muda itu. Cantik dan bertubuh tinggi semampai, namun kerasnya medan laga telah membuat sikap gadis itu tidak lagi seperti perempuan pada umumnya. Baju perang keemasannya berukir motif harimau dan elang. Deta harimau[ Ikat kepala menggunakan kain batik kuno Sumatera Barat simbol pewaris silat Harimau. ] di kepalanya dihiasi taburan emas yang menutupi rambut panjang hitam menambah wibawanya sebagai pandeka silek harimau. Wanita itu adalah puti panglima Elang Langit[ Putri panglima Elang Langit.], panglima perang kadatuan Minanga Tamuan dan pemimpin sepuluh ribu pasukan benteng utara.

“Aku hanya ingin memastikan kemenangan ayahanda. Aku lebih tenang jika uni puti ikut berperang”

Pangeran Dapunta berujar seperti berbisik. Di hatinya tidak ada panglima yang lebih ia percayai selain puti Elang Langit. Wanita muda itu dikenalnya sebagai pewaris silek harimau usali dan pedang janawi Nago kembar[ Pedang Naga Kembar.]. Walaupun tidak pernah menonjolkan dirinya dalam perkataan, namun puti Elang Langit bukanlah Kesatria sembarangan. Di usia dua puluh tahun ia telah mencapai posisi panglima kadatuan memimpin sepuluh ribu pasukan berperang melawan suku malayu utara di perbatasan.

Puti Elang Langit berdiri dan menyarungkan pedangnya. Hawa pembunuh menghilang.

“Aku merasa bahagia jika datu pangeran percaya kepadaku”

Sesaat wanita itu merasa damai. Perasaan aneh itu asing baginya. Bertahun-tahun berperang dan telah membunuh manusia tak terhitung jumlahnya membuat ia tidak pernah lagi mengenal perasaan itu. Tiba-tiba terdengar pekikan elang di angkasa. Burung itu terbang babega[ Berputar.] di atas istano wasa lalu menukik menuju puti Elang Langit. Ia mendarat di tangan sang panglima yang di lindungi baju zirah. Di kakinya menggenggam untaian bambu kecil bertuliskan aksara campuran Pallawa dan Minanga kuno.

“Apa isi surat itu uni puti?”

“Datu Pangeran, kabar dari datu Harimau Sati, pasukan kita menang telak dan sekarang tengah menuju Akhandalapura” puti Elang Langit tersenyum.

***

Tujuh hari berlalu, pasukan Kadatuan Minanga Tamuan dibawah komando maharaja Santanu telah sampai di Akhandalapura. Iring-iringan pasukan disambut dengan taburan bunga rampai oleh rakyat. Kemenangan itu dirayakan dengan manggulai darah[ Gulai darah, masakan kuno di Sumatra Barat menggunakan campuran santan dan darah hewan yang dipotong dan dibekukan. ], daging kerbau dan daging sapi secara besar-besaran. Di alun-alun akhandalapura, rombongan maharaja, panglima dan pasukan disambut khusus oleh datu pangeran Dapunta dan puti panglima Elang Langit.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel