Bab 6 Bapak Murka
"Apa Ilyas selingkuh?" lagi-lagi, mereka kompak bertanya.
"Ayah, jahat, Mbah. Ayah sudah menikah diam-diam. Ayah sakitin, Mamah, dan Awa."
Tangisan Zahwa begitu menyayat hati. Aku tak tega mendengarnya. Air mata mengalir bak banjir bandang.
"Tenang, cucu Mbah. Keluarkan kekesalan, kamu, Ndok. Lalu jelaskan pelan-pelan sama Mbah. Biar Mbah Uti dan Mbah Kakung paham," ucap Ibu Nia berpindah posisi di samping Zahwa. Kemudian, mengelus halus pundaknya.
"Mbah, harus kasih Ayah pelajaran. Biar kapok. Ayah lebih milih nenek gayung dibandingkan Awa dan Mamah, hiks, hiks."
Dadaku sesak. Perkataan Zahwa bagai ribuan peluru yang menghujam jantung dan tengkorak kepala. Nyeri tak terkira. Sekuat apapun anakku, dia hanya seorang anak remaja yang belum siap menerima kenyataan pahit ini.
"Coba ceritakan dengan jelas semuanya, Awa."
Bapak Mertua mulai menampakan raut geram. Tangannya mengepal kuat. Dia pasti terbakar emosi. Mengetahui kelakuan buruk putranya.
Zahwa melepaskan diri dari pelukan kakeknya. Dia berusaha mengatur napas. Kemudian, bercerita tentang semua yang dia ketahui.
"Beberapa bulan lalu, saat Ayah mau mengantarkan Awa ke sekolah. Awa melihat struk tagihan gaun pernikahan atas nama Ayah."
"Astahgriulloh , Ilyas," isak tangis Ibu mertua.
"Zahwa langsung memungutnya. Lalu, diam-diam menyelidiki struk itu ke sebuah butik, sesuai alamat dalam struknya. Ternyata benar, itu gaun pernikahan untuk selingkuhan Ayah. Yang bernama Nadia, alias nenek gayung binti nenek lampir."
"Ela kamu tahu tentang semua ini, kenapa baru memberi tahu kami?" tanya Bapak mertua nampak kecewa. Aku hanya menggeleng.
"Awa yang tahu lebih dulu soal ini, Mbah. Awa gak tega kalau harus cerita sama Mamah. Ternyata, diam-diam Mamah juga sudah tahu dari teman karib Ayah. Tapi, Mamah berusaha menyimpannya sendiri, demi kebahagian Awa. Agar Awa gak benci sama Ayah. Padahal, Awa sudah tau semuanya. Bahkan, saat ayah mengucap akad nikahnya yang kedua kali, Awa ikut menyaksikan."
"Zahwa ...."
Hatiku tercabik-cabik mendengar rahasia yang selama ini dipendam putriku. Dia begitu tegar. Sama sekali tak menampakan kebenciannya. Dia juga berusaha menyembunyikan ini semua, demi diriku. Betapa beruntungnya aku, mempunyai anak seperti Zahwa. Dia begitu berempati pada perasaanku.
"Kenapa Awa tidak bilang semua ini dari awal. Supaya kita bisa menggagalkan pernikahannya," sahut ibu mertua.
"Percuma, Mbah Uti, tak ada waktu. Toh, Ayah sudah dibutakan cinta masa lalunya. Si nenek lampir itu, cinta pertama Ayah saat SMA."
"Siapa tadi nama perempuan gila itu?" tanya Pak Handoko dengan raut merah padam.
"Nadia, Pak. Dia adik kelas Mas Ilyas saat SMA, di Jakarta."
"Nadia ... oh, iya, ibu kenal dia Pak. Dulu, setiap Bapak tugas latihan di luar kota, Nadia memang suka menginap di rumah."
"Benar Mbah. Bahkan Nenek Gayung itu, sengaja memanas-manasi Mamah. Dia menceritakan kisah cinta mereka saat SMA, dan kedekatannya dengan Mbah Uti."
"Benar, Bu, Pak, awalnya Ela sudah berusaha memberi kesempatan agar Ayahnya Zahwa berubah. Tetapi, dia malah diam-diam mempertahankan gundiknya."
Brugh!
Bapak mertua memukul keras meja kayu di depannya. Mata memerah. Urat leher nampak menonjol. Amarah seakan memuncak di atas kepalanya. Menciptakan lahar panas, yang siap menerjang suamiku.
"Benar-benar kurang ajar anak itu."
"Sabar, Pak."
"Anak kita sudah gila, Bu. Tak akan Bapak biarkan dia bernapas lega. Bapak harus ke sana secepatnya. Ela, tolong pesankan tiket pesawat hari ini juga."
"Tenang, Pak. Masa Bapak langsung pergi. Tunggulah sampai besok. Kasihan Ela dan cucu kita baru sampai."
"Benar, kata Ibu, Pak. Lebih baik, ambil penerbangan besok pagi."
Bapak mertua hanya diam. Itu pertanda, dia menyetujui usulan istri dan menantunya. Dia kembali memeluk Zahwa. Mengelus pucuk kepala cucunya, yang terbalut hijab. Sesekali mengecup dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu juga yang tabah, Ndok. Pasti berat sekali diposisimu." Ibu mertua merangkulku. Dia mengelus pundak, memberi kekuatan.
"Enggih, Bu." Aku berusaha bersikap elegan dan tegar di depan mereka.
Padahal, rasanya aku ingin mengamuk. Tak sabar menantikan momen, ketika Bapak mertua menghajar suami cap kadal buntung itu. Kalau perlu, sekalian dikirim ke benua Antartika. Di sana ada musim salju abadi. Bisa membuat suamiku membeku dan menjadi arca patung es. Agar dia tahu, bagaimana sakitnya hidup dalam kesepian. Tanpa keluarga yang menyayangi.
"Mbah Kakung, pokoknya harus kasih Ayah Bogeman. Set, set, set, biar Ayah gak mempertahankan lagi, Nenek gayung. Kalau perlu, kirim ayah ke negara konflik. Biar dia tahu rasanya perang melawan penjajah. Supaya bisa tahu makna bersyukur hidup damai sama keluarga," ujar anakku, gondok.
"Siap, komandan."
Bapak mertua menempelkan telapak tangan di dekat alis, sebagai tanda hormat. Itulah kebiasaanya. Maklum, sudah puluhan tahu menjadi TNI AD.
Hampir beberapa jam kami berbincang. Bapak mertua juga mengatakan, akan memberikan seluruh warisannya pada Zahwa. Tak akan rela menghibahkan hartanya, untuk putra mereka yang tidak bertanggung jawab.
Bapak mertua, sangat membenci pengkhianatan dalam bentuk apapun. Baginya, mencinta perempuan, dan negara adalah hal yang sama. Hanya cinta satu tanah air, dan satu hati. Tak akan terbagi, walaupun harus mati. Lebih baik mati terhormat mempertahankan kesetiaan. Dibandingkan harus hidup menjadi pembelot.
"Zahwa, maafkan Mamah."
Ketika di kamar berdua Zahwa, aku rangkul tubuhnya dalam dekapanku. Sedikit menutup luka yang menganga. Dalam hati, aku terus berdoa, agar kami dikuatkan. Ya Robb, tak terbayang sakitnya jadi putriku. Semoga, mental dan hatinya baik-baik saja.
"Ish, ish, Maaf mulu Mamah, ni. Kaya mau lebaran, aja. santuy Mah, kaya di pantai. Oh, iya, nanti kita jalan-jalan, ya, Mah."
"Siap, sayang. Mamah hanya gak tega lihat kamu nangis kaya tadi."
"Hahaha, akting Zahwa baguskan, Mah? Awa sengaja nangis kaya gitu, biar Mbah Kakung makin kesel sama Ayah. Syukurin, tuh Ayah, besok bakal jadi babi guling."
Apa benar Awa hanya berakting? aku yakin, dia menangis dari hati. Rasanya, ada sesuatu yang masih dia tutupi.
"Hust, Awa. Gak baik kaya gitu."
"Hehehehe, maklum, Mah. Awa suka kesel. Sayangnya, tuh nenek gayung gak tau disembunyikan di mana sama Ayah. Kalau Awa tau, bakal awal kerjain. Bawa pasukan dunia perkuburan, kaya Tante Kun, mister pocong sama kakek genderuwo. Biar nyaho."
"Awa, Awa. kebanyakan nonton horor, sih. Sudah lupakan soal Ayah. Kita mulai hidup baru yang lebih bahagia."
"Siap, Macan."
"Hah, Macan?" aku mengangkat kedua alis.
"Mamah cantik."
"Owalah, kira Mamah cacar bintik-bintik. Ada-ada aja, anak milinial."
Seterusnya, kami berbincang sambil tertawa bahagia. Bagaikan tak ada beban. Padahal, ada hati yang patah. Tak akan sembuh, sampai kapanpun. Hanya bisa berusaha diobati, meski luka ini, akan membekas selamanya.
Sesudah solat subuh, Bapak mertua pergi ke bandara bersama Ibu. Awalnya, Bapak melarang ibu ikut. Supaya menemani kami di rumah. Namun, Ibu memaksa mendampingi Bapak. Takut dia kelewatan menyiksa anak semata wayangnya.
Aku menyetujui, menunggu di rumah bersma Zahwa, dan pembantu. Bapak berpesan agar aku tetap di rumah. Dia akan membawa suamiku ke sini. Untuk meminta maaf, dan menyelesaikan masalah kami.
"Mah, nanti kakek 'kan bawa Ayah ke sini. Mamah, mau tetap meminta berpisahkan?" tanya Zahwa saat kami di ruang tamu. Menikmati secangkir es lemon tea di tengah teriknya matahari.
"Mamah bingung, Wa. Kata peri jahat di hati Mamah, pengennya pisah, aja. Tapi sebelumnya, harus jotos ayah dulu sampe puas, hahaha. Namun, disisi lain, peri baik bilangnya Mamah harus bertahan. Gak tega, kalau kamu harus hidup terpisah sama Ayah."
"Gak, Mamah harus pisah!" bentak Zahwa.
Mataku hampir lepas dari tempatnya. Wajah Zahwa berubah menyeramkan. Sorot kebencian, tampak mengakar kuat.
"Istigfar, Wa."
"Astagfirulloh, maaf, Mah. Awa esmosi, hahaha."
"Jangan gitu, Nak. Mamah kaget, kaya denger geledek."
"Bisa aja, Si Mamah. Santuy, Mah. Awa cuman shok. Intinya, Mamah harus cerai sama Ayah. Titik, gak ada koma, gak ada tanda seru, apalagi tanda tanya."
"Kamu ikhlas, Mamah dan Ayah berpisah?" tanyaku serius.
"Ikhlas fidunya wal akhirah, Mah. Awa bakal jingkrak-jikrak, kalau Mamah terbebas dari buaya buntung kaya Ayah. Tambah seneng lagi, kalau Mamah menikah sama Om Duren."
"Hust, kamu masih inget aja soal itu. Mamah gak kepikiran nikah lagi, Nak. Sekarang, Mamah mau fokus untuk kebahagian kamu."
"Hehehe, seratus jempol buat Mamah."
Zahwa mengangkat jempol tangan dan kakinya. Serempak, kami tergelak bersama. Aku cubit lembut pipinya yang tembam. Bersyukur, Allah masih menguatkan pundak anakku. Jika dia rapuh, maka hatiku yang paling menderita.
Drat! drat!
Sebuah panggilan berdering dari ponsel Zahwa. Tertera nama 'Ka Rizal' di sana. Zahwa langsung minta izin mengangkat telpon. Dia keluar ke teras depan, menjauh dariku. Baru kali ini, gelagat Zahwa mencurigakan. Biasanya dia akan mengangkat telepon di sampingku.
"Kakak jangan hubungi aku lagi. Apalagi sampai cerita semuanya."
" .... "
Aku tak bisa mendengar, apa yang Rizal bicarakan. Jarak telpon terlalu jauh. Namun, wajah Zahwa nampak cemas.
"Iya, Zahwa janji bakal berhenti. Tapi Kakak gak boleh ngadu aneh-aneh."
Ketika asik menguping Zahwa dibalik jendela. Ponselku di atas meja ikut berdering. Ternyata panggilan dari Ayah. Penasaran dengan apa yang akan dia bicarakan, aku angkat saja telponnya.
"Iya, ada apa kanda tercintaku di langit dan bumi, tapi boong, hahaha. Cepat, kamu mau ngomong apa? waktuku gak banyak."
"Mah, ada apa ini, Mah. Kenapa Bapak sama Ibu ada di luar rumah."
"Hei Ilyas, anak kurang ajar. Cepat buka pintunya!" teriak Ayah Mertua sampai terdengar di telingaku.
"Mana Mamah tahu. Lagian, Ayah ko, Gak kerja. Jangan-jangan, lagi pacaran Ama cewek lain, ya?"
"E-enggak, Mah. A-ayah lagi gak enak badan."
"Oh, ya sudah."
"Eh, eh, Mah, tunggu. Jelaskan sama Ayah, kenapa Bapak datang ke sini. Mana mukanya serem banget. Kaya mau membantai musuh."
"Oh, Bapak katanya mau ngasah ilmu militernya lagi."
"Ma-maksud Mamah, apa?"
"Bapak mau membom bardir Ayah. Soalnya, Mamah keceplosan udah bongkar perselingkuhan Ayah."
"Apa?"
Suamiku berteriak begitu kencang, sampai menggoyangkan gendang telinga. Aku hanya tersenyum penuh kemenangan. Membayangkan wajah Ayah yang sedang kalang kabut.
"Mas, gimana dong." Terdengar suara seorang perempuan, yang tak asing bagiku.
"Ayah lagi sama siapa? ko, ada suara cewek. Apa iya, kucing tetangga yang baru lahiran kemaren bisa ngomong."
"I-itu, Mah. Ta-tadi suara televisi."
Aku yakin, itu suara Nadia. Ayah pikir aku bodoh? oh tidak, Ayah. Aku tahu, kamu masih mempertahankan perempuan itu.
"Ilyas, cepat buka pintunya, atau aku dobrak sekarang."
Nampaknya, Bapak mertua semakin naik pitam. suaranya menggelegar bak guntur di gurun Sahara.
"Mah, tolong tenangin bapak. Supaya gak sampai menggorokku, Mah."
"Itu sih, urusan Ayah. Mamah gak perduli. Selamat latihan militer, Ayah, Hahaha."
"Ma-"
Tuuut ....
Sambungan telpon aku putus. Lalu, memblokir Ayah. Pusing kepalaku jika terus diteror olehnya. Biarkan saja, aku tak mau mengganggunya. Dia akan bercengkrama dengan Pak Handoko. Yang terkenal kuat dalam bergulat. Nadia, Ayah, selamat bersenang-senang.
