
Ringkasan
"Mamah tidak marah?" "Ayah ini kenapa sih? kesambet jin kantor? ko, nanyanya aneh." "Iya, nih. Ayok, mah buat jus mangga. Ayah mah kurang minum Aqua. Jadi, oleng." Ibu dan anak malah menertawaiku. Lalu, pergi meninggalkanku yang terbengong keheranan. Sebenarnya, aku yang error, atau mereka? aku yakin sekali, Ela membuka statusku. Apa dia tidak sengaja dan tidak memperhatikan stroy itu? atau .... ah, tidak mungkin Ela pura-pura tak tahu.
Bab 1 Lupa Privasi
SUAMIKU LUPA PRIVASI STORY WA
Part 1 (Story Wa)❤️
POV Ilyas
[Yas, gila lu, udah berani bikin sw mesra-mesraan sama si Nadia. Istri lu di privasi gak? awas, kebebolan. Bisa jadi duda Lu.]
Rafli mengirim pesan dengan kata-kata penuh ejekan. Dia pikir, aku bo*oh? oh tentu tidak. Aku sudah sering memamerkan kemesraan dengan Nadia. Bahkan, teman-teman kantor lebih tau hubunganku dengan Nadia. Mereka tak kenal dengan sosok Ela, istriku. Kecuali, Rafli, sahabat dekatku.
Tentu aku lebih bangga mengenalkan Nadia. Dia cinta pertamaku sejak SMA. Kami harus putus, karena ayahku harus pindah ke rumah Mbah Kakung di Surabaya. Namun, cinta kami bersemi kembali. Saat aku balik ke Jakarta, dan menjadi manajer di perusahaan marketplace online. Aplikasi belanja online terbesar dengan warna oren putih.
Kami dipertemukan kembali. Nadia menjadi salah satu admin, di perusahaan yang sama. Rasa cinta itu, tak kuasa aku basmi. Semakin hari, terus bersemi.
"Mas, lagi apa, serius banget?"
Nadia bergelayut manja. Di akhir pekan, aku menghabiskan waktu bersamanya. Kami sedang menikmati liburan di kawasan Lembang, Bandung.
Ela tidak pernah curiga. Dia istri penurut. Sangat patuh dan percaya pada suaminya. Secara akhlak, Nurlaila Pertiwi atau Ela, adalah istri salehah. Dia istri ceria dan tak pernah mengeluh. Rumah Kami selalu penuh canda tawa, karena sikapnya yang jenaka. Istriku itu, sebelas dua belas dengan artis stand up komedi yang bernama Arafah.
Meskipun saat awal pernikahan, kami terpuruk dalam segi ekonomi. Ela tetap sabar. Tak pernah marah. Dia malah selalu menyemangatiku. Sampai bisa dititik puncak karir, seperti saat ini.
"Biasa abis bikin story, Dek."
Nadia hanya tersenyum sambil mengangguk. Dia berjalan menuju meja rias. Sedangkan aku, masih setia di atas kasur.
"Kita sarapan yah, Mas. Abis itu jalan-jalan keliling Lembang."
"Iya sayang, apa sih yang enggak buat kamu."
"Hihihi, Mas emang paling the best. Sama kaya zaman SMA dulu."
Cengiran banggak aku tampilkan. Merasa menjadi pria paling hebat, karena bisa menaklukan perempuan cantik dan idolanya kaum Adam.
Sementara Nadia sibuk berdandan untuk persiapan keluar hotel. Perlahan jariku membuka status yang sudah terkirim. Foto aku dan Nadia semalam, di sebuah kafe mahal di Bandung. Kami saling pandang dan tertawa bahagia. Aku tambah caption 'Selalu bahagia jika bersamamu' sebuah status yang sudah aku post hampir setengah jam lalu.
Ucapan Rafli cukup membuat hati jadi cemas. Iseng, aku mengecek siapa saja yang sudah melihatnya.
Dilihat Oleh
Istriku
baru saja
Duar!
Mataku melotot bagai tersetrum listrik bertegangan 150 KV (kilo volt). Hampir terjengkang membentur lantai yang terbuat dari marmer.
Aku cek setelan privasi status. Ternyata, kontak istriku tidak tercentang untuk diprivasi. Kenapa aku bisa kebobolan? setahuku, kontak Ela tak pernah luput dari pengawasan. Sengaja tidak dicek ulang. Aku yakin, tak pernah lupa privasi kontaknya. Ternyata, aku terlalu lengah. Bahaya. Status ini bisa menimbulkan hujan angin, badai dan guntur dalam rumah tanggaku.
"Mas kenapa? kaya kesambet gitu?" tanya Nadia bingung.
"Ti-tidak, Dek. Kita pulang sekarang."
"Hah, pulang? katanya sore. Masih pagi, Mas. Kita belom puas jalan-jalan."
"Gak Bisa Dek, aku harus pulang. Zahwa sakit."
Aku bergegas berganti pakaian. Tanpa mandi terlebih dahulu. Sengaja berbohong, dengan alasan anakku sakit. Tak mungkin, aku menceritakan yang sebenarnya. Nadia tahunya, aku sudah pisah rumah dengan Ela. Nadia hanya mengetahui bahwa rumah tanggaku tidak sehat, dan segera bercerai. Padahal, nyatanya, itu hanya ucapan palsu. Agar Nadia mau bersamaku.
"Ini kartu kredit aku, Dek. Kamu jalan-jalan sendiri saja, yah. Aku pamit pulang duluan."
"Tapi, Mas!"
Tanpa menghiraukan panggilannya. Aku sambar tas dan kunci mobil di atas meja. Tujuanku saat ini, hanya satu, yakni bertemu Ela. Aku harus menjelaskan semuanya. Meskipun aku mencintai Nadia, tetapi tak rela jika rumah tanggaku hancur.
Kasihan Zahwa. Putri tunggal kami yang sudah beranjak SMA kelas sebelas. Aku takut putriku akan menjadi korban dan frustasi jika rumah tanggaku berantakan. Sehingga, dia terjerumus pergaulan bebas. Aku akan mengutuk diriku sendiri, jika itu terjadi.
"Ela, buka pintunya sayang. Mas bisa jelaskan semuanya," teriaku panik.
Sejak di jalan, nomer Zahwa dan Istriku tak bisa dihubungi. Apa mereka kabur? atau sudah mengadu pada orang tua dan mertuaku. Tidak, aku bisa digantung dipohon toge oleh bapak.
Apalagi, bapakku mantan pensiunan tentara angkatan darat. Dia pria yang setia pada ibu, dan sangat membenci pengkhianatan. Rasa cinta dan kesetiannya pada ibu, sama seperti pada negara. Dia rela bercucuran darah untuk membela kehormatannya.
"Ela, kemana kamu. Maafkan aku, hiks, hiks."
Aku terduduk lemas menyandar tembok. Sambil menutup wajah dengan penuh frustasi. Aku memang tidak mencintai Ela. Pernikahan kami hanya hasil perjodohan. Namun, tak kuasa menceraikannya. Takut membuat kecewa Zahwa dan Bapak. Andai, waktu bisa diulang, aku tak akan menyetujui pernikahan ini.
"Ayah," seru anakku.
Dua perempuan yang aku tunggu tengah berdiri tegak. Mereka menggunakan stelan baju olahraga. Memasang wajah dengan ekspresi yang tak bisa aku pahami.
"Mah, maafin ayah. Tolong dengerin penjelasan ayah, Mah."
Demi umur panjang, agar tidak habis di tangan Bapak. Aku rela bersimpuh di kaki Ela. Merengek bak anak kecil yang minta dibelikan lolipop.
"Ih, lepasin Ayah."
"Maaf Mah," ucapku memasang wajah memprihatinkan.
"Aku tak sudi. Lepaskan, jangan pegang kulitku yang mulus ini!" bentak Ela dengan kilat amarah.
Ela mendorong tubuhku sampai terjungkir. Baru kali ini dia bersikap kasar. Pasti karena story tadi.
"Hahaha, mamah aktingnya bagus. Kaya yang lagi viral di tok tok."
"Hahaha, bagus 'kan nak? mamah gitu."
Aku hanya mengernyitkan dahi mendengar pembicaraan mereka. Apa yang sedang mereka bahas? awalnya Ela begitu marah bak nenek gayung. Sekarang, dia berubah kegirangan seperti Ela yang biasa aku kenal.
"Ayah, maafin, ya. Lagian, ayah nangis-nangis gak jelas. Kaya kesambet mbak Kunti. Yang udah, mamah kerjain aja sekalian."
"Bangun ayah, udahan aktingnya. Kita haus abis olahraga ngepel komplek."
"Hust, bukan ngepel, tapi joging sayang."
"Eh, iya, hahaha."
Ela mengulurkan tangan. Sebagai tanda agar aku bangun. Dengan eskpresi bingung seperti orang kehilangan uang satu milyar, aku mulai bangkit.
"Mamah tidak marah?"
"Ayah ini kenapa sih? kesambet jin kantor? ko, nanyanya aneh."
"Iya, nih. Ayok, mah buat jus mangga. Ayah mah kurang minum Aqua. Jadi, oleng."
Ibu dan anak malah menertawaiku. Lalu, pergi meninggalkanku yang terbengong keheranan. Sebenarnya, aku yang error, atau mereka? aku yakin sekali, Ela membuka statusku. Apa dia tidak sengaja dan tidak memperhatikan stroy itu? atau .... ah, tidak mungkin Ela pura-pura tak tahu.
"Mah, beneran gak marah?" tanyaku memastikan.
Aku takut Ela sedang melakukan prank. Pura-pura tak tahu status itu, padahal sedang mempersiapkan kejutan yang bikin spot jantung. Naudzubillah, jangan sampai kisah hidupku berakhir tragis seperti suami-suami dalam Novel rumah tangga yang pernah aku baca.
"Mamah kapan sih, bisa marah sama pria tampan kaya ayah. Ya, meskipun perutnya sedikit buncit, hahaha."
Ela lagi-lagi tertawa. Dia terus saja mengeluarkan kata-kata manis seperti biasanya. Sementara tangan kanan dengan sigap memotong buah mangga. Lalu, memasukannya ke dalam blender.
"Mamah, udah jadi belum. Zahwa haus ni. Tenggorokan rasanya seperti Padang sahara," celoteh putriku sambil duduk di bangku meja makan.
"Sabar, sayang. Minum dulu air es di kulkas. Biar hatimu gak panas."
"Maksudnya apa, mah?" tanyaku merasa janggal. Kata-kata Ela seakan sebuah sindiran untukku. Apa aku yang terlalu baper?
"Itu Yah, anak kita lagi panas hatinya. Melihat orang yang dia sayang, mesra-mesraan sama cewek lain."
Prank!
Tak sengaja aku menyenggol wadah blender yang sedang diisi buah mangga. Irisan mangga segar, berjatuhan ke lantai.
"Aduh, ayah ... kamu kenapa, sih. Udah sana istirahat. Ayah pasti lelah. Bahaya kalau tetap di sini, nanti dapur mamah acak-acakak kaya kena tsunami," ucap Ela dengan nada meledek.
Dia memang begitu. Apapun kesalahan yang aku lakukan, tak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Dia paling pandai merespon keadaan dengan hati yang riang. Entah terbuat apa hati istriku ini. Mungkin, hatinya sama seperti rainbow cake. Sangat berwarna dan manis.
"Iya Ayah, ni. Gak tau Awa lagi haus. Malah direcokin, Mamahnya."
"Ma-maaf, sayang. Ayah cuman gak paham, maksud ucapan Mamah."
"Tentang apa?"
"Tentang hati Zahwa yang cemburu. Maksudnya? apa anak kita pacaran."
"Owalah. Ayah kaget, yah. Pasti takut anak kita pacaran dan kena pergaulan bebas. Tenang Ayah. Maksud mamah, itu loh, artis idola anak kita yang namanya Lee min ho, mesra-mesraan sama pacarnya. Jadi, anak kita cemburu. Iya, tidak Nak?"
"Betul tuh. Ayah aneh, ih. 'Kan ayah tau, anak ayah ini baik hati dan gak nakal. Mana mungkin pacaran. Apalagi tidur bareng sama yang bukan muhrimnya," jawab Zahwa.
Perkataanya menusuk sampai hati. Zahwa memang sedang tidak menyindirku. Namun, hatiku begitu tersentil. Aku harus apa? kenapa sikap mereka seakan berubah. Apa aku yang terlalu ketakutan. Khawatir perselingkuhaku terbongkar.
"Sudah, sudah. Kalian tunggu di ruang tamu. Mamah mau fokus bikin jus."
"Nah, betul, tuh. Jangan lama-lama, Mah."
"Siap Tuan Putri."
"Ayok, Yah. Jangan ganggu Mamah."
Zahwa menarikku ke ruang depan. Aku hanya bisa termenung di sofa. Sedangkan anakku, sibuk bermain ponsel sambil menchargernya. Ternyata, ponsel mereka lowbet. Pantas saja tak bisa dihubungi. Namun, aneh, kenapa bisa berbarengan.
"Hp, Mamah ko gak di cas, Nak?"
"Mana Awa tahu."
"Gak ada yang aneh 'kan dari Mamah?"
"Gak," jawabnya singkat.
Zahwa berubah dingin. Apa dia yang sudah melihat statusku. Kacau. Kalau hal tersebut benar-benar terjadi. Mau aku simpan dimana muka ini. Aku yang menyuruh anak gadisku tidak pacaran, apalagi berzina. Namun, aku sebagai ayahnya malah melakukan perbuatan laknat tersebut.
"Kamu kenapa, Nak? Ayah udah bikin salah?"
"Iya."
"Ma-maksudnya apa, Nak. A-ayah salah apa?"
"Ih, ayah berisik, sih. Awa lagi stalking Instagram artis idola Awa. Jangan ganggu."
"Oh."
Aku bisa sedikit bernapas lega. Istri dan anakku mungkin tidak tahu status itu. Sepertinya, storiku tak sengaja terbuka. Untung sudah aku hapus. Mereka tak akan bisa melihatnya lagi.
Zahwa masih asik dengan ponselnya. Rasa khawatir sudah sedikit hilang. Aku ambil tas yang masih tergeletak di meja, dan membawanya ke kamar. Segera aku mandi. Untuk menyegarkan jiwa dan raga. Agar tidak stres dan membayangkan hal-hal buruk.
"Ayah, tolong!"
"Yah, buruan ke sini!"
Baru saja mau merebahkan tubuh di atas kasur. Suara cempreng Ela mengagetkanku. Bukan hanya itu, terdengar barang berjatuhan dari ruang tamu. Hatiku gusar. Segera berlalu menemui Ela.
"Yah, Zahwa, Yah!" teriak Ela makin keras.
"Ya Allah, Zahwa."
Mataku melotot sempurna. Ela segera memelukku dengan ekspresi ketakutan. Anak kami, meracau tak karuan. Wajahnya sangat menyeramkan. Hijab yang dia kenakan, mengsol tak jelas. Bantal, sofa sudah berjatuhan ke lantai. Vas bunga yang terbuat dari kaca, pecah dan jatuh berserakan di dekat pintu.
"Hey, suami tukang selingkuh, hahaha." Aku telan Saliva canggung. Ada apa dengan putriku?
"Ayah, anak kita kesurupan. Kayanya kamu bawa jin dari tempat kerja, yah. Anak kita jadi gini, nih."
"Mana mungkin, Mah. Ayah tidak pergi ke alas Roban. Tidak mungkin bawa demit."
"Terus kenapa dengan anak kita, Ayah. Aduh, kalau follower anak kita tau, dia gak bakal diendors lagi."
Tanganku hanya bisa tepuk jidat. Istriku ini memang kocak. Di tengah suasana menegangkan, masih saja melawak. Heran.
"Hey, Sudah tua, masih genit saja. Sini kau, aku siram air keras."
"Argh!"
Byur!
Segelas jus mangga mengguyur badanku. Baru saja badanku wangi sabun mandi. Berubah jadi bau mangga. Dasar demit tidak tahu kondisi dan situasi. Seenaknya saja, mengotori bajuku.
"Ayah, jangan! Sadar yah, Zahwa anak kita."
Hampir saja tanganku melayang di pipi Zahwa. Beruntung, Ela mengingatkanku. Bahwa bukan anakku yang kurang ajar. Akan tetapi, setan atau jin yang sedang menguasai tubuhnya.
"Mah, cepat panggil Pak Ustad. Biar anak kita diruqiyah."
"Oke Pah. Mamah keluar dulu minta bantuan. Ingat, jaga anak kita. Jangan kasar, bagaimanapun Zahwa sedang dikendalikan makhluk astral."
"Iya, Mah, cepat. Keluar lewat pintu belakang."
Ela berlalu menuju pintu dapur. Pintu depan dihalangi jin dalam tubuh anakku. Makhluk itu terus menangis tak karuan. Kemudian, terududuk bak suster ngesot.
"Suamiku jahat, hiks, hiks. Dia menghianatiku. Aku akan mencekiknya agar abadi bersamaku," rintihnya menyayat hati.
"Nak, sadar Sayang. Ini Ayah. Lawan setan itu, Nak."
Perlahan aku dekati anakku. Berjongkok di sampingnya. Dia masih menunduk. Bercucuran air mata. Mengeluarkan tangisan yang menusuk kalbu. Hatiku sedih, dan bingung setengah mati. Bagaimana caranya menyadarkan putirku.
"Tenang, Nak," ucapku berusaha mengelus punggungnya.
"Arrgh!"
"Hahaha, rasakan suami penghianat."
Si*l. Setan itu memukul benda pusakaku dengan tangan kosong. Pukulannya begitu kuat. Aku terjengkang sambil merintih kesakitan.
"Kemari kau!"
Belum cukup menyakiti aset berhargaku. Demit itu mulai mendekat. Matanya melotot. Tangannya mengepal kuat.
"Sadar, Nak. Ini Ayah."
"Selamat menuju neraka, penghianat!" teriaknya sambil mencekik leherku. Kilatan amarah terlihat jelas dari sorot matanya. Nampaknya, Zahwa benar-benar dikuasi setan yang brutal.
"Za-zahwa, le-pas-kan."