Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Pulang Ke Surabaya

POV Ilyas

"Hahaha, Tante cantik kalah. Ayah lebih sayang kami. Sana pulang Tante. Jam tiga pagi gini, masih ada go car, ko," sahut anakku.

Nadia memang ceroboh. Dia menggali kuburannya sendiri. Seenaknya menginap di rumahku, dan malah membongkar skandal kami.

Sia-sia aku menyembunyikan pernikahan ini. Aku sudah menyimpannya serapat mungkin. Tak ada orang terdekat yang tahu. Bahkan, Rafli saja tidak tahu soal pernikahan siriku dengan Nadia. Namun, aku kaget ketika istri dan anakku mengaku mengetahuinya. Mereka tahu dari mana? nanti, aku akan menanyakannya pada Rafli.

"Nadia, cepat pergi!"

"Mas kamu apa-apaan, sih? gak bisa seenaknya ngusir kaya gini. Aku juga istri kamu, Mas."

"Berisik, pergi cepat!"

"Bagaimana Mbak, sakit dibentak? aduh, aduh. Mangkanya kalau punya muka cantik, hatinya jangan burik. Jadi, sakit deh," ucap Ela.

Heran, anak dan istriku sama sekali tak menitikan air mata, ataupun ngamuk-ngamuk seperti di sinetron televisi. Hanya ada raut dongkol. Apa mereka memang menerima pernikahan keduaku? atau diam-diam sudah melapor pada Bapak? oh, tidak.

Aku harus memikirkan langkah antisipasi. Secepatnya kembali memenangkan hati Ela. Serta memperbaiki citraku di depan Zahwa. Aku ingin, rumah tangga ini tetap bertahan.

Di depan Mereka, akan aku buat seolah-seolah sudah tak menginginkan Nadia. Meski kenyataanya, aku tak akan bisa berpisah dengan cinta pertamaku itu.

"Nadia, cepat pergi. Atau mau aku panggilkan satpam komplek untuk mengusirmu?"

"Tega kamu, Mas."

Nadia benar-benar kecewa. Tak sampai hati aku melihatnya. Akan tetapi, hanya ini cara menyelamatkan semuanya.

Aku ambilkan tas Nadia yang masih ada di dalam kamar. Ada banyak tikus bersarang di kasur. Entah dari mana datangnya. Mungkin, karena kamar tamu jarang dipakai.

"Ela, kamu jangan merasa menang. Semuanya belum berakhir," tantang Nadia saat hendak pergi.

Nadia selalu bersikap sembrono. Tanpa berpikir panjang. Akibat kegilaannya ini, aku harus menemui masalah besar. Padahal, aku menyembunyikan semuanya, demi dia, dan anakku.

"Dadah Tante cantik. Ayok, Mah kita masuk."

"Mas, kamu jahat."

"Nadia, aku akan menjelaskannya nanti. Maaf, pulanglah dulu," jawabku ketika sudah berduaan saja. Bergegas menutup pintu.

"Mah, Zahwa, buka pintunya. Ayah mau bicara."

"Bicara aja sama tembok. Kalau perlu, jedotkan kepalanya. Biar gak konslet tuh, otak," sahut Ela mengunci pintu kamar.

"Mamah, Ayah minta maaf. Tolong dengarkan penjelasan Ayah."

"Iya nanti. Tunggu bapak kamu datang. Nampaknya Ayah harus dapet bogeman. Supaya sadar."

"Mah, jangan, Mah. Ayah mohon. Jangan mengadu pada Bapak. Bisa mati Ayah di tangannya."

"Mangkanya Yah, jangan jelalatan kaya ulat jambu," teriak anakku.

Bahaya. Aku pikir mereka tak akan marah. Nyatanya, tadi hanya menyembunyikan kekesalan di depan Nadia. Mati aku, jangan sampai Bapak mendengar kabar buruk ini.

Jika perselingkuhanku terbongkar, Ayah tak akan memberikan harta warisannya untukku. Kontrakan 20 pintu, dan sawah yang luasnya hektaran, terancam tak akan jadi milikku. Padahal, aku anak tunggal.

Aku tak akan membiarkan rumah tangga ini berakhir. Di samping demi warisan, aku juga bertahan demi Zahwa. Sejahat apapun diriku pada Ela, tetapi rasa sayangku sangat besar pada anak kami.

Sebisa mungkin, pernikahan siriku hanya aku dan Nadia yang tahu. Selamanya, dia hanya menjadi istri simpanan.

"Mah, buka pintunya, Ayah mohon. Ayah janji akan menceraikan Nadia. Tapi buka dulu pintunya, Ayah mau bicara penting."

"Halah, gak usah percaya, Mah. Ayah bulsit. Udah kegilaan nenek gayung."

"Gak gitu, Nak. Tolong, bujuk mamah buka pintu. Ini semua demi kamu. Ayah tak akan biarkan keluarga kita hancur."

Ceklek!

Akhirnya, setelah sekian purnama merayu. Ela mau membukakan pintu. Wajahnya masih datar.

"Buru yah, ngomong. Sebelum negara api menyerang , dan membakarmu."

"Mah, ampun. Maafkan ayah."

Aku bersimpuh di kaki Ela. Memohon belas kasihnya. Supaya dia tak nekad.

"Apa feedback yang ayah tawarkan? sorry-sorry, Yah, mamah tak mau diduakan. Beruntung, Mamah orangnya baik hati, ikhlas, dan sabar. Tak akan tega mencincang ayah. Meskipun rasanya inginku potong burungmu."

Baru kali ini, Ela menatapku sangar. Refleks aku pegang barang berhargaku. Ngeri juga, kalau sampai sunat dua kali.

"Ampun, Mah. Ayah hilaf, Mah. Ayah janji akan menceraikan Nadia. Supaya bisa hidup bahagia kembali bersama keluarga kecil kita."

"Buktiin, Yah. Kalau tak berubah juga, biar Awa viralkan di instagram sama tok tok. Dengan judul, ayah mendua, dikirim kakek ke neraka. Hahaha."

"Zahwa ...." Aku menggeleng cepat. Memohon dengan raut iba.

"Oke, Yah. Mamah dan Zahwa masih bisa memaafkan Ayah. Tapi ingat, sekali lagi mendua. Mamah serahkan masalah ini sama Bapak. Biar ayah dicincang-cincang kaya nangka muda."

"I-iya, Mah. Ayah janji akan setia."

"Ya sudah. Kita marahan dulu. Bay!" Ela menutup lagi pintu.

Aku yakin, Ela tak akan meminta ceria. Toh, aku sudah minta maaf. Dia tak bisa mencari uang sendiri. Selalu bergantung padaku. Ayahnya sudah tak ada. Hanya ada ibunya yang sudah tua. Ela tak akan membiarkan rumah tangga ini hancur. Posisiku nampaknya aman.

Sekarang, waktunya berpura-pura bersikap setia. Menjauh dari Nadia. Sampai situasi dan kondisi mulai membaik.

Pagi-pagi, aku segera berangkat ke kantor. Sementara, Zahwa dan Ela masih mengurung diri di kamar. Aku putuskan mampir dulu di rumah Rafli sebelum berangkat kerja.

Bugh!

Dengan beringas, aku pukul Rafli berkali-kali. Untuk meluapkan kekesalan atas penghianatannya.

"Ampun, Yas. Gua gak tega ama istri, Lu."

"Sia*an! bener dugaan gua. Lu udah bongkar semuanya. Lu tahu dari mana gua udah nikah siri sama Nadia?"

"A-apa? lu nikah siri, sejak kapan?"

Bugh!

Darah bercucuran. Tak ada kesempatan Rafli untuk melawan. Dia kalah telak denganku, dari segi otot dan ilmu bela diri.

"Halah, berisik. Mulai sekarang gak usah ikut campur masalah rumah tangga gua."

Sejak saat itu, hubungan persahabatanku dengan Rafli terputus. Aku berambisi akan membalas perlakuannya.

*********

Kekacauan malam itu sudah berlalu selama tiga bulan. Rumah tanggaku mulai membaik. Ela dan Zahwa mulai ceria seperti biasanya.

Nadia, sudah berhenti kerja. Diam-diam aku menghubunginya. Membujuk Nadia sekuat tenaga. Aku sengaja menjamin semua kebutuhannya, dan menyuruh dia di rumah saja. Agar Rafli tak bisa mengadukan lagi perselingkuhanku. Rafli memang sahabat kurang ajar. Dia berani-beraninya membongkar rahasiaku.

"Yah, Mamah sama Zahwa besok izin liburan ke Surabaya," ucap Ela menghampiriku yang sedang bersantai di ruang keluarga.

Aku letakan secangkir kopi. Menatap dengan senyum merekah ke arah istriku. Kemudian, mengelus pucuk kepalanya yang terbalut hijab berwarna lilac.

"Besok? tumben mendadak. Biasanya bilang jauh-jauh hari, Mah."

"Mamah lupa mau bilang Ayah. Sibuk mikirin hidup yang penuh tanda tanya. Toh, gak penting juga."

"Ih, Mamah. Ko, gitu ngomongnya. Mamah selalu penting di hidup Ayah."

"Iya Yah, paham. Udah khatam sama rayuan Ayah yang jadul era 80-an. Intinya, Mamah mau minta tanda tangan."

"Tanda tangan untuk apa Mah?"

"Rapot anak kitalah."

"Oh, iya. Sini mah."

Ada beberapa lembaran kertas. Sekilas aku lihat, memang benar rapot anakku. Namun, ada yang aneh. Kenapa Mamah memberikannya dalam bentuk lembaran kertas. Kemana sampul rapotnya.

"Udah, Yah, buru tanda tangan. Keburu hujan badai. Cuman tanda tangan doang, mikirnya seabad. Pas nikah lagi, gak mikir-mikir. Dasar kadal," maki Ela. Dia memang masih suka mengungkit kejadian beberapa bulan lalu.

"I-iya, Mak." Tanpa membaca dengan jelas, aku tanda tangan semua lembaran kertas. Setelah selesai, Ela buru-buru mengambilnya. Entah kenapa, firasatku merasa tidak enak.

#######

POV Ela

"Gitu, dong, Yah. Makasih, tanda tangannya."

Segera aku rebut surat-surat yang sudah ditanda tangani. Ini bukan hanya lembaran rapot. Namun, ada surat perjanjian jual rumah yang sudah aku selipkan. Aku sengaja menjualnya pada sahabatku. Rumah ini termasuk harta gono gini, karena dibeli setelah kami menikah. Jadi, saat menjualnya, aku harus mencantumkan tanda tanganku dan Ayah.

Uang hasil penjualannya akan aku gunakan untuk membuka usaha. Meskipun, aku masih tak tahu, bisnis apa yang cocok untukku. Setidaknya, dengan uang satu milyar hasil penjualan rumah, bisa digunakan untuk menyambung hidupku dan Zahwa.

"Tumben, bilang makasih segala, Mah. Itukan cuman rapot."

"Hehehe, emang kenapa sih, Yah. Kali-kali Mamah berterimakasih karena Ayah sudah berjuang mencari uang. Sampai anak kita bisa sekolah."

"Oh, gitu. Gimana kalau Ayah ikut nganterin Mamah ke Surabaya. Sekalian mampir ke rumah Bapak. Nanti ayah minta libur ke kantor tiga hari."

"Gak usah Ayah. Besok Ayah kerja dulu. iNanti kapan-kapan baru nyusul."

"Tapi, Mah ...."

"Halah, jangan banyak tapi-tapi Ayah. Mau Mamah laporkan soal perselingkuhan itu?" suamiku langsung menggeleng.

"Ya sudah, biarkan Mamah liburan. Kepala sama hati rasanya masih cenat cenut karena tahu Ayah pernah mendua. Meskipun kejadiannya, tiga bulan lalu. Tapi, Mamah masih eneg. Belum, bisa jambak-jambakan sama nenek gayung. Eh, dia udah kabur ke planet lain. Gak tau di mana rimbanya," cerocosku meluapkan luka yang tak akan pernah sembuh. Sebelum aku mengirim surat cinta untuk Ayah. Kali ini, waktu yang tepat untuk sedikit meluapkan isi hati.

"Sudahlah, Mah, jangan diungkit lagi."

Suamiku malah menyesap kembali kopinya. Dia mengaggap hatiku hanya seonggok daging yang tak terluka, eksi sudah tercabik-cabik. Dasar kadal darat. Dia pikir keceriaanku pertanda memaafkannya? kamu salah, Yah. Semua tawa yang aku tampilkan, hanya siasat untuk melancarkan rencana yang sudah Zahwa susun.

"Iya, terserah, Ayah. Selamat menikmati kesendirian, Yah. Kita lihat, nanti, apa si Nenek gayung masih mencintaimu."

"Ma-maksud, Mamah apa?"

"Ada cicak kawin Yah, noh, liat noh."

Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Sambil menunjuk ke atap. Untung pas momennya, sedang ada dua cicak yang kejar-kejaran.

Hampir saja kubongkar semuanya. Emosi jika diluapkan memang suka kebablasan. Bisa merusak kebahagian yang sedang dirancang.

"Mah, ada yang aneh dari Mamah."

"Hahaha, Ayah nih, kebanyakan kafein jadi ngawur. Bicara ngalor ngidul. Orang Mamah emang gini. Ceria, bahagia sepanjang masa. Sudahlah, Mamah ngantuk. Mau tidur di kamar Zahwa."

"Yah, masa gak tidur bareng Ayah."

"Ayah tidur aja sama Mbak Kunti. Nanti m

Mamah booking lewat aplikasi BO gaib, Hahaha."

Suamiku mendelik sambil mengangkat bahu ngeri. Emang enak aku takut-takutin. Mangkanya, kalau tak setia, tak usah minta jatah.

"Mah, gimana? beres semua?"

"Beres sayang. Tinggal diurus surat-suratnya. Supaya rumah ini balik nama, pemilik yang baru. Besok orangnya bakal melunasi pembayaran."

"Wih, mantul. Lumayan buat buka usaha, Mah. Nanti Awa bantu endors di Instagram."

"Tapi Mamah masih bingung mau usaha apa Nak. Keahlian mamah hanya masak, ngepel, jemur baju. Soalnya, abis lulus kuliah langsung nikah. Meskipun ijazah Mamah D3 Farmasi, tapi kalau gak ada keahlian, susah cari kerjanya. Umur Mamah juga udah 40 tahun."

"Tenang, Mah. Kita bisa buka catring. Atau, jualan masker organik."

"Hah, masker organik?"

"Iya, Mah. Masker kecantikan. Terus bisa dijual di sosmed. Mamah 'kan paham tentang bahan-bahan, atau obat-obatan yang cocok untuk kecantikan."

"Ide bagus, Nak. Mamah gak nyangka, anak Mamah pinternya melebihi Thomas Alva Edison."

"Hahaha, iya dong. Kalau Edison menemukan lampu, kalau Awa menemukan cahaya kebahagian Mamah."

"Awa ...." Mataku mendadak mengembun. Aku rengkuh Zahwa dalam pelukanku.

"Maafin, Mamah, dan Ayah, sayang."

"Ih, Mamah gak boleh minta Maaf, dan gak boleh nangis. Mamah gak salah."

Zahwa berontak dari pelukanku. Dia mengelap pipiku. Bibirnya mengerucut tak suka, kalau aku menangis.

"Nak, kamu hebat. Tolong jangan simpen beban sendiri. Kita sama-sama, hidup bahagia meskipun hanya berdua."

"Pasti, Mah. Awa akan selalu bahagia kalau bareng Mamah cantik, ceria nan jenaka. Udah jangan nangis, nanti pipinya kembung kaya ikan lou han, karena kebanyakan kena rembesan air mata."

"Hahaha, bisa aja, peri cantik."

"Bisa dong. Aku akan selalu jadi mentari dan bulan untuk Mamah."

"Uh, baiknya. Tapi, Mamah masih heran. Kamu tahu dari mana semua ini? sejak kapan, Nak. Kenapa gak kasih tau Mamah?"

"Soal itu ...."

Wajah Zahwa berubah murung setiap aku tanya dengan pertanyaan tersebut. Pikirannya seakan mengingat sebuah kejadian yang begitu melukai hatinya.

"Nanti Awa cerita pas di rumah Mbah Kakung." Selalu itu jawabannya. Aku tak mau menekan. Zahwa pasti sangat terluka.

*****

Matahari mulai menampakan sinarnya. Aku masih melakukan tugas sebagai seorang istri. Pagi-pagi memasak untuk Ayah. Kemudian, menyiapkan baju kerjanya.

Zahwa tidak sekolah, karena sedang libur kenaikan kelas. Diam-diam, aku sudah mengurus surat pindah sekolah.

Ketika suamiku sudah pergi. Aku dan Zahwa segera memasukan semua baju ke dalam koper. Kami sudah memesan penerbangan pesawat menuju bandar udara internasional Juanda. Agar cepat sampai di Surabaya.

Tak lupa, sebelum ke bandara, aku mampir ke rumah sahabatku, yang sudah membeli rumah. Setelah seluruh uang terkirim, aku dan Zahwa melanjutkan perjalanan.

Kami sudah memesan tiket penerbangan di jam 09.30 sampai di Surabaya pukul 11.00 menggunakan pesawat Lion Air. Rafli yang menawarkan sendiri untuk mengantarku ke bandara. Dia sengaja membolos kerja demi kami.

"Hati-hati, El, Zahwa. Kalau butuh bantuanku, tinggal telpon saja."

"Makasih, Duren. Kamu ko, baik banget sih. Aku jadi, teruwu-uwu, hehehe."

"Bener tuh, Nanti om daftar jadi calonnya Mamah aja. Pasti Awa dukung," celutuk Zahwa sambil cengengesan. Aku senggol bahunya, supaya tak bicara aneh-aneh.

"Maaf, Duren. Anakku suka bercanda. Maklum, dia terpesona liat duda keren ala-ala korea kaya kamu."

"Hahah, bisa saja, kalian. Ya, sudah hati-hati di jalan."

"Oke om Duren, babay." Aku dan Zahwa melambaikan tangan, tanda perpisahan.

Kami segera masuk ke pesawat. Duduk dengan tenang. Tak lupa membaca doa. Tujuan pertama kami, yakni rumah Mbah Kakung. Zahwa yang memintanya untuk terlebih dahulu ke sana. Dia sendiri, yang akan membongkar keburukan Ayahnya.

Saat adzan asar berkumandang, kami sudah sampai di kediaman Mbak Kakung Handoko. Rumah mertuaku, harus di tempuh dengan kurun waktu empat jam, dari bandara.

"Diminum dulu. Kalian pasti cape," seru neneknya Zahwa, saat kami sudah sampai, dan terduduk di ruang tamu.

"Oke, Mbah Uti." Kami meneguk es teh untuk sedikit menghilangkan kering di tenggorokan.

"Ela, kenapa ke sini mendadak. Si Ilyas juga tidak mengabari kami. Tumben sekali," ucap Bapak mertua.

"Sebenarnya, sedang terjadi tsunami, angin puting beliung, bahkan kebakaran dalam keluarga Ela, Pak."

"Hah?" Kedua pasangan paruh baya di depanku, merespon dengan serempak.

"Maksudnya, gimana. Coba jelaskan masalahnya, cah Ayu?" tanya ibu mertua.

"Biar Awa yang cerita, Mah." Aku mengangguk.

"Ayah selingkuh, Mbah, hiks, hiks."

Anakku yang berada di samping kakeknya, langsung memeluk erat dan menangis keras. Dia memang paling dekat dengan Mbah Kakung. Dalam dekapannya, anakku mengeluarkan segala luka yang sudah disimpan terlalu lama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel