Bab 7 Babak Belur
POV Ilyas
Ada yang aneh dari Ela dan Zahwa. Tak biasanya mereka pergi mendadak ke Surabaya. Aku berusaha menepis firasat buruk yang hadir. Mencoba tetap berpikir positif, dan lebih baik memanfaatkan keadaan. Waktunya aku bersenang-senang dengan istri muda. Ada untungnya juga, Ela berlibur ke Surabaya. Aku punya kesempatan bermesraan lebih lama, bersama pujaan hati.
"Kapan Mas bakal mengakui aku sebagai istri?" tanya Nadia. Kami sedang tidur bersama di rumahku. Nadia yang ingin tidur di sini. Dia takut sendirian di apartemennya.
"Tunggu Mas, mendapatkan harta Bapak. Baru kita bebas."
"Kapan? menunggu bapakmu mati?"
"Dek, jangan bicara seperti itu."
"Lagian, Mas ngeselin. PHP terus sama aku."
"Bukan PHP, kamu tentu tahu alasannya."
"Ya sudah, beliin aku rumah besar kaya si Ela."
"Sabar, Mas belum bisa ngumpulin uang. Nunggu dapet bonus Lagi. Uang penjualan rumah kamu, kenapa gak di pake dulu, nanti Mas tambahin."
"Gak mau. Ngapain aku punya suami, kalau rumah aja beli pake duit sendiri. Mas tega sama aku. Lebih baik kita cerai, aja."
Nadia merajuk, dan bergegas bangkit dari kasur. Wajahnya murung. Dia mengambil tas dan bersiap pergi.
"Dek, tunggu." Aku cekal tangannya sebelum Nadia nekat pulang tengah malam.
"Lepasin."
"Mas janji bakal beliin kamu rumah. Nanti Mas bakal minta jual sebagian sawah Bapak, buat beli rumah."
"Beneran Mas?"
"Iya sayangku." Nadia memelukku Erat.
Kami menikmati kebersamaan yang syahdu. Nadia bergelayut manja di tanganku. Perlahan, aku belai rambut panjangnya. Kami saling berpelukan, dan terlena dalam kenikmatan duniawi.
*****
Cahaya matahari menembus jendela kamar. Mataku berkedut, dan perlahan terbuka. Meraba laci yang ada di samping, mencari ponsel.
"Hah, udah jam sepuluh. Ya ampun, udah telat kerja."
Mata membelalak kaget. Terlalu lelah memadu kasih, sampai membuatku lupa untuk bekerja. Sedangkan Nadia, masih tertidur pulas di sampingku.
"Ih, berisik banget, Mas. Sudahlah, gak usah kerja. Kita jalan-jalan aja, mumpung istri dan anakmu sedang liburan juga."
Benar kata Nadia, lebih baik aku izin tak masuk satu hari. Jarang-jarang aku bisa berduaan sepanjang hari bersama Nadia. Semenjak kejadian heboh itu, waktu berduaan dengan Nadia mulai tersita. Aku putuskan kembali menarik selimut, dan memejamkan mata.
Tok! tok! tok!
Hampir beberapa jam aku tertidur lagi, ketukan pintu terdengar nyaring. Entah siapa tamu di depan. Suara teriakan begitu menganggu. Orang itu, seakan sedang demo di depan kantor MPR. Tak henti memanggil namaku, dan menggedor pintu.
Dengan langkah berat, aku bangun dan menengok siapa gerangan di halaman depan. Nadia, yang sudah puas tidur, memutuskan mengekor di belakangku.
"Buka pintunya. Dasar anak sialan. Buka!"
"Bapak!"
Jantungku berdegup bagai irama musik diskotik. Tubuh gemetar. Beruntung aku mengintip terlebih dahulu dari jendela. Jika tidak, sangat berbahaya.
"Dek, mending kamu sembunyi, Dek. Itu bapak aku. Mati aku, Dek."
"Hah? kenapa Bapak kamu ke sini? pasti Si Ela yang kaya ular cobra itu, diam-diam melaporkan kamu, Mas."
"Aku gak tau, Dek. Duh, gimana ini. Mati aku, Dek. Bapakku galaknya luar binasa. Lebih ganas dari anjing rabies."
"Ya mana aku tahu harus gimana. Mana rumah ini di Pagari tembok tinggi. Aku gak bisa kabur, Mas. Gimana dong. Serem banget bapak kamu."
"Ambilkan hp aku, Dek. Cuman Ela yang bisa meredakan amarah Bapak."
Setengah berlari, Nadia menuruti ucapanku. Dia ikut panik melihat bapak yang terus berteriak penuh amarah. Getaran pintu yang diketuknya terasa bagai guncangan gempa berkekuatan 9,5 sampai 10,5 SR (skala richter). Lebih besar dari kedahsyatan gempa di Aceh tahun 2004.
"Nih, Mas. Buru telpon Emak gambreng. Kurang ajar, dia pasti menjebak kita."
Jariku dengan cepat mencari nomer Ela dan memanggilnya. Saat ditelepon, Ela berbicara seolah tak ada masalah besar. Dia seenaknya menceritakan skandalku dengan Nadia. Inginku berkata kasar, tetapi Ela malah mematikan sambungan panggilan secara sepihak.
"Sial*n, Ela memang licik. Dia sudah membongkar semuanya."
"Apa? benarkan perkiraanku. Si Ela sok ceria padahal pendendam. Dia licin kaya ular kadut. Giaman dong, Mas. Aku gak mau keseret-seret sama Bapakmu."
Bugh!
"Ilyas!"
Bapak memukul kaca dengan kayu. Dia sudah tahu, aku bersembunyi di balik gorden. Wahai semesta, kenapa jadi begini. Hancur hidupku. Tamat sudah.
"Buka Ilyas. Sebelum aku bakar rumah ini!"
"I-iya, Pak. Tu-tunggu."
Dengan tangan gemetar, aku mencoba memutar kunci. Ingin pura-pura pingsan, tapi aku takut bapak tahu. Dia bukan orang bodoh. Sudah biasa menghadapi musuh di lapangan. Tak akan terkecoh dengan tipuan ala-ala film Korea.
"Ba-"
Bugh!
"Ampun, Pak. To-"
Bugh!
Pukulan bertubi-tubi mengenai area wajah, dan perutku. Bapak begitu brutal. Diusianya yang sudah tua, tenaganya masih sekuat anak muda. Dia memang sudah terbiasa berolahraga, dan berlatih militer. Bukan lawan yang sebanding untukku.
"Sudah, Pak, sudah!" teriak Ibu, tak tega melihat anaknya terkapar.
"Mas, Ilyas, hiks, hiks."
Nadia menghampiriku. Dia mengelap darah yang mengucur dari hidungku dengan tangannya.
"Minggir!"
Bapak menarik kaosku, merapatkan tubuh ini pada tembok. Dia terus-terusan memukul. Aku hanya pasrah. Tak ada tenaga. Hampir seluruh area wajahku lebam. Ajal seakan sudah di tenggorokan. Detak jantung mulai melambat. Aku berusaha menahan pukulan dan rasa sakit yang luar biasa.
"Bapak!"
Ibu menarik Bapak. Seketika, tubuhku luruh ke lantai. Wanita paruh baya itu, mencoba meluluhkan emosi bapak yang meletup-letup. Bagai semburan lahar panas.
"Jangan halangi aku, Bu. Anak ini harus diberi pelajaran. Aku tak pernah mengajarkannya jadi pengecut."
"Istighfar, Pak. Jangan sampai, Bapak masuk penjara karena membunuh anak sendiri."
"Arrgh!"
Bapak histeris. Dia menangis sambil terduduk di lantai. Baru kali ini, aku melihat kekecewaan yang begitu mendalam. Matanya, tak lagi memancarkan kemurkaan. Hanya sorot layu.
"Bapak tidak pernah mengajarimu menyakiti perempuan, Ilyas. Apalagi anakmu sendiri. Cucuku begitu terluka dan menderita karena perbuatanmu," lirih Bapak dengan napas tak beraturan.
"Ma-maafkan, Ilyas, Pak." Bapak hanya termenung dengan tatapan hampa.
"Nadia, ambilkan obat merah, cepat!" sentak Ibu.
Nadia berlari ke dapur. Di sana, ada kotak P3K. Selang beberapa menit kemudian, dia mengobati lukaku. Mulai membersihkan bagian yang berdarah dengan alkohol. Beruntung, hidungku tidak patah. Hanya mimisan saja.
"Bangun Ilyas. Bapak tunggu kamu di ruang keluarga."
Bapak beranjak ke ruang keluarga. Ibu mengekor bersamanya. Ibu menunjukan wajah iba, tetapi ekspresi kesal terlihat jelas. Dia sama sekali tak mau menyentuhku. Biasanya, kalau aku terluka, meski sedikit, Ibu yang akan sigap mengobati.
"Mas, aku bantu berdiri."
Lukaku sudah diobati. Bagian yang bercucuran darah, diperban oleh Nadia. Kemudian, kami beranjak menemui Bapak.
"Sejak kapan kamu berhubungan dengan perempuan perusak ini?"
"Su-sudah, 10 bulan, Pak."
"Dasar edan. Kamu lupa sudah punya anak dan istri?"
"Ma-maaf, Pak. Nadia ini, cinta pertama Ilyas. Sejak kami SMA. Sebelum ada Ela, Nadia sudah terlebih dahulu hadir di hati. Ilyas tidak bisa melepaskannya. Kami tidak berzina, Pak. Kami sudah menikah. Jadi, sah secara agama."
Brugh!
Bapak menggebrak meja. Kemarahannya memuncak kembali. Padahal, aku hanya mengatakan apa yang dirasakan. Semua sudah terjadi. Harusnya bapak dapat memaklumi.
"Tidak usah bawa-bawa agama. Penjahat tak akan mengakui dirinya jahat."
"Nang, setan apa yang meracuni kamu, Yas. Kamu sudah berumur, kenapa masih mementingkan ego. Jangan bicara soal cinta. Apa yang kamu lakukan bukan cinta, tapi nafsu. Apa kamu tidak kasihan pada Ela dan Zahwa? setidaknya, ingat anakmu, Yas," ceramah Ibu. Dia terus mengelus dada, menahan kesedihan.
"Ma-maaf, Bu."
"Bapak menyesal punya anak sepertimu, Ilyas. Mulai hari ini, tak sudi lagi menganggapmu anak."
"Pak, tolong maafkan Ilyas." Aku bertekuk lutut pada Bapak. Kacau, kalau sudah begini.
"Talak Nadia sekarang juga!"
"Gak bisa. Ibu gak boleh seenaknya."
"Tutup mulutmu. Beraninya kamu membantah."
"Saya tidak akan tutup mulut. Ibu keterlaluan. Mas Ilyas sudah dewasa. Biar dia mengatur sendiri hidupnya. Kami tak akan bercerai."
"Beraninya, kamu!"
"Jangan, Bu," cegah Bapak. Hampir saja, ibu menampar Nadia.
"Jangan kotori tanganmu. Cukup tanganku saja yang sudah kotor."
"Kalian tidak adil. Aku juga menantu kalian. Asal bapak dan ibu tahu, aku sedang mengandung cucu kalian. Tidak sepantasnya, menyakiti dan menghinaku seperti ini."
Apa, Nadia hamil? sejak kapan? setahuku, rahimnya bermasalah. Tak mungkin tumbuh benih di sana.
"Cucu saya hanya satu, Zahwa Andini Putri."
"Nadia, sepertinya urat malumu sudah putus. Ilyas, bisa-bisanya kamu tergoda dengan perempuan tak beretika seperti dia," sahut Ibu.
"Jaga mulutnya, Bu. Kalian bisa saya tuntut, karena tak mau mengakui dan menghina cucu, dan menantu sendiri."
Nadia malah memperkeruh suasana. Bukannya berlaga baik. Dia malah terang-terangan mengajak perang kedua orang tuaku.
"Tutup mulutmu!"
"Kalian yang harusnya tutup mulut."
"Diam!" Bentak Bapak.
Bapak menggandeng ibu untuk berdiri. Menatap tajam ke arah Nadia, lalu bergilir padaku.
"Ilyas, Bapak tunggu di Surabaya malam ini juga. Datang sendirian. Selesaikan permasalahanmu. Talak perempuan ini secepatnya. Jika kamu masih mau aku anggap anak. Ingat, jangan berani-berani bawa perempuan ini ke rumahku."
"Betul kata Bapak. Jika sampai dia ikut, tak akan ibu biarkan kamu masuk."
Mereka melangkah keluar. Pergi meninggalkanku dengan rasa penuh kebingungan. Kalau sudah begini, apa yang harus aku lakukan?
"Mas, kenapa diam aja. Belain aku dong. Seenaknya orang tua kamu menghina kita."
"Aku gak bakal bisa melwan, Dek."
"Emang kenapa, sih? masih soal warisan? sudah biarkan warisan itu untuk anakmu dan Ela. Toh, masih ada rumah ini. Kamu juga masih kerja. Lupakan mereka."
Badan dan batin rasanya letih. Aku bersandar di sofa. Tangan kanan memijat kening. Ribuan jarum, seperti menancap di kepala. Keputusan apa yang harus aku ambil? di satu sisi, aku menyayangi Zahwa. Namun, aku juga sangat mencintai Nadia. Tak bisa memilih salah satunya. Kenapa runyam sekali masalahku.
Tok! tok! tok!
Suara ketukan terdengar lagi. Nadia beranjak ke ruang depan. Aku mengekor di belakangnya. Siapa gerangan yang datang? tak mungkin Bapak dan Ibu balik lagi. Semoga, tamu kali ini, tak membawa masalah baru.
"Ratna, ngapain kamu ke sini?" tanyaku pada sahabat dekat Ela.
"Aku mau tinggal di rumahku."
"Rumahmu? jangan mengada-ngada perempuan aneh," sentak Nadia.
"Nih, baca."
Ratna menyodorkan map berisi foto kopian segel dan kuitansi jual beli. Aku baca dengan seksama pernyataan yang tertulis di sana. Isinya begitu menohok hati.
"Mas, kapan kamu ngejual rumah ini. Pasti ini salahkan?" tanya Nadia mulai panik.
"Hahaha, surat ini sah secara hukum. Lihat, ada tanda tangan Ela dan Ilyas. Jadi, mulai hari ini segera bereskan barang-barang kamu, Ilyas. Pergi dari rumahku."
Si*l, pasti Ela diam-diam mendapatkan tanda tanganku. Tak aku duga, Ela begitu cerdik. Dibalik sikap cerianya, yang biasa-biasa saja. Dia menyimpan rencana busuk untuk menghancurkanku.
Semua ini tak bisa dibiarkan. Aku harus ke Surabaya. Merebut hati Ela kembali. Lalu, mengambil lagi hak milikku.
