Bab 4 Nadia Ngamuk
"Hahaha, Ayah, ko, tegang gitu? kaya ketauan poligami aja."
"Ma-mah, lebih baik Nadia suruh pulang aja. Gak enak sama tetangga," bujuk suamiku.
Raut wajahnya masih tegang. Suamiku ini, bernyali melempem saja, berencana punya dua istri. Padahal, aku belum cakar-cakaran dengan Nadia. Namun, Suamiku sudah panik setengah mati.
"Gak papa, Ayah. Cuman semalem doang. Sekalian Ayah bernostalgia. Mbak Nadia ini 'kan sahabat sekaligus mantan Ayah pas SMA."
"Betul itu, Mas. Istrimu ini sangat baik. Dia tak akan cemburu, meskipun kita punya kisah masa lalu," jawab Nadia penuh percaya diri.
"Oh tentu, Mbak. Masa lalu 'kan sudah berlalu. Yang terpenting, aku istrinya Ayah. Kami juga sangat bahagia. Benar tidak Ayah?"
Aku yakin, Nadia curiga kalau aku mengetahui perselingkuhannya. Dia terus memancingku. Agar membongkar apa yang aku ketahui tentang mereka.
"Ya pasti bahagia dong. Apalagi ada Awa."
Putriku datang, langsung memposisikan diri di tengah. Merangkul aku dan Ayahnya. Nadia menatap cemburu.
"Tentu sayang. Awa adalah hadiah terindah untuk pernikahan Mamah dan Ayah. Mamah masih ingat sekali, ketika Ayah harus duduk sambil tertidur ketika menjaga kamu saat bayi."
"Ya ampun, Ayah emang tipe pria yang sangat sayang keluarga. Awa bangga punya Ayah," ucap putriku sambil merangkul Ayahnya.
"I-iya, Nak."
"Oke, kalau gitu, Awa mau dengar kisah masa kecil dulu. Malam ini, Ayah dan Mamah harus bercerita di kamar sama Awa."
Zahwa berkacak pinggang. Sambil mengerucutkan bibirnya. Pertanda kemauannya harus dituruti. Tumben sekali, anak gadisku bermanja-manja pada kami. Pasti ada rencana lain yang dia siapkan untuk menyambut kehadiran Nadia.
"Ide bagus, Nak. Kita bisa seru-seruan bareng. Ayah, emak dan anak, cocok. Gimana Yah, pasti setuju 'kan?" tanyaku sekilas melirik Nadia. Ayah hanya diam. Nampaknya dilema.
Wajah Nadia muram. Keberadaannya sama sekali tak dianggap. Dia hanya bisa diam, gak candi Borobudur. Aku bersorak riang di hati.
"Ayah kelamaan mikir, kaya Aristoteles aja. Otw kamar, yuh. Waktunya family time."
"Tapi Nak, kita belum bereskan rumah, piring-piring dan lainnya."
"Piring sudah ditumpuk di dapur, yah. Tadi ibu-ibu tetangga sebelah yang udah bantu, Mamah. Nyucinya bisa besok."
"Karpet depan belum digulung, Mah. Biar Ayah yang beres-beres." Ayah terus beralasan. Dia pasti tak mau membuat pujaan hatinya cemburu.
"Sudah Rapih, Yah. Tadi Awa sama Ka Fauzi yang beresin." Aku senggol anakku. Dia pasti keceplosan.
"Fauzi?"
"Maksudnya ustad Fauzi."
"Oh ustaz itu namanya Fauzi." Aku dan Zahwa serempak mengangguk. Untung sebelumnya ayah belum sempat bertanya nama ustaz yang membantu akting kami.
"Udah, Yah. Kalian ke kamar duluan. Awa mau kita cerita bareng, titik." Zahwa mendorong tubuhku masuk ke kamar.
"Hey, tunggu. Tidak sopan. Aku tamu kalian. Kenapa malah ke kamar," ucap Nadia menghentikan langkah kami.
"Ya ampun, aku lupa ada Tante cantik. Silahkan Tante kalau mau pulang," usir Zahwa pada Nadia.
"Aku mau nginap di sini, anak manis."
"Emang rumah Tante kebanjiran? kok nginep di rumah orang, sih."
"Nak, jangan berkata begitu sama Tante Nadia," bela Ayah.
"Ih, Ayah gimana sih, Awa cuman nanya doang."
"Rumah Tante tidak kebanjiran anak manis. Hanya saja, di sana sepi. Tante ingin di sini, bersama anak cantik sepertimu." Nadia berusaha menarik simpati anakku.
"Sudah-sudah. Ela, siapkan kamar untuk Nadia. Kamu yang sudah mengizinkan dia menginap. Maka, sambutlah dia," ucap suamiku seenak jidat. Kalau bukan karena terpaksa, tak sudi aku menampung pelakor di rumahku.
"Biar Awa yang siapkan kamar untuk Tante cantik ini. Mamah dan Ayah, istirahat duluan. Oke?"
"Oke anak Mamah. Makasih. Ayo, Yah. Badan Mamah udah pegel-pegel. Nanti tolong pijitin ples ples, yah," godaku mengerling genit.
Lengan Ayah aku gandeng ke kamar. Tak perduli raut wajah cemburu dari Nadia. Kasihan sekali, dia yang berusaha membuatku terbakar api cemburu. Malah berbalik pada dirinya sendiri.
Aku tak tahu apa rencana Zahwa selanjutnya. Setelah tiga puluh menit, Zahwa masuk ke kamarku. Dia merengek minta diceritakan masa kecilnya, yang belum pernah diceritakan. Entah apa maksudnya.
"Mamahmu ngidam pengen ngelu-ngelus singa. Ayah sampe pusing sama ngidamnya yang aneh."
Suamiku terus menceritakan pengalamannya, saat usia kandunganku masih tiga bulan. Zahwa ada di tengah kami. Dia letakan kepala di atas paha ayahnya. Tangan Ayah diarahkan untuk mengelus kepalanya. Sedangkan aku, di suruh menepuk-nepuk halus pahanya. Beginilah kebiasaan manjanya, yang melekat sejak umur lima tahun.
"Wah, serem amet. Terus terus gimana, Yah?"
"Ya, mau gak mau, Ayah ajak dia ke taman safari di Bogor. Parahnya, saat sampai di sana, malah Ayah yang suruh ngelus-ngelus singa."
"Tapi Ayah malah kesenengan. Abis itu selfi-selfi sendiri. Gak ngajak-ngajak Mamah lagi."
"Hahaha, soalnya, singanya lucu, dan penurut. Ayah jadi gak takut."
"Untung singanya gak PMS, ya, yah. Kalau PMS, bisa-bisa galaknya melebih Zahwa."
"Ih, Mamah." Kami tergelak bersama, karena berhasil meledek putri kami.
Hati kecilku begitu bahagia dengan momen ini. Andai, tak ada penghianatan. Pasti kami adalah keluarga paling bahagia.
Anakku, sebenernya apa maksudmu melakukan semua ini? apa dia sengaja, ingin menikmati keharmonisan keluarganya. Sebelum, rumah tangga orang tuanya, resmi diporakporandakan. Cepat atau lambat, semuanya memang akan berakhir. Ketika kepalanya sudah mendua, maka perlahan pondasi kebahagian keluarga akan runtuh.
"Mah .... bangun," bisik Awa.
Dia letakan jati telunjuk di bibirnya, sebagai isyarat agar aku diam. Suamiku sudah tidur pulas setelah lelah bercerita. Awa yang tadinya tidur di tengah, sudah berdiri di sampingku.
"Mau ke mana, Wa?" tanyaku terduduk.
"Kita jailin nenek gayung, Mah. Ayok, ikut Awa."
"Jailin gimana, Nak? mau pindahin dia ke kandang macan?"
"Ih, mamah jangan bercanda. Udah ikutin kata Awa."
Dengan raut kebingungan, aku turuti kemauan putriku. Melangkah keluar kamar meninggalkan Ayah yang sedang ngorok.
"Astagfirulloh!" teriakku saat melihat sepuluh ekor tikus di dalam kandang besi yang biasa dipakai untuk tempat kucing.
"Hust, mamah jangan berisik."
"Kamu mau ngajak mamah bikin bakso tikus malem-malem gini?"
"Bukan, Mah. Gila aja, bikin bakso tikus. Ini tikus kita masukin ke kamar nenek gayung. Terus mamah tolong ambilin minyak sayur."
"Buat apa lagi?"
"Udah, pokonya beres."
"Oke, deh."
Zahwa mengendap-endap masuk ke kamar Nadia. Aku bertugas mengambil minyak sayur. Saat Zahwa sudah keluar, anakku memberi instruksi untuk menyiram minyak ke lantai depan pintu.
"Beres, Nak?"
"Beres, Mah. Ayok, kita pura-pura tidur di kamar Zahwa."
Aku bergegas ke kamar Zahwa. Menunggu pertunjukan apa yang akan terjadi. Sesekali, Nadia harus diberi pelayanan tamu yang terbaik. Biar dia tak kesepian, maka kami hadirkan tikus-tikus lucu, hahaha. Maaf, Nadia. Apa yang aku lakukan, tak sebanding dengan luka yang kau torehkan.
"Arrgh! tikus ...."
"Tolong ...."
Brak!
Nadia berteriak nyaring. Disusul suara pintu yang dibanting. Lalu, benda kaca yang jatuh. Isi kepalaku membayangkan ekspresi ketakutan Nadia yang sangat lucu. Rasanya geli sendiri, jika diposisinya. Sekujur tubuh di peluk bahkan di cium tikus-tikus kecil.
Zahwa mengikuti tingkahku yang konyol dan aneh. Hebat sekali dia, bisa memikirkan rencana sekeren ini. Beruntung, anakku tipe gadis tangguh. Dia bahkan berani menghamburkan sepuluh tikus sekaligus di dalam selimut Nadia.
"Mas Ilyas, ada tikus," teriak Nadia masih menggema.
"Mah, kayanya Ayah udah bangun dan nyamperin nenek gayung. Ayok, kita lihat. Awa gak sabar lihat ekpresinya. Pasti rambutnya awut-awutan."
"Masa sih, Nak? gak mungkinlah. Paling kamar tamu kita yang berantakan."
"Ih, mamah gak tau, ya. Tadi tuh, Awa sudah siapkan satu tikus kecil alias bencil, yang unyu-unyu, di atas kepalanya."
"Astagfirullohaladzim, hahaha," tawaku pecah seketika. Inginku guling-guling, sambil cekikikan sepuasnya.
"Hust, mamah jangan kenceng-kenceng ketawanya."
"Ups, keceplosan. Lagian, anak Mamah ini cerdasnya luar binasa. Mengalahkan komedian tingkat internasional."
"Anak Mamah gitu, Loh. Dari pada jambak-jambakan, atau cakar-cakaran, udah mainstream. Mending, kaya gini. Seru, main-main."
"Hahaha, betul. Yang penting, tak sampai melukai Nadia. Paling, dia sedikit geli-geli gimana gitu, digigit tikus."
Ada rasa sedikit kasihan. Namun, mengingat tingkahnya yang keterlaluan, membuatku geram. Kalau terlalu dibiarkan, maka akan semakin besar kepala.
"Mah, pokoknya bagaimanapun respon nenek gayung, kita harus tetap tenang."
"Tentu Sayang. Lawan kita akan senang, jika kita terpancing dengan hasutannya."
"Nah, cocok. Mamah emang the Best. Gaskeun, kita tengok nenek gayung."
Tawa mengembang diantara anak dan ibu. Kami berjalan menuju kamar yang ditempati Nadia. Aku dan Awa tak bisa menahan Tawa. Kondisi Nadia seperti orang gila. Bajunya sedikit robek. Rambut awut-awutan. Dia terduduk karena terpeleset minyak. Satu tangan terus memegangi tulang punggung.
"Astaga, Tante cantik kenapa nangis gitu. Segala ngepel lantai lagi, hahaha," ledek Zahwa.
"Berisik anak nakal. Pasti ini perbuatan kamu dan ibumu."
"Ish, ish, sembarangan nuduh. Orang aku sama mamah abis tidur. Tante, agak sengklek yah? hahaha." Aku hanya bisa menahan tawa. Zahwa begitu puas melihat penderitaan nenek sihir yang sudah meracuni ayahnya.
Ayah hanya menggelengkan kepala. Dia nampak bingung dengan kondisi sang pujaan hati. Bukan menolong, suamiku malah mematung. Mungkin dia masih mencerna apa yang terjadi. Sambil mengumpulkan nyawa sehabis bangun tidur.
"Halah jangan ngelak. Mana mungkin rumah bagus kaya gini banyak tikus. Pasti perbuatan kalian. Dasar licik."
"Mbak Nadia, tolong dijaga mulutnya. Sudah numpang, bikin gaduh lagi. Jangan sampai, saya jahit mulutnya. Biar rapet," jawabku kesal.
"Berisik. Kalian malah bertengkar. Gak enak didenger tetangga.
"Tuh, anak dan istri kamu. Mas, malah diem aja. Buru tolongin. Sebelum tikus-tikus gila gerumutin aku lagi," sentak Nadia.
Tanpa perduli kehadiran kami, Ayah menuruti selingkuhannya. Nadia sengaja bergelayut manja dalam rangkulan suamiku. Dia menampakan ekspresi sangat menderita. Ayah, memapahnya duduk di sofa ruang keluarga.
"Ih, Ayah biarin aja. Harusnya Ayah bela Mamah. Tante 'kan udah nuduh yang enggak-enggak." Putriku menarik ayahnya agar sedikit menjauh dari Nadia.
"Aku gak menuduh, Mas. Pasti ini ulah istri dan anakmu. Buktinya, dia malah pindah tidur ke kamar lain. Pasti, setelah menjahiliku, dia sengaja bersembunyi di kamar Zahwa.
"Mbak Nadia, kalau ngomong direm dong. Enak banget nyerucus kaya kereta butut. Saya pindah ke kamar Zahwa, Karena berisik. Suami saya ngorok. Bukan karena Mbak. Enak saja menuduh tuan rumah," jawabku sewot.
"Halah, gak usah berkelit. Saya tahu, kamu pasti cemburu karena saya mantannya Mas Ilyas 'kan? mangkannya dendam, dan sengaja berbuat ulah."
Nadia lepas kendali. Wajahnya merah padam. Kilatan amarah seakan berkobar dari matanya. Tangannya mengepal kuat menahan kesal. Awalnya, aku hampir saja terbawa emosi. Seketika, Zahwa menggenggam tanganku. Serta memberi isyarat, supaya tetap tenang.
"Sudah berisik!" bentak Ayah Ilyas.
"Mah, jujur, apa kamu yang melakukan semua ini? tak mungkin minyak jatuh begitu saja di kamar tamu."
"Hahaha, lucu Ayah, Nih. Malah menuduh mamah dan mempercayai mantan Ayah. Inget, Yah. Mamah ini istri sah Ayah. Masa Ayah malah bela mantan."
"Hahaha, Ela, Ela. Asal kamu tau, aku bukan lagi mantan Mas Ilyas. Tapi kami sudah menikah siri."
Hatiku rasanya terhantam batuan tajam. Semakin remuk redam kalbu ini. Apa mereka sudah menikah? kapan? kenapa Rafli tidak menceritakan soal ini. Apa dia sengaja menutupinya dariku, atau memang sama-sama tak tahu.
Aku pikir, hubungan mereka masih ditahap pacaran. Namun, kenyataan pahit begitu memilukan. Persendian lemas. Kaki rasanya tak menapak di tanah.
"Hahaha, kamu sudah tau itu, Tante cantik. Aku yakin, Ayah tak akan memilihmu. Nenek lampir, ih."
Mata membeliak tak percaya menatap Zahwa. Apa benar Zahwa tahu rahasia Ayahnya lebih dari aku? bagaiman caranya dia bisa tahu semua ini?
Zahwa malah tersenyum miring ke arahku. Dia sama sekali tidak kaget. Putriku, menunjukan ekspresi biasa.
"Oh, kalian sudah tahu. Baguslah. Tak masalah 'kan kalau aku tinggal di sini untuk selamanya?"
"Boleh dong, Tante. Coba tanya Ayah. Apa dia mengizinkan?" tantang Zahwa.
"Jawab, Mas. Mereka sudah tahu. Kita tak usah menyembunyikan hubungan ini lagi. Lihat saja, istrimu rela berbagi suami. Buktinya dia tak marah meskipun mengetahui semuanya."
Ayah hanya termenung memandang Aku dan Zahwa. Celah matanya mengembun. Mungkin, dia memang tak perduli perasaanku. Namun, aku tahu pasti, Ayah begitu menyayangi Zahwa. Hatinya pasti gundah, dan merasa bersalah. Mengetahui bahwa anaknya sendiri, tahu kebejatan Ayahnya.
"Jawab, yah. Silahkan izinkan Tante cantik ini tetap di sini. Kalau Ayah mau, Mbah Kakung tau semuanya," ancam Zahwa dengan wajah penuh kemenangan.
Mulutku terkunci. Masih berusaha mengontrol rasa yang berkecamuk di hati. Aku harus tegar. Sama seperti Zahwa, yang menyimpan luka lebih dalam dariku.
"Zahwa .... Mamah .... maafkan Ayah." Suamiku bersimpuh di kaki kami. Air mata membanjiri pipinya.
"Mas, ngapain kamu kaya gitu. Bangun." Nadia berusaha membangunkan suamiku. Namun, Ayah bergeming. Dia terus merengek maaf di kakiku.
"Diam, Nadia!" bentak Ayah. Nadia langsung terdiam.
"Tuh, Tante cantik liatkan? Ayahku lebih mencintai Mamahku. Tante cantik cari opah-opah aja. Mending, pergi, deh. Bikin rusuh tau, ih."
"Gak mungkin. Mas cepat bilang, kamu gak mungkin memilih istrimu yang bo*oh itu."
Plak!
Suamiku menunjukan raut jengkel. Beranjak berdiri, lalu mendaratkan tamparan. Zahwa tersenyum lebar. Aku hanya mematung. Tak percaya dengan kelakuannya.
"Pergi dari sini, Nadia. Cepat pergi!" teriaknya memekikan telinga.
