Bab 3 Rencana anakku
POV Ela
Sebagai seorang istri dan ibu, aku berprinsip untuk mempunyai hati sekuat baja. Kuat menghadapi segala badai cobaan yang menerpa. Di depan suami dan anak, aku berusaha menjadi sosok jenaka. Tak mau menunjukan kesedihanku. Terus ceria dan menghibur mereka. Agar nyaman dan betah di rumah. Namun, ternyata usahaku membuat suami selalu bahagia, malah dibalas penghianatan.
"Rafli, kamu di sini? bukannya ikut tugas kerja di luar kota, sama suamiku?"
Tiga bulan lalu, tak sengaja aku bertemu dengan sahabat karib suami. Saat hendak pergi ke pasar. Dia sedang menservis mobilnya di bengkel dekat pasar.
"E-Ela. Kamu ngapain di sini?"
"Ya mau belanjalah, Raf. Masa mau dugem, hahaha. Ada-ada saja bapak duda, nij," jawabku tak canggung.
Kami memang dekat. Rafli sering berkunjung ke rumah. Orangnya asik diajak bergibah. Dekat dengannya, aku merasa muda lagi. Seakan berbincang dengan sahabat semasa kuliah.
"Bisa aja, La. Udah kepala empat, masih suka ngelawak."
"Biar awet muda Pak Duren."
Itu panggilanku untuknya. Duren yakni duda keren. Rafli seumuran denganku. Beda dengan suamiku, yang berumur dua tahu lebih tua dari kami. Soal rupa, tentu Rafli lebih tampan. Badannya atletis seperti Syahrukan. Berkulit sawo matang, manis kaya durian musang king, dari Malaysia. Dibumbui karisma kepemimpinan yang melekat padanya. Namun, anehnya dia masih betah menjadi duda. Padahal, istrinya sudah lama meninggal.
"Bisa aja kamu, La."
"Ya bisa, 'kan pake 'A' kalau pake 'U' jadinya bisu. Tambah 'L' jadi bisul." Kami tergelak bersama.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Duren. Kenapa kamu di sini? gak jadi ikut suamiku ke luar kota?"
Rafli tak menjawab. Dia menatapku dengan iba. Dari raut wajahnya, aku yakin, ada yang disembunyikan.
"Jujurlah Bapak Duren. Kita tak tahu kapan malaikat Izroil menjemput. Umur sudah kepala empat, bisa jadi kamu yang duluan, aku belakang. Atau kebalikannya, aku belakangan kamu duluan. Jadi, katakan saja, jangan dipendam," bujukku berpidato bak Mamah Dedeh.
"Baiklah Ela, aku mau biacara serius. Ayok, kita cari tempat duduk sambil minum es teh. Biar nantinya hati kamu gak panas."
Aku hanya mengernyitkan dahi. Tak paham apa maksud Rafli. Dengan memasang wajah polos bagaikan bayi, aku mengekor pasrah. Kami duduk di sebuah kafe yang tidak jauh dari bengkel. Rafli memesan minuman es thai tea dan lemon tea.
"Ayok bicara, Raf. Waktuku tidak banyak. Kamu tahu 'kan, ibu-ibu sepertiku harus buru-buru ke pasar. Biar bisa nyari diskonan cabe, bawang, tomat dan kawan-kawan."
"Iya, La. Aku mau jujur. Semoga, kamu bisa sabar mendengar kenyataan pahit ini. Pikirkan matang-matang keputusan yang nantinya akan diambil."
Rafli makin membuat pikiranku melayang-layang tak karuan. Dia pikir, aku sedang mengikuti pemilu presiden? sampai menyuruh berpikir penuh pertimbangan. Pemilihan presiden masih dua tahun lagi. Heran. Mungkin Duren kurang belaian perempuan cantik. Jadi ngomongnya ngelantur.
"Sejak awal, aku sudah melarang perbuatan Ilyas. Tapi cinta masa lalu, malah membodohinya. Sebenarnya, Ilyas tidak ada kerjaan di luar kota. Dia hanya beralasan supaya bisa liburan dengan selingkuhannya."
"Hahaha, Duren, ampun, deh. Masih pagi udah ngeprank. Kamu sekarang jadi youtuber? mana kameranya?" tanyaku sambil mengamati seisi kafe. Melabai-lambaikan tangan mencari kamera.
"La, aku serius. Ini buktinya. Maaf, aku baru bisa memberitahumu sekarang."
Sebuah foto dari galeri ponsel Rafli, terpampang jelas. Aku raih benda pipih itu, dengan tangan gemetar. Berkali-kali aku perbesar gambarnya. Untuk memastikan apa yang aku lihat. Ada Foto Ayah yang sedang bermesraan dengan perempuan di atas kasur. Mereka hanya ditutupi sehelai selimut.
"Raf, kamu becandakan?" tawa terpaksa, aku tampilkan. Berusaha menampik bukti yang ada.
"Maaf, Ela. Kenyataannya memang begitu. Maaf, aku baru cerita."
Prank!
Tak sengaja, tanganku menyenggol gelas. Tatapanku menerobos lurus. Jantung berpacu dua kali lipat lebih cepat. Nyeri menjalar dari aliran darah ke setiap urat-urat nadi. Air mata bergulir deras di pipi.
"Ela, tenangkan dirimu."
Brugh!
Meja aku pukul dengan kasar. Sampai air di gelas Rafli muncrat ke mukanya. Rafli menampakan raut ketakutan. Beruntung, suasana kafe masih sepi. Aku tak sampai di demo para pengunjung karena membuat kegaduhan.
"Duren, maaf aku tak sengaja. Tolong bayar tagihan minumnya pake duit kamu. Aku pergi dulu."
Dengan hati berkecamuk. Aku melangkah pulang. Tak jadi belanja ke pasar. Biar saja nanti membeli makanan di warteg.
Suasana rumah sepi. Zahwa ada tugas kerja kelompok di rumah temannya. Aku leluasa mengekspresikan sakit di dalam dada. Aku Menangis sejadi-jadinya. Melempar bantal, guling, dan selimut ke sembarang tempat. Lampu hias kamar, yang terbuat dari kaca, pecah berkeping-keping. Sama seperti hatiku.
"Ayah jahat! kurang apa aku, Yah? kondisi suka maupun duka aku berusaha tak mengeluh. Makan atau tidak bisa makan, aku tetap setia. Tapi kau malah berdusta, dan menciptakan luka, hiks, hiks," jeritku menggema.
Aku menangis dengan posisi memeluk lutut. Bahu terguncang hebat. Seceria apapun diriku. Aku tetap manusia biasa. Perlu meluapkan sakit hati yang dirasa.
Hampir satu jam aku mengeluarkan rasa sakit ini. Berusaha menenangkan diri. Jangan sampai Zahwa melihat kondisiku. Aku berjanji, akan tetap ceria. Demi anakku.
Kurang lebih satu semester lagi, Zahwa naik kelas tiga SMA. Kalau sekarang aku memutuskan kabur ke rumah ibu di Surabaya, Sekolahnya akan terganggu. Aku juga harus mengumpulkan banyak bukti. Untuk bekal membongkar skandal suamiku di depan ibu dan mertua. Sekuat tenaga, aku akan bertahan.
Setelah kejadian itu, aku berusaha tetap menjadi sosok Ela seperti biasanya. Ceria dan penuh canda tawa. Sampai Ayah sama sekali tak menyadari, bahwa perlahan aku menjaga jarak dengannya. Selalu berdalih jika dia meminta servis batin. Aku juga sedang berpikir keras untuk mencari ide usaha. Agar nantinya, merdeka secara finansial. Saat menjadi janda.
"Mah, Sini, Mah. Ini Ayah 'kan?" tanya Zahwa setelah tiga bulan aku memendam luka.
Kami sedang berolahraga bersama mengitari komplek. Saat aku membeli minuman, Zahwa tak sengaja melihat status ayahnya di ponselku.
"Za-zahwa, sini ponsel Mamah. Kamu salah liat kali. Minum nih, biar gak burem matanya, hihi," ucapku berusaha mencairkan suasana.
"Mamah ini, mataku masih sehat. Jelas-jelas tadi status Ayah sama perempuan lain. Masa status duda sebelah."
"Kamu kebanyakan baca novel KBM yang lagi booming sih, status janda, tetangga, calon suami. Jadi, kebayang-banyang," jawabku berusaha mengelak.
Aku sudah biasa melihat stori mesra suamiku dengan Nadia. Rafli yang selalu mengirimkannya. Belakangan ini, aku juga diam-diam membuka privasi stori whatsapp milik suamiku.
"Apa Mamah sudah tahu semuanya?"
Apa maksud anakku? apa dia sudah tahu sebelumya tentang ini semua? tidak ... aku harap tidak.
"Ma-maksud kamu apa, Nak? sudahlah, lupakan masalah status wa Ayah. Dia pasti salah kirim. Paling itu rekan kerjanya."
"Gak usah ngelak, Mah. Awa udah gede. Paham tentang masalah kaya gini."
"Hehehe, sudahlah. serius amet ngomongnya, kaya pejabat negara. Nanti pala kita botak lagi. santai aja, Awa. Mamah baik-baik aja." Aku rangkul anakku.
"Awa sudah tau semuanya Mah. Ayah selingkuhkan sama nenek sihir yang namanya Nadia."
Mataku membeliak tak percaya. Sejak kapan Zahwa tau semuanya. Kenapa selama ini dia nampak biasa-biasa saja? ternyata anakku menyimpan beban masalah orang tuanya. Dia tetap tegar. Semoga anakku memang kuat, bukan pura-pura menerima. Namun, melampiaskan kekecewaannya dengan jalan yang salah. Seperti pergaulan bebas, apalagi ... Ya Tuhan, hilangkan pikiran negatifku.
"Awa tau dari mana?"
"Tak penting Awa tahu dari mana. Bagus kalau Mamah sudah tahu. Kita bisa susun rencana untuk memberi pelajaran pada Ayah dan nenek gayung itu," serunya penuh kilat kebencian.
"Sayang, jangan pikirkan masalah ini. Mamah bisa menghadapinya. Hidup harus dibuat santuy, Sayang. Jangan spaneng. ini cobaan rumah tangga."
"Hahaha, Mamah memang perempuan hebat. Masih kuat menyembunyikan luka. Padahal, sudah tersiksa sejak lama."
Aku hanya menelan Saliva. Tak menyangka dengan penuturan putriku.
"Nak, tolong jangan benci Ayah. bagaimanapun kamu brojol, karena ada dia. Tanpa Ayah, tak akan terbentuk emberio lalu janin, dan kemudian menjadi gadis cantik sepertimu," bujukku berusaha tersenyum.
"Mamah tenang saja, aku pernah hidup di dalam rahim Mamah. Meminum air susu Mamah. Jadi, sikap kuat Mamah, juga tertanam pada diriku. Kita harus hadapi Ayah. Supaya dia sadar."
"Jangan pakai cara kasar Awa, percuma. Kita harus mencontoh Rosululloh. Dia selalu membalas musuh dan orang yang benci padanya dengan kebaikan."
Itulah prinsip yang aku tanamkan pada diri sendiri. selama ini, aku diam bukan karena lemah. Hanya ingin memepraktekan cara yang diajarkan sang panutan. Meskipun, setelah kenaikan kelas Zahwa, aku tetap akan meminta cerai. itupun, jika Zahwa mengizinkan.
"Hahaha, baikalah. Awa punya rencana halus untuk Ayah."
"Rencana apa sayang? jangan bilang, kamu berniat menukar Ayah dengan badak bercula satu dari Banten."
"Ih, serius Mah."
"Hehehe, Mamah tak ingin membuatmu kepikiran, Nak. Pikirkan saja sekolahmu. Biar masalah ini jadi urusan Mamah."
"Mamah mau tetap diam? jangan lemah, Mah. Mereka harus diberi pelajaran. Setelah itu, kita bilang Mbah kakung Handoko. Biar Mbah kakungku yang pensiunan tentara itu, pasti bakal mengobrak Abrik mereka. Enak saja, menyakiti mamahku."
Air mata jatuh. Anak gadisku yang mulai remaja, begitu merasakan penderitaan ibunya. Aku rangkul tubuhnya yang body goals. Putri kecilku yang cantik. Dialah semangat untukku tetap bertahan.
"Mamah gak boleh nangis. Biar para penghianat yang menangis."
Zahwa mengusap air mata yang berjatuhan di pipiku. Dia sangat tegar. Tak ada raut kesedihan dari matanya. Namun, aku merasakan aura dendam yang mendalam. Perlahan, akan aku beri pengertian, agar dia tak benci ayahnya.
"Setelah kenaikan sekolah, kalau kamu mau, kita pulang ke rumah Mbah Uti di Surabaya, ya, Wa."
"Apapun keputusan Mamah, Awa akan selalu melindungi dan menemani Mamah."
Kami saling berpelukan dan menguatkan. Zahwa mulai memberi tahu rencana anehnya. Dia yang menyuruhku pura-pura marah. Saat Ayah bersimpuh memohon maaf. Kami sengaja, bersandiwara, seakan tak tahu semuanya. Akan ada masanya, kejutan itu akan datang. Waktu tiga bulan ini, akan aku gunakan untuk menyadarkan Ayah tentang kekeliruannya.
Rasanya aku ingin sekali segera berpisah. Namun, kata cerai tak semudah dalam novel serial rumah tangga. Ada yang harus dipertimbangkan. Terutama nasib anakku.
Dibibir Zahwa, mungkin dia bisa menerima perceraian kami. Akan tetapi, aku tak yakin dengan hati dan mentalnya. Apalagi, kadang lingkungan tak mendukung, anak-anak korban broken home. Mereka lebih suka melakukan perundungan atau melontarkan ejekan. Dibandingkan support.
Tak heran, banyak kasus kenakalan remaja yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari komunitas anak punk, pergaulan bebas, sampai narkotika.
"Mah, nanti ka Fauzi bakal nyamar jadi ustaz. Mamah ikutin ajah rencana kami," ucap Zahwa di ruang tamu.
Entah sejak kapan dia merencanakan kekonyolan ini. Aktingnya begitu memukau. Mengalahkan artis era digital. Awa benar-benar seperti orang kesurupan. Sekuat tenaga, dia melampiaskan kekesalan pada ayahnya.
Rencana anakku berjalan sukses. Kami berhasil mengadakan pengajian. Sengaja memancing nenek gambreng hadir di sini. Lihatlah, tingkah Nadia seakan tak punya dosa.
"Ela, boleh aku makan di sini?" tanya Nadia saat aku sibuk di dapur.
"Ya boleh dong, Mbak. Anggap aja rumah sendiri. Asal jangan anggap suami saya milik Mbak juga, hahaha," sindir halus.
Nadia tersenyum miring. Tak sungkan duduk di kursi meja makan. Dengan santai, dia makan sambil sesekali memperhatikanku yang sibuk menata kue basah ke piring. Untuk dibawa ibu-ibu tetangga ke depan.
"Gimana rumah tangga kamu, Ela? apa Mas Ilyas menyayangimu?"
"Tentu dong Mbak, masa sayang janda sebelah. Kecuali, jandanya yang kegatelan, hehehe. Mbak, ada-ada aja pertanyaannya."
"Hahaha, kamu lucu, Ela. Pantas Mas Ilyas mencintaimu. Dia memang suka sesuatu yang berwarna," respon Nadia sok akrab.
Aku ikuti saja permainannya. Berlaga bodoh. Kita lihat, sampai mana rasa kepedean yang dimilikinya.
Dia terus bercerita tentang kedekatannya dengan Mas Ilyas semasa SMA. Sebenernya aku sudah tahu tentang masa lalu mereka, dari Rafli. Ucapannya aku respon dengan ceria. Pura-pura tak tersinggung padahal berkali-kali dia memancingku untuk cemburu.
"Ela, bolehkan aku nginep di sini? dulu, Tante Nia, ibunya Mas Ilyas selalu memperbolehkanku bermain sampai menginap. Aku kesepian, tak ada teman tidur. Di sini rame, ada Mas Ilyas dan anaknya juga."
Hahaha, inginku jambak sambil tertawa terbahak-bahak. Inilah hakikat diberi hati malah minta kotoran sapi. Tanganku gatal ingin melumuri wajah Nadia dengan t*hi yang berwarna kehijauan.
Sabar, Ela. Allah sedang menguji kadar keikhlasan dan kekuatan hatimu. Aku terus melafalkan istigfar. Agar tak terhasut syahwat amarah.
"Tentu, boleh dong. Dengan senang hati. Kita bisa bergibah ria, hahaha."
Ditengah perbincangan, Ayah menghampiri. Dia nampak keberatan dengan kedekatanku dan Ela.
"Mah, ngapain dia diizinin nginep di sini?"
Ayah menarikku ke ruang keluarga. Sedikit menjauh dari Nadia. Dia amat tak suka dengan keputusanku menampung pujaan hatinya.
"Biar Ayah bahagia."
"Hah? ma-maksudnya?" Dia mulai panik.
"Biar hot. Dua perempuan cantik, dari masa lalu dan masa kini disatukan. Wah, mantul, Yah. Sensasinya kaya ceker setan level 100," Wajah suamiku mulai pucat pasi.
"Benar kata, Ela, Mas. Kami sudah akrab. Jadi jangan khawtir."
"Ma-maksud kalian apa?"
Suami bak kerupuk tersiram air got. Berada di tengah-tengah perempuan-perempuan penuh senyum misteri. Bendera perang, resmi dikibarkan.
