Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Nadia Bertemu Ela

"Za-zahwa, le-pas-kan."

"Ayah, jangan mati duluan. Ustaz, cepet tolong suami saya."

Tiba-tiba Ela datang membawa seorang pria yang umurnya lebih muda dariku. Nampak dewasa karena kumis tebal seperti Pak Raden. Dia langsung menarik anakku. Dengan sekuat tenaga, akhirnya cengkraman demit terlepas juga.

"Ayah, masih bisa napaskan?"

"Masihlah, Mah. Untung mamah datang tepat waktu. Kalau tidak, Ayah sudah jadi perkedel."

"Jangan dong Yah, gak enak perkedel rasa daging ayah."

"Hust, mamah, nih."

Aku hanya menggeleng, berusaha sabar. Aneh, istriku nampak tidak setakut diriku. Meskipun, sesekali dia cemas. Namun, dia lebih santai. Yang paling aneh, kenapa setan itu hanya menyerangku? Dia seakan ingin memakanku hidup-hidup. Sedangkan Ela, sama sekali tidak diliriknya. Harusnya, demit itu bersikap adil. Agar tidak hanya aku yang kelimpungan. S*al, hari ini hidupku begitu apes.

Niat berlibur bersama pujaan hati, malah hampir mati. Rencana bahagia, purna sudah. Yang tersisa, hanya rasa penuh tanda tanya, dan keresahan yang luar biasa.

"Bu, tolong ambilkan segelas air," perintah seorang sosok pria seperti ustaz.

Tanpa banyak berkata, istriku berlari ke dapur. Sedangkan, Zahwa masih dalam cengkramannya. Dia terus berteriak tak karuan. Menunjuk dan melotot ke arahku. Oh tuhan, dosa apa aku. Kenapa setan dalam tubuh Zahwa begitu membenciku. Padahal, kami belum pernah kenalan.

"Ini, Ustaz."

Ustaz meraih segelas air putih. Lalu, dia bacakan ayat kursi, dan entah apa lagi. Suaranya samar-samar.

"Loh, ko airnya malah di minum Pak ustad?" tanyaku.

Ustaz bukan menjawab hanya menganggukkan kepala. Gelas dia letakan di samping. Kedua tangan sibuk memegaangi pundak anakku dari belakang. Tangan kanannya mengibas-ngibas ke kanan. Aku bingung, apa yang dia maksud. Sedangkan Ela, sudah menepi menjauh dariku.

"Arrgh!"

Seisi air dari mulut Ustaz itu menyembur ke arahku. Wajahku basah lagi.

"Allahu Akbar!" teriak ustaz itu, sambil mengusap wajah anakku.

Sekian detik kemudian, Zahwa pingsan. Dengan sigap, ustaz aneh itu menyanggah tubuh anakku.

"Zahwa, bangun Nak." Ela merangkul tubuh anak kami, dan meletakan bagian kepala di pahanya.

"Mamah."

Ela memeluk erat tubuh Zahwa. Begitu pula denganku. Rasanya lega. Akhirnya, sosok astral bisa keluar. Ela merangkul anak kami, agar duduk di sofa. Tak lupa, mempersilahkan ustaz duduk bersama.

"Ustaz terima kasih, sudah menyadarkan anak saya," ucapku sedikit sungkan.

Masih kesal karena disembur air olehnya. Aku juga sama sekali tak mengenalnya. Dia bukan ustaz di komplek ini.

"Sama-sama, Pak. Tapi, saya harus menyampaikan kabar buruk."

"Maksud Ustaz?"

"Jadi, gini Pak. Anak Bapak kemasukan sosok hantu yang sakit hati dan benci pada seorang suami."

"Lah, kenapa ganggu keluarga saya?" tanyaku benar-benar tak mengerti.

"Saya juga tidak tahu alasan makhluk gaib itu mengikuti Bapak. Namun, dari hasil terawangan saya, sosok tadi adalah seorang perempuan, tepatnya istri pertama yang bunuh diri. Karena suaminya berselingkuh. Arwahnya penasaran, sehingga mengantui setiap pria yang hatinya serong atau condong untuk berbuat demikian."

"Tapi kenapa suami saya ustaz? jelas-jelas ayah orangnya setia. Rumah tangga kami hampir 20 tahun. Tak mungkin dia mendua, benarkan Ayah?" tanya Ela melirikku.

"I-iya, Mah," jawabku gugup.

"Pak ustad jangan sok tahu. Anda ini seorang ustaz atau paranormal. Seenaknya mengarang cerita. Saya suami setia. Mana mungkin berniat selingkuh."

"Maaf Pak, saya tidak tahu soal itu. Namun, saya hanya menyampaikan apa yang saya ketahui."

"Anak saya sudah sadar. Lebih baik Ustaz pergi saja."

Sengaja aku mengusir pria itu. Takut pembicaraan makin melebar. Bahaya jika skandalku dengan Nadia terbongkar. Cinta terlarang ini, sudah aku jaga hampir 10 bulan. Tak rela jika kandas hanya karena hal aneh.

"Tapi, Pak kita harus bersihkan rumah ini dari aura negatif."

"Caranya gimana?" tanya anakku.

"Rumah ini harus mengadakan pengajian. Undang semua rekan kerja Bapak. Karena kata istri Bapak, kejadian ini diakibatkan kedatangannya setelah kerja di luar kota."

"Halah, gak usah mengada-ngada. Pergi sana."

"Ih, Ayah ko, sensi, sih. Emang kenapa kita ngadain pengajian. 'Kan bagus, Yah. Sekalian ajang silaturahmi."

"Benar kata Zahwa, Yah. Toh, caranya tidak aneh-aneh. Masih sesuai syariat agama. Sekalian syukuran karena Ayah diangkat jadi manajer lima bulan lalu. 'kan, pas itu kita gak jadi ngadain syukuran."

"Tapi, Mah-"

"Setuju saja, Yah. Awa tak mau diganggu sosok serem itu lagi. Ih, tadi tuh rasanya kaya diajak terbang, tapi gak bisa turun. 'Kan ngeri banget."

"Ya sudah, terserah kalian."

Demi kebaikan anakku, lebih baik menuruti ustaz aneh itu. Aku harus memikirkan cara, agar Nadia tidak hadir.

"Kapan acaranya harus dilaksanakan, ustaz?"

"Besok, Bu. Harus secepatnya."

"Nah, kebetulan, besok tanggal merah. Cocok."

"Ya sudah, mamah atur semuanya. Soal undangan, biar Ayah yang mengabari rekan kerja via online."

"Siap Ayah."

Baiklah, aku bisa tenang. Nadia tak akan datang. Aku pastikan, undangan ini tak akan sampai di telinganya.

*****

Keesokan harinya, anak dan istriku sibuk mengatur pengajian nanti malam. Mulai dari membereskan rumah, memesan catring, dan jajan basah. Sedangkan aku, sibuk di kamar. Pura-pura menyelesaikan pekerjaan. Padahal, aku sedang menghubungi Nadia. pujaan hatiku sedang marah. Dia merajuk tak mau mengangkat telpon.

[Mas sudah kirim 5 juta buat kamu beli jajan. Jangan marah lagi, yah, sayang]

Jurus jitu aku keluarkan. Sebuah pesan dengan foto bukti transfer via m-banking aku kirim.

[Yeh, gitu dong, Sayang. Tapi ini belum cukup membayar kekecewaan aku kemarin. Pokoknya, aku minta kalung berlian.]

Saat jari hendak membalas pesan, Ela masuk kamar tanpa ketuk pintu. Refleks, ponsel aku buang sembarang tempat. Untung, masih jatuh di kasur.

"Ayah, bantuin Mamah sebentar. Sekalian jangan lupa hubungin teman-teman Ayah."

"Iya siap, Mah."

"Ya udah ayok, bantuin dulu. Geser-geserin bangku. Mamah gak kuat. Nanti bahaya kalau lengan jadi berotot."

"Siap Dinda."

Mau tak mau, aku bantu Ela. Mengurus ini dan itu. Waktu tersita begitu banyak. Sampai tak terasa, adzan magrib berkumandang. Aku sudah rapi, menyambut tamu di depan rumah. Ela masih di kamar. Dia belum selesai dandan dari tadi. Sementara, Rekan kerjaku, satu per satu berdatangan.

"Mas, kamu kenapa gak bisa dihubungin. Zahwa sakit apa?" tanya Nadia yang tiba-tiba muncul.

"Dek, kenapa kamu ke sini?"

"Ih, Mas malah balik bertanya."

"Ayah, lagi ngobrol sama siapa?"

Ela mendekat ke arahku dan Nadia. Dia menggandeng mesra tanganku, dan tersenyum ramah pada Nadia. Di sisi lain, Nadia menampakan raut bingung. Matanya menatapku penuh tanda tanya.

"Oh, Ayah lagi ngobrol sama temen kerjanya. Namanya siapa Mbak?" sambung Ela.

"Nadia."

Nadia menampakan raut tak suka. Gawat. Jangan sampai terjadi perang dunia ketiga. Bisa hancur reputasiku. Apalagi, posisi sekarang sedang berkumpul. Jika sampai ada keributan, lalu direkam dan viral, bisa habis riwayatku. Bukan hanya karir yang hancur, tetapi nyawaku diujung tanduk. Bapak tak segan menghajar habis-habisan, kalau perselingkuhan ini diketahuinya.

"Oh, Mbak Nadia. Kenalkan saya, Nurlaila Pertiwi. Panggil saja Ela. Istrinya Ayah Ilyas purnama, kanda tercinta sepanjang hidup dikandung badan, hehehe," cerocos Ela mengulurkan tangan pada Nadia.

"Oh. Kamu Ela."

"Mbak udah kenal saya? pasti suami saya suka ceritain tentang istrinya di kantor, yah. Ih, Ayah soswet banget."

Ela mendaratkan ciuman di pipi kananku. Aku hanya bisa mematung. Pipi Nadia berubah memerah. Mungkin, dia menahan gejolak cemburu.

"Mbak Nadia sendirian aja? suaminya gak diajak?"

"Saya gak punya suami."

"Kemana suaminya, Mbak? dimaling pelakor?"

"Sudah meninggal."

"Ya ampun, kesian banget. Cantik doang, tapi jones. ups, keceplosan. Maafin Mbak, gak maksud menyinggung. Maklum, mulut saya suka kebablasan."

"Mamah." Aku senggol lengan istriku. Sejak kapan dia jadi julid. Mati aku. Nadia semakin menunjukan sorot penuh amarah.

"Hehehe, maaf Ayah. Kebanyakan main sosmed. Jadi, kaya netizen. Ya sudah, ayok Mbak Nadia, masuk-masuk. Udah kesepian, jangan sampai diciumin nyamuk. Tapi gak papa deh, dari pada dicium suami orang. Iya gak Mbak? "

Takut suasana makin panas, aku tarik tangan Ela masuk ke rumah. Nadia mengekor di belakang. Kenapa dia tidak pulang saja? makin runyam urusannya.

"Wih, udah rame. Sayang isinya bapak-bapak sama ibu-ibu," seru Zahwa. Duduk di tengah antara aku dan Ela.

"Hust, jangan gitu."

"Hehehe, canda Mah. Serius banget kaya muka Ayah."

"Hah? kenapa, Nak?"

"Itu ada upil di hidung Ayah."

"Serius? di sebelah mana, Nak?"

Aku raba bagian wajah. Gengsi jika upil menempel dan menyamar bak tai lalat. Bisa-bisa jatuh marwah ku sebagai manejer.

"Hahaha, Ayah mau aja dikerjain anaknya. Upil ya, di dalam hidung. Kalau di mata, namanya belek."

Setelah beberapa menit kemudian, aku baru paham maksud istri dan anakku. Mereka malah cekikikan. Beginilah suasana keluargaku. Penuh canda tawa. Aku yang pendiam, terbawa kecerian anak dan istri. Entah sampai kapan kebahagian ini bisa bertahan.

"Harmonis banget keluarga Pak Ilyas. Anaknya cantik. Apalagi istrinya,keliatan adik kakak sama anak sendiri," celetuk Bu Evi, atasanku.

"Alhamdulilah, Bu."

"Ayah emang sosok orang tua yang baik, Bu. Dia bukan hanya jadi pemimpin, tapi idola. Sikapnya bijaksana, dan tak pernah mengecewakan keluarga. Betul begitu, Ayah?"

"Uhuk, uhuk."

Tenggorokanku mendadak kering. Rasa malu, bercampur sakit begitu terasa. Zahwa begitu membanggakanku di depan semua rekan kerja. Padahal, nyatanya aku hanya seorang ayah yang buruk.

"Minum, Yah. Jangan gerogi gitu dong. Ayahmu suka malu-malu," cengir kuda nampak tulus ditampilkan Ela.

"Beruntung lu, Yas. Punya keluarga bahagia. Gak duda kaya gua. Dijaga, Yas. Sebelum menyesal," imbuh Rafli yang duduk di sampingku.

"Berisik, cuy," bisikku di telinganya.

"Ehem."

Nadia berdehem di pojokan. Matanya awas memandang ke arahku. Diamnya mengisyaratkan kekecewaan yang mendalam.

"Ada yang panas, nih," lirih Zahwa, masih terdengar jelas.

"Kamu ngomong apa, Nak?" tanyaku heran. Anakku seakan mengetahui sesuatu. Sesekali, aku liat dia melirik sinis ke arah Nadia.

"Eh, Pak Ustaz sudah datang," seru istriku membuat Zahwa tak menjawab pertanyaanku.

Ustaz aneh muncul lagi. Kali ini, dia menggunakan Sobran bercorak garis-garis. Dengan Koko warna putih bercampur biru.

Semua rekan kerja sudah duduk melingkar di ruang tamu sampai ruang kelurga. Hampir 50 orang rekan kerja terdekatku datang. Mereka memang sangat menghargaiku sebagai manajer.

Acara pengajian dimulai. Kami mengaji bersama. Dipimpin sang ustaz. Lalu, diikuti kami semua. Rumah ini memang terasa lebih hangat. Setelah ayat suci dilantunkan. Hampir 30 menit, acara mengaji dan doa bersama selesai. Para tamu undangan di persilahkan antri mengambil makanan. Secara tertib, rekan kerjaku beranjak ke sudut ruang keluarga yang cukup luas. Di sana, sudah disiapkan prasmanan dengan aneka menu. Rumahku memang memiliki ruang tamu dan ruang keluarga yang cukup besar. Jadi, leluasa menampung para tamu.

Pukul 21.00, acara makan-makan selesai. Perlahan rekan kerjaku pamit undur diri. Ekor mataku terus menyapu seisi ruangan, mencari sosok Nadia. Aku cari di teras, tapi dia tak ada. Ela juga, tak nampak batang hidungnya. Perasaanku jadi tidak enak.

"Nak, mamah ke mana?"Zahwa sedang mengobrol dengan ustaz. Mereka nampak akrab. Bagai sahabat dekat. Apa mereka sudah saling mengenal sebelumnya?

"Di dapur nemenin temen kerja Ayah."

"Hah? temen kerja yang mana? Pak Rafli?"

"Bukan. Mbak-mbak cantik pokoknya."

"Apa?"

Jantung bergemuruh bak ombak pantai selatan. Gelombangnya begitu menampar hatiku. Rasa gundah gulana mulai memuncak. Jangan- jangan ... yang dimaksud Zahwa adalah Nadia?

"Emang kenapa sih, Yah. Ko, Ayah kaya cemas gitu."

"Gak papa, Nak. Ayah ke dapur dulu." Aku percepat langkah menuju dapur.

Benar kata Zahwa. Mereka berdua sedang berbincang di meja makan. Nadia menampilkan raut yang lebih bersahabat.

"Ma-mah, ngapain di sini."

"Eh, Ayah. Sini Yah. Mamah lagi ngobrol penting sama Mbak Nadia."

Kakiku rasanya berat mendekat. Nadia menunjukan tatapan yang aneh. Oh, semesta, masalah apalagi yang akan datang.

"Ngo-ngobrol apa, Mah?"

"Ayah kenapa gak pernah cerita sama mamah? jahat banget ih," ucap Ela dengan nada kesal.

"Ce-cerita apa, Mah?" Oh Nadia, semoga dia tak cerita hal aneh-aneh pada istriku.

"Cerita kalau Mbak Nadia ini, sahabat ayah sejak SMA. Dia adik kelas ayah 'kan? terus Ayah suka bantuin Mbak Nadia bukain gerbang sekolah kalau dia telat."

"I-iya, Mah. Ayah gak sempet cerita duluan ke Mamah."

"Ya ampun, Si Ayah. Kenapa gak cerita? Seru banget Mamah denger cerita tingkah konyol ayah pas SMA."

Ela menepuk kasar tanganku. Wajahnya memang berseri-seri. Akan tetapi, tenaganya saat memukul seakan sedang kesal. Semoga Ela tak curiga.

"Nadia, lebih baik kamu pulang. Sudah malam."

"Mas ngusir aku?"

"Bu-bukan begitu."

"Ya ampun, kalian kaya anak muda aja, manggilnya. Mas, Mas, segala. Kaya Mas-mas tukang bakso. Tapi bagus juga sih."

"Tentu bagus, La. Suamimu ini akan terasa sepuluh tahun lebih muda, jika dipanggil Mas. Bisa dicoba."

Mulutku terkunci rapat. Kikuk dan salah tingkah.

"Hehehe, Mbak Nadia ternyata bisa ngelucu juga."

"Su-sudah, Mah. Biarkan Nadia pulang."

Jidatku sudah dipenuhi butiran keringat. Tangan sedingin es. Berbeda dengan Nadia, dia malah tersenyum sinis.

"Mbak Nadia mau nginep di rumah kita, Yah. Dia takut di rumah sendirian," jawab Ela. Disambut senyum penuh kemenangan oleh Nadia.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel