Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Begitu terpikir, Zhu Biao langsung bertindak. Ia memotong sepotong besar lemak babi, kemudian meletakkannya ke dalam wajan besi. Perlahan, lemak itu meleleh, berubah menjadi minyak bening yang berdesis halus. Begitu cukup banyak minyak keluar, ia mulai menumis: memotong daun bawang, memasukkannya ke dalam wajan, dan menyalakan api besar untuk meledakkan aromanya.

Kelebihan minyak babi memang tidak bisa disangkal — harum, pekat, dan membawa rasa gurih alami daging. Apalagi bila digunakan untuk menumis sayur, aromanya seakan mengikat setiap helai daun dalam wangi lemak yang menggoda. Tak sampai lama, wangi masakan pun menyebar ke seluruh dapur, lalu perlahan mengalir keluar ke aula utama penginapan.

Ketika aroma itu mencapai ruang depan, ketiga orang yang duduk di meja langsung menatap ke arah dapur dengan wajah terkejut. Sejak tadi, setelah kembali dari luar, Zhu Biao hanya sempat bertanya beberapa hal sepele, lalu tiba-tiba masuk ke dapur tanpa menjelaskan apa-apa. Mereka pikir ia cuma lapar dan ingin mencari sisa makanan. Tapi tak disangka — dari dapur kini keluar aroma masakan tumis yang bahkan lebih harum dari milik Meiwei Xuan!

Ketiganya langsung menelan ludah. Bau wangi itu seakan menggoda jiwa.

Lao Zhou yang paling tak sabar. Begitu hidungnya menangkap wangi itu, ia spontan berdiri dan berlari kecil ke arah dapur. Tepat di saat itu, ia hampir menabrak Zhu Biao yang keluar sambil membawa beberapa piring panas beruap.

“Tu–Tuan Muda... i–ini... ini masakan yang kau buat sendiri?” suara Lao Zhou bergetar. Ia menatap piring-piring itu seperti sedang melihat harta karun.

“Coba saja,” ujar Zhu Biao santai, meletakkan hidangan di atas meja.

Ketiga orang itu menatap hidangan tumis yang masih mengepulkan asap harum dengan wajah tak percaya.

“Ka–Kakak Ketiga... kamu bisa menumis?” tanya Lao Qian terbata-bata, matanya membulat, tapi tangan tak berani menyentuh sumpit.

Paman Fang malah melongo. Ia paling mengenal Zhu Biao — meski secara status hanya petani, sebenarnya ia semacam pengawal pribadi keluarga Zhu.

Selama ini ia tahu Zhu Biao hanya bisa membaca buku dan berdebat, tapi memasak? Itu benar-benar di luar nalar. Ia hanya bisa menatap kosong, campuran antara takjub dan bingung.

“Jangan bengong begitu, ayo cicipi. Aku butuh pendapat kalian,” kata Zhu Biao sambil duduk dan memberi isyarat dengan dagu.

Meskipun baru saja makan di Meiwei Xuan, begitu mencium aroma masakan ini, ketiganya langsung tak tahan lagi. Sumpit mereka bergerak tanpa kendali.

Terutama Lao Qian — baru makan beberapa suap saja, air matanya sudah jatuh, sambil menggumam di antara kunyahan,

“Enak sekali... sangat enak... luar biasa enak!”

Lao Zhou makan beberapa sendok, lalu tiba-tiba berlutut dengan keras di depan Zhu Biao, memeluk betisnya sambil menangis tersedu-sedu,

“Tuan Muda! Tolong ajari aku! Aku mohon, ajari aku menumis seperti ini! Aku ingin belajar!”

“Hey, jangan berlebihan begitu!” seru Zhu Biao panik, berusaha menarik kakinya dari pelukan Lao Zhou. Sudah beberapa hari di zaman ini, tapi tetap saja ia belum bisa memahami cara berpikir orang-orangnya.

“Tuan Muda! Aku bersumpah tidak akan mengajarkannya pada siapa pun. Kalau sampai aku berani menyebarkan rahasia tumisan ini, biarlah aku disambar petir dan mati mengenaskan!” seru Lao Zhou dengan wajah penuh tekad, menatap langit seakan dewa sedang menyaksikannya.

“Baik, baik, tak usah segitunya. Ini cuma... menumis saja, bukan ilmu sihir. Nanti sore aku ajari, sekarang duduk dulu,” jawab Zhu Biao, separuh geli separuh pasrah.

Bagi dirinya, kemampuan memasak yang biasa-biasa ini di masa modern pun paling banter hanya cukup buat buka warung kaki lima. Bahkan restoran kecil pun belum tentu mau mempekerjakannya. Tapi di sini, keahliannya tiba-tiba naik kelas menjadi ilmu langka yang layak diwariskan lintas generasi.

“Terima kasih, Tuan Muda! Terima kasih banyak!” Lao Zhou berkali-kali menundukkan kepala, matanya berkilat penuh rasa syukur.

Di masa ketika orang begitu pelit berbagi ilmu, bisa diwarisi satu keahlian baru adalah anugerah seumur hidup.

Zhu Biao pun menepuk bahunya sambil tertawa. “Sudah, sudah, berdirilah. Asal kamu mau belajar, aku pasti ajari.”

Ketiga orang itu kembali melahap hidangan. Sumpit mereka tidak berhenti bergerak, piring demi piring mulai kosong.

Zhu Biao memperhatikan mereka dengan mata penuh perhatian — seperti sedang melakukan survei pasar modern. Ia menanyai mereka satu-satu tentang rasa asin, gurih, atau lembutnya sayur, berharap mendapatkan sedikit masukan konstruktif.

Namun hasilnya sungguh mengecewakan.

Ketiganya hanyalah rakyat biasa yang hidup pas-pasan; bisa makan daging saja sudah mewah luar biasa. Mana bisa mereka memberi kritik rasa atau saran penyedap.

Yang keluar dari mulut mereka cuma kalimat yang sama berulang-ulang:

“Enak!”

“Lezat sekali!”

“Wah, ini luar biasa!”

Zhu Biao hanya bisa menepuk dahinya dan menghela napas panjang.

“Baiklah... survei pasar gagal total. Tapi setidaknya, aku tahu satu hal — penginapan ini, mungkin benar-benar punya harapan.”

Begitu ketiga orang itu selesai makan, wajah mereka semua tampak berseri-seri penuh semangat.

Lao Zhou senang bukan main — karena kini ia benar-benar bisa belajar cara menumis dari Tuan Mudanya.

Paman Fang tersenyum lebar, merasa bahagia karena artinya penginapan ini masih punya harapan untuk hidup kembali.

Sementara Lao Qian dan Paman Fang yang lain berpikir lebih sederhana — Tuan Muda mereka ternyata punya kemampuan luar biasa! Kalau begitu, ikut di bawahnya pasti hidup mereka juga akan ikut membaik. Ada kerjaan, ada uang, dan yang paling penting: bisa makan masakan enak setiap hari!

Rasa tidak puas karena “dibuang” dari Desa Zhu pun seketika lenyap. Mereka mulai memandang masa depan dengan penuh harapan.

Bahkan Paman Fang yang biasanya pendiam, entah kenapa tiba-tiba senyum-senyum sendiri, membayangkan suatu hari nanti kalau penginapan ini benar-benar sukses, ia bisa punya banyak uang, lalu menikah lagi dan mengambil satu dua selir muda yang cantik, hidup senang sampai tua…

Makin dipikir, makin ia terbuai, dan tanpa sadar, ia malah terkekeh sendiri dengan wajah penuh lamunan.

“Plak! Plak!”

Suara tepukan keras di atas meja memecahkan semua lamunan itu.

Zhu Biao sudah tak tahan lagi melihat wajah tiga pria paruh baya ini tersenyum-senyum seperti orang mabuk. Ia merasa kepalanya berdenyut — pemandangan ini seperti ruang rawat rumah sakit jiwa.

“Sudah cukup berkhayalnya,” katanya tegas. “Sekarang, kita bahas hal penting. Bagaimana cara membuat penginapan ini hidup lagi dan tidak gulung tikar.”

Namun baru saja ia selesai bicara, sebelum siapa pun sempat menanggapi, terdengar suara dari arah pintu depan.

“Heh, kebetulan semua orang ada di sini, ya?”

Mereka menoleh serentak.

Seorang pria paruh baya dengan pakaian seperti tuan tanah — jubah sutra mengilap, perut buncit, wajah licin — melangkah masuk dengan senyum lebar.

Begitu melihatnya, ekspresi Lao Zhou langsung berubah dingin. Ia cepat melangkah maju dan bertanya dengan nada tidak ramah,

“Bos Zheng, mau apa kau datang ke sini lagi?”

“Hahaha, tidak apa-apa, cuma mampir, cuma ingin lihat-lihat,” jawab pria itu santai, masih tersenyum.

Zhu Biao dan yang lain saling berpandangan bingung. Mereka baru tiba di Dongping, jadi tak kenal siapa orang ini. Semua mata pun beralih ke Lao Zhou, berharap ia menjelaskan.

Lao Zhou hanya bisa menghela napas pelan, lalu menjelaskan dengan suara rendah,

“Orang ini adalah Bos Zheng, pemilik Meiwei Xuan — rumah makan baru di seberang jalan.”

Begitu mendengar nama itu, ketiganya langsung mengerti. Sejak Meiwei Xuan buka, penginapan mereka langsung kehilangan pelanggan.

Menurut Lao Zhou, Bos Zheng ini sudah beberapa kali datang — tujuannya jelas: ingin membeli penginapan ini.

Tapi penginapan adalah milik keluarga Zhu, dan Lao Zhou hanya pengurus. Ia tak berhak menjual. Karena itu, setiap kali orang ini datang, ia hanya bisa menghindar dan menolak halus.

Tak disangka, hari ini orang itu datang lagi.

Bos Zheng sudah sangat terbiasa dengan suasana di sini. Tanpa basa-basi, ia langsung melangkah masuk dan tersenyum ke arah mereka.

“Manajer Zhou, ini orang-orang baru?” tanyanya ramah, tapi matanya tajam menilai satu per satu.

“Ini Tuan Muda kami,” jawab Lao Zhou, menunjuk ke arah Zhu Biao. “Dan yang lain adalah—”

Namun Bos Zheng sudah tak tertarik mendengar lanjutan kalimatnya. Begitu mendengar kata “Tuan Muda,” matanya langsung berbinar. Ia cepat maju, menangkupkan tangan hormat sambil berkata,

“Tidak tahu harus memanggil Tuan Muda ini bagaimana?”

“Zhu Biao,” jawab Zhu Biao singkat dan dingin, tanpa basa-basi.

Ia sudah tahu pasti maksud kedatangan orang ini — tak lain adalah ingin merebut bisnisnya.

Setelah susah payah bisa keluar dari Desa Zhu, kini ia justru sedang berusaha membangun sesuatu yang nyata.

Ia bahkan sudah merencanakan: kalau bisnis ini berhasil, ia bisa menampung orang-orang dari desanya untuk bekerja di sini, supaya kelak mereka tidak ikut binasa ketika Liangshan menyerang.

Dengan pikiran seperti itu, mana mungkin ia mau menjual penginapannya begitu saja?

“Bos Zhu, aku rasa Manajer Zhou sudah menyampaikan maksudku,” kata Bos Zheng langsung pada pokok persoalan. Ia sudah malas basa-basi. Dua rumah makan berdiri berseberangan — tak ada gunanya lagi berpura-pura ramah.

“Sudah. Tapi maaf, Bos Zheng datang kali ini percuma. Penginapan ini tidak akan dijual,” jawab Zhu Biao tegas.

“Hehe...”

Bos Zheng hanya tertawa kecil, senyum tipis tanpa makna, lalu memandangi sekeliling ruang makan yang kosong melompong.

Mata dan senyumnya jelas mengandung ejekan — penginapanmu bahkan tak punya pelanggan satu pun, masih mau sombong?

Zhu Biao menangkap makna itu, tapi hanya membalas dengan tatapan datar tanpa sepatah kata.

Namun Lao Zhou yang berdiri di belakangnya justru tak bisa menahan diri.

Dulu ia memang tak berani melawan karena tahu tak punya kemampuan, tapi sekarang beda — Tuan Mudanya bisa menumis, dan bahkan jauh lebih hebat daripada koki di Meiwei Xuan!

Ia langsung membusungkan dada dan berkata dengan suara keras,

“Bos Zheng, Tuan Muda kami sudah bilang tidak akan menjual. Jadi sepertinya kedatangan Anda hari ini sia-sia.”

Bos Zheng mendengar itu, tapi wajahnya tetap tenang. Ia hanya tersenyum tipis, tak terlihat marah. Dalam hatinya, ia tahu — penginapan ini hanyalah mayat berjalan. Ia tak perlu bersilat lidah.

Ia kembali melirik ruang yang kosong, lalu berkata pelan namun tajam,

“Baiklah, kalau begitu, aku akan datang lagi beberapa hari ke depan. Mudah-mudahan saat itu Tuan Zhu sudah berpikir lebih matang.”

Setelah berkata demikian, ia berbalik dan melangkah keluar dengan tenang. Walau gagal membeli, gaya dan sikapnya masih tampak penuh percaya diri, bahkan elegan.

Namun baru saja ia sampai di ambang pintu, tiba-tiba terdengar suara panggilan dari belakang.

“Bos Zheng!”

Langkahnya berhenti. Ia menoleh dengan senyum sopan. “Ada apa, Tuan Zhu?”

“Bukan apa-apa,” jawab Zhu Biao santai. “Hanya ingin memberitahu — dalam beberapa hari lagi, penginapan ini akan buka kembali dengan menu baru. Saat itu, semoga Bos Zheng berkenan datang dan mencicipi.”

“Oh, tentu, tentu,” jawab Bos Zheng dengan tawa lebar. Ia bahkan sempat menangkupkan tangan sopan sebelum pergi.

Namun di dalam hati, ia sama sekali tidak merasa gentar.

Menu baru? Hmph. Di seluruh Kabupaten Dongping, hanya dirinya yang punya koki yang bisa menumis — didatangkan langsung dari Bianjing!

Penginapan di hadapannya? Mana mungkin bisa menyaingi Meiwei Xuan.

Ia melangkah keluar sambil tersenyum puas. Dalam pikirannya, penginapan itu tinggal menunggu ajal — bahkan kalau buka lagi pun, hasilnya hanya perjuangan sia-sia sebelum benar-benar mati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel