Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

Awalnya, Zhu Biao berpikir datang ke sini untuk meneruskan bisnis keluarga, lalu hidup dengan tenang dan nyaman — paling tidak, menikmati hidup seperti anak orang kaya.

Namun kenyataan jauh dari harapan.

Bukan hanya gagal menjadi “generasi kedua yang makmur,” ia malah menjadi generasi kedua yang bangkrut.

Baru saja sampai, penginapan yang harus ia kelola sudah hampir gulung tikar. Kalau ini benar-benar tutup, ia pasti harus kembali ke desa dengan kepala tertunduk malu, menjadi bahan olok-olok para petani. Dan kalau sejarah berjalan seperti dalam kisah Water Margin, sebentar lagi Liangshan akan datang dan membantai seluruh keluarga Zhu.

Kata pepatah, “nasib baik tak datang dua kali, musibah tak datang sendiri.” Tapi dalam kasusnya, bencana datang bertubi-tubi — sampai-sampai pundaknya yang kurus rasanya sudah tak kuat lagi menahannya.

Namun kalau ia tidak mau menerima keadaan, satu-satunya jalan adalah melawan.

Ia harus berjuang membuat penginapan ini hidup kembali.

Zhu Biao sebenarnya hanya ingin hidup damai, makan enak, tidur nyenyak, dan bersantai. Tapi rupanya langit tak mengizinkan. Seolah dunia ini bersekongkol untuk mempermainkannya — tidak puas sebelum membuatnya babak belur.

Keesokan paginya, ia bangun lebih awal, lalu berkeliling di sepanjang jalan utama kota kecil itu. Ia berjalan dari pagi hingga matahari meninggi di tengah langit. Ketika akhirnya kembali ke penginapan menjelang siang, ia melihat ke empat orang di dalam yang tak tahu harus berbuat apa, lalu bertepuk tangan dan berkata,

“Baiklah, urusan lain nanti saja. Manusia itu seperti besi, dan makanan itu seperti baja — kalau tidak makan, bisa mati kelaparan. Ayo makan dulu!”

“Aku yang masak!” kata Lao Zhou sambil menyeka tangannya dan berjalan ke arah dapur.

“Tunggu dulu! Hari ini kita makan di luar,” ujar Zhu Biao, menghentikannya dengan nada tenang.

“Makan di luar? Untuk apa? Bukankah kita ini pemilik penginapan?” tanya Paman Fang kebingungan.

Semua orang memandang Zhu Biao dengan ekspresi aneh.

Mereka menjalankan rumah makan sendiri, tapi malah mau keluar untuk makan di tempat lain — kedengarannya benar-benar lucu.

Namun Zhu Biao tidak peduli sedikit pun pada reaksi mereka. Ia berjalan ke pintu sambil berkata santai,

“Bukankah kalian penasaran, seperti apa rasa ‘masakan tumis’ itu sebenarnya?”

Begitu kalimat itu keluar, semua langsung terdiam.

Tidak ada alasan menolak ketika seseorang mengajak makan enak, apalagi gratis.

Bahkan Lao Zhou pun mengangguk setuju — dia sudah pernah diam-diam makan di Meiwei Xuan, dan masih belum bisa melupakan rasanya.

Sementara Fang dan Qian sudah lama mendengar cerita tentang masakan tumis dari Bianjing, tapi tak pernah mencobanya. Siapa sangka di kota kecil seperti Dongping ini mereka bisa benar-benar makan hidangan “kelas atas” itu? Tentu saja mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Akhirnya, berempatlah mereka pergi menuju Meiwei Xuan.

Begitu sampai, Zhu Biao langsung memesan beberapa hidangan andalan tanpa banyak bicara.

Ketika makanan datang, ia hanya mencicipi sedikit dari setiap hidangan, lalu menyesap tehnya diam-diam.

Sementara tiga orang lainnya makan seperti serigala kelaparan — terutama Paman Fang, yang wajahnya penuh minyak sampai berkilat.

Mereka semua makan dengan tenang, tak ada niat mencari gara-gara. Zhu Biao datang untuk meneliti, bukan untuk bersenang-senang. Begitu selesai makan, mereka pun berdiri dan pergi tanpa menimbulkan kehebohan sedikit pun.

“Kakak ketiga,” tanya Lao Qian sambil menatapnya dengan khawatir, “aku lihat tadi kamu cuma makan sedikit. Apa tubuhmu tidak enak?”

Awalnya ia enggan ikut ke Dongping, karena merasa hidup di desa sudah cukup nyaman. Tapi setelah makan enak gratis, sikapnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.

Seperti kata pepatah, ‘setelah menerima makanan orang, lidah pun jadi tumpul.’

“Benar, benar!” sambung Paman Fang dengan mulut yang masih berkilat minyak. “Kakak ketiga cuma makan beberapa suap lalu berhenti. Apa rasanya tidak enak? Itu kan masakan tumis, makanan yang hanya bisa dimakan oleh kaisar!”

Lao Zhou tidak ikut bicara. Ia berjalan di belakang mereka bertiga dengan wajah suram.

Sebagai seorang koki, ia tahu benar — dirinya tidak akan pernah bisa membuat hidangan seperti itu.

Setelah makan di Meiwei Xuan, lalu membandingkan dengan masakannya sendiri, ia merasa benar-benar tidak ada harapan.

Penginapannya pasti akan tutup, pikirnya. Lebih cepat, lebih baik.

Zhu Biao menatap ketiga orang yang tampak seperti anak kecil baru makan permen. Ia tak tahu harus tertawa atau menangis.

Tadi di Meiwei Xuan, ia sudah mencicipi semua hidangan andalan mereka.

Sejujurnya? Tidak sehebat yang dibicarakan orang.

Masakannya... lumayan, tapi tidak sampai membuat lidah menari.

Ia tahu alasannya: di masa sekarang, bumbu masakan sangat terbatas.

Tak ada kecap, tak ada cabai, tak ada lada Sichuan, bahkan minyak pun jarang.

Dengan bahan-bahan sesederhana itu, sehebat apa pun kokinya, hasilnya tetap hanya “lumayan.”

Kalau restoran seperti ini buka di masa modern, sudah pasti bangkrut dalam sebulan!

Namun melihat tiga orang di depannya yang begitu terpukau — mata berbinar, wajah puas, perut kenyang — Zhu Biao hanya bisa menghela napas panjang dan berkata dengan lembut,

“Menurut kalian... memang seenak itu, ya?”

“Tentu saja! Ini adalah makanan paling enak yang pernah aku makan seumur hidup!” kata Paman Fang dengan wajah penuh kenikmatan, matanya setengah terpejam seperti sedang tenggelam dalam mimpi indah.

Di sisi lain, Lao Qian yang biasanya pendiam kini matanya berbinar terang, mengangguk-angguk cepat menyetujui ucapan Paman Fang. Wajah jujurnya sebagai petani desa kini sudah hilang, berganti menjadi ekspresi murni seorang pecinta kuliner yang baru saja menemukan surga rasa. Sesekali, ia bahkan menoleh ke belakang menatap Meiwei Xuan, seolah masih berharap bisa kembali dan menyantap sepiring lagi. Tak diragukan lagi, sepulang ke desa nanti, ia akan bercerita besar-besaran tentang pengalaman makan “masakan kaisar” ini selama berhari-hari.

Zhu Biao hanya bisa mendengus kecil. Dua orang “bocah desa” ini benar-benar tidak bisa diharapkan. Ia pun menoleh ke arah satu-satunya orang yang mungkin punya penilaian waras — Lao Zhou. Bagaimanapun, lelaki itu sudah bertahun-tahun menjadi juru masak, harusnya punya sedikit kemampuan menilai rasa.

Namun harapannya langsung pupus ketika Lao Zhou dengan wajah serius berkata,

“Menurutku juga enak!”

Zhu Biao langsung menatap kosong ke udara.

Lao Zhou, si koki tua dari kabupaten kecil ini, tentu saja tak punya standar tinggi dalam urusan rasa. Bisa mencicipi masakan tumis saja sudah seperti rezeki besar dari langit — mana mungkin ia masih berani banyak menuntut.

“Ya ampun… aku benar-benar tak tahu kenapa masih menaruh harapan pada kalian,” ujar Zhu Biao sambil menutup wajah dengan tangan.

Ia benar-benar telah melebih-lebihkan selera kuliner orang zaman ini.

Bagi mereka, masakan hanyalah urusan mengukus, merebus, lalu menabur sedikit garam — selesai.

Di ibu kota Bianjing mungkin memang sudah mulai ada penikmat makanan sejati, tapi di daerah terpencil seperti Dongping ini, kebanyakan orang bahkan belum bisa makan kenyang setiap hari. Mana sempat memikirkan rasa, aroma, atau cita rasa tinggi?

Zhu Biao jadi teringat pada komentar di internet yang dulu sering ia baca — orang-orang selalu membanggakan betapa makmur dan berbudayanya ekonomi zaman Song. Tapi sekarang, setelah melihat langsung kehidupan rakyat kecil di masa itu, ia baru sadar: di masyarakat tingkat bawah, dari zaman ke zaman, yang dicari orang tetap sama — asal bisa makan kenyang dan hidup cukup saja sudah bahagia.

Soal “menikmati hidup” atau “mengejar cita rasa”, itu urusan orang yang sudah tidak kelaparan.

Setelah selesai “studi lapangan” hari ini, satu hal jadi pasti:

penginapan ini harus diubah. Tak bisa terus dibiarkan kosong dan sepi begini.

Langkah pertama — ia harus mencoba memasak sendiri.

Setelah kembali ke penginapan bersama tiga orang lainnya, Zhu Biao tak berkata banyak. Ia langsung menuju dapur. Begitu masuk, matanya menyapu seluruh ruangan, menilai bahan-bahan yang tersedia. Lalu tanpa menunggu siapa pun, ia mulai bersiap memasak.

Meskipun di kehidupan sebelumnya ia hanya guru sejarah biasa, tapi sebagai pria lajang yang sudah lama hidup sendiri, memasak adalah kemampuan bertahan hidup yang wajib. Ia tahu cara menumis, merebus, mencuci, dan mengurus rumah.

Bagi orang luar, memasak tampak seperti seni rumit penuh rahasia, padahal dasarnya sederhana: panaskan minyak, masukkan bahan, tumis hingga matang, tambahkan bumbu secukupnya.

Soal rahasia rasa, kaldu istimewa, dan bumbu rahasia restoran besar, tentu ia tak tahu. Di dunia modern saja, itu semua resep rahasia perusahaan. Ia hanya tahu cara membuat masakan rumahan — tapi itu pun sudah cukup.

“Hm, masak apa ya…” gumamnya sambil melihat isi dapur.

Namun baru beberapa detik, kepalanya langsung terasa nyut-nyutan.

Karena setelah memeriksa dengan teliti, ia mendapati sesuatu yang sangat fatal — tidak ada minyak!

Tidak ada cabai masih bisa ditoleransi. Tidak ada lada juga bisa diakali. Tapi tidak ada minyak? Bagaimana caranya menumis?

Mau pakai wajan besi kering? Mau bakar sayur langsung begitu saja?

Ketika matanya terjatuh pada sepotong besar daging babi berlemak yang menggantung di sudut dapur, seketika kepalanya seperti tersambar petir — inspirasi datang!

“Benar juga,” pikirnya, matanya berbinar.

Tak ada minyak nabati, bukankah bisa membuat minyak babi? Bahkan aromanya jauh lebih sedap!

Ia hampir tertawa sendiri.

Kalau orang zaman modern mendengar ini, mereka pasti akan mengomel soal kolesterol dan lemak jenuh.

Tapi di zaman ini, bisa makan kenyang saja sudah merupakan anugerah dari langit.

Mau bicara soal diet dan kesehatan?

Heh… pertama-tama, cobalah agar bisa makan dulu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel