Pustaka
Bahasa Indonesia

Suami Takut Istri Mengguncang Dunia

180.0K · Baru update
wui
114
Bab
441
View
9.0
Rating

Ringkasan

Akhir Dinasti Song Utara — dunia terbakar oleh api. Dari utara, bangsa Jin bangkit seperti badai musim dingin, mengancam perbatasan; dari selatan, pemberontakan Fang La mengguncang negeri; di tengah, pasukan Liangshan mulai menyeru “keadilan bagi rakyat” dengan darah dan pedang. Ini adalah masa ketika pahlawan bermunculan seperti rumput musim semi, namun juga masa paling hina bagi bangsa Han, ketika manusia hidup seperti anjing di bawah langit penjajahan dan ketakutan. Di tengah kekacauan itu, di sebuah desa terpencil di pinggiran Jiaodong, hiduplah seorang lelaki kecil bernama Zhu Biao — seorang biasa, tanpa nama besar, tanpa kekuatan, tanpa ambisi. Tapi nasib menertawakannya: ia bukan orang dari zaman itu. Ia datang dari masa depan, terhempas ke era pedang dan darah ini, hanya membawa sedikit akal, sejumput keberanian, dan banyak kepanikan. Namun masalah terbesarnya bukan perang, bukan kelaparan, bukan bangsa Jin. Masalahnya adalah tunangan sendiri——Hu Sanniang! Gadis legendaris dari pasukan Liangshan itu, cantik, gagah, dan berani — kekuatan bertarungnya cukup untuk memukul jatuh sepuluh lelaki seperti dirinya. Dari hari pertunangan mereka dimulai, Zhu Biao sadar ia telah menjadi suami yang benar-benar takut istri. Bukan karena tidak cinta — tapi karena ia tidak sanggup menang kalau bertengkar. Dengan kecerdikan modern dan nasib konyol yang selalu menempel padanya, Zhu Biao terseret ke dalam pusaran sejarah: pemberontakan Liangshan, serangan bangsa Jin, kejatuhan Dinasti Song, dan kebangkitan para “pahlawan” yang lebih sering berperang melawan sesama sendiri daripada penjajah. Di tengah darah dan api, lelaki kecil yang disebut “Si Timun Kecil dari Jiaodong” ini, dengan segala keterbatasannya, mulai menulis kisahnya sendiri — kisah bagaimana seorang suami yang takut istri bisa menaklukkan dunia dengan akal, humor, dan kesetiaan.

FantasipendekarPengembara WaktuactionpetarungPlot TwistBalas DendamZaman KunoDewasa

1

Ketika Zhu Biao membuka matanya, kepalanya terasa sangat sakit—benar-benar sakit sampai rasanya seperti sedang disayat dari dalam, seolah hidup pun lebih menyiksa daripada mati. Sepertinya semalam ia terlalu berlebihan dalam pesta malam pertamanya; terlalu bersemangat hingga sekarang mabuknya membuat kepala seperti dihantam palu. Ia merasa ingin mati saja, sungguh. Kepalanya berdenyut seperti ada dua orang menarik tali dari kiri dan kanan dengan sekuat tenaga.

Tiba-tiba, ia merasa ada seseorang yang membuka kelopak matanya, lalu menyentuh pergelangan tangannya. Di telinganya terdengar suara tua yang pelan dan berat berkata,

“Orang ini napasnya sudah seperti benang tipis, nadinya kacau dan lemah, pupilnya melebar. Takutnya… umurnya tak lama lagi. Mohon maaf, aku sudah tak berdaya.”

Zhu Biao tertegun. Siapa yang sedang dibicarakan ini? Apa maksudnya dia? Dirinya hanya mabuk, kok langsung dijatuhi vonis mati? Apa-apaan itu “napas seperti benang tipis, nadi kacau, pupil melebar”? Ini periksa dokter atau sedang main drama? Jangan-jangan mereka malah manggil tabib jalanan di taman daripada bawa ke rumah sakit?

Zhu Biao mulai melantur dalam pikirannya, tapi tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita yang panik, “Bagaimana ini bisa terjadi? Tabib, Anda kan terkenal di seluruh daerah! Tolonglah, selamatkan kakak ketigaku!”

“Haah… maafkan aku, nona. Aku benar-benar tak sanggup. Persiapkan saja pemakamannya,” jawab suara tua itu lagi.

Tiba-tiba terdengar tangisan histeris wanita di dekatnya. Entah kenapa, di dalam hati Zhu Biao muncul amarah tanpa alasan. Dokter dungu! Ia cuma mabuk berat, bukan mau mati. Dan kenapa semua orang ini bicara seperti sedang main drama kerajaan? Bisa tidak pakai bahasa normal? Kalau saja ia bukan orang yang suka baca buku, mungkin satu kata pun tak akan ia pahami!

Di tengah suara tangisan dan kegaduhan, seorang wanita mendekat ke sisi tempat tidurnya. Suara jernihnya terdengar jelas di telinganya:

“Kakak ketiga, akulah yang telah melukaimu. Aku, Hu Sanniang, bertanggung jawab atas perbuatanku. Hari ini aku akan menebus nyawaku dengan nyawamu!”

Begitu ia selesai berbicara, wanita itu mengangkat pedang di samping tempat tidur, hendak menorehkannya ke leher sendiri. Tapi tiba-tiba, ia merasa ujung bajunya ditarik. Sebuah tangan keluar dari ranjang, menggenggam ujung bajunya dengan erat. Ia menunduk mengikuti arah tangan itu, dan melihat Zhu Biao sedang menatapnya dengan mata terbuka, berusaha keras untuk berbicara. Bibirnya bergerak, tapi tak keluar satu suara pun.

“Kakak ketiga, apa kamu ingin bicara?” tanya wanita itu, berlutut di sisinya, air mata masih menggenang di matanya.

“Aku... aku...” Zhu Biao berusaha membuka mulut. Tubuhnya lemah sekali, ruangan pun ramai tak karuan, dan sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata, suaranya sudah tenggelam oleh tangisan para wanita di dalam ruangan.

“Diam semuanya! Kakak ketiga mau menyampaikan pesan terakhir!”

Wanita itu berteriak lantang. Ia mendekatkan telinganya ke bibir Zhu Biao, ingin mendengarkan dengan jelas, tapi tetap saja hanya terdengar isak tangis dari berbagai arah. Akhirnya ia tak tahan dan berteriak lagi dengan suara keras, membuat semua orang langsung terdiam.

Ruangan mendadak sunyi. Zhu Biao pun merasa kepalanya tak seberat tadi. Suara berisik itu hilang, nyeri di kepalanya pun agak reda. Ia menelan ludah dengan susah payah, lalu menatap semua orang yang kini menunggunya bicara. Perlahan, ia melepaskan genggamannya pada ujung pakaian Hu Sanniang dan dengan suara serak bergetar berkata,

“Aku... aku rasa aku masih bisa diselamatkan. Bagaimana menurut kalian?”

————————————————————————————————————————————

Zhu Biao kini duduk di atas sebuah batu di pinggir jalan, melihat para petani yang sibuk bekerja di ladang. Semuanya terasa begitu aneh. Jika pikirannya masih waras, maka satu-satunya penjelasan adalah—ia telah menyeberang waktu. Ya, ia mungkin benar-benar telah terlempar ke masa lalu.

Namun memikirkan hal konyol seperti itu terjadi pada dirinya sendiri, ia malah merasa bersyukur karena belum gila. Entah kenapa, tiba-tiba ia teringat pada kalimat populer di internet:

“Sejak aku kena gangguan jiwa, sarafku justru jadi lebih tenang!”

“Kakak ketiga, melamun lagi?”

Seorang wanita di atas kuda menatapnya heran.

“Haah…” Zhu Biao tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menghela napas panjang penuh keputusasaan.

“Kakak ketiga, lukamu sudah sembuh belum? Kalau sudah, bagaimana kalau kita berlatih tanding lagi?” tanya sang wanita dengan mata berbinar penuh semangat.

Sudut mata Zhu Biao sedikit berkedut. Ia segera berdiri, membungkuk sopan sambil berkata cepat, “San Niang, tubuhku masih belum pulih sepenuhnya, aku perlu beristirahat. Aku... aku pulang dulu untuk berbaring.”

Wanita itu mendengus pelan, mulutnya bergumam, “Penakut.” Setelah itu, ia menarik tali kekang kudanya dan melesat pergi, kuda yang ia tunggangi berlari cepat hingga bayangannya pun lenyap di antara ladang.

Melihat punggung wanita itu menghilang, entah mengapa Zhu Biao merasa ingin menangis.

Apa dosa yang telah ia perbuat hingga bernasib begini?

Padahal dulu ia hanya seorang guru sejarah biasa. Dengan susah payah, ia berhasil menabung cukup lama untuk membeli rumah. Ia bahkan sudah melewati banyak proses perjodohan hingga akhirnya bertemu dengan seorang gadis yang mau menikah dengannya. Saat akhirnya ia menikah, usianya sudah tiga puluh dua tahun—seorang perjaka tua yang sudah lama ingin menutup babak kesendiriannya. Hanya mengingatnya saja sudah membuat hatinya ngilu.

Akhirnya tiba juga hari pernikahan itu, hari di mana ia mengira hidupnya akan berbalik lebih baik—bisa berumah tangga dan “naik kelas” dari kesepian. Tapi karena terlalu gembira, ia mabuk berat. Ia bahkan tak tahu sudah minum berapa gelas arak malam itu. Hasilnya: ia mati karena mabuk.

Begitu membuka mata lagi, ia sudah berada di dunia ini.

Hidupnya seperti sebuah meja teh yang penuh dengan “cangkir” tragedi dan “peralatan makan” malapetaka. Semua jenis kesialan tersaji lengkap di atasnya.

Hidup memang begini—yang baik jadi semakin baik, yang buruk malah semakin buruk. Setelah masa kebingungan yang panjang, akhirnya ia mulai memahami siapa dirinya sekarang.

Namanya Zhu Biao—sama persis dengan nama di kehidupan sebelumnya, hanya berbeda huruf. Dulu ia bernama Zhu Biao dengan huruf “標” yang berarti tanda atau simbol, sedangkan kini hurufnya berubah jadi “彪” yang berarti garang atau buas. Artinya saja sudah jauh berbeda—dan lebih buruk lagi, ia sadar bahwa dirinya sekarang adalah Zhu Biao dari Desa Keluarga Zhu di Gunung Dulong, tunangan dari Hu Sanniang, yang nanti akan diselingkuhi oleh Wang Ying si Harimau Kaki Pendek, lalu dibunuh oleh para pahlawan Liangshan!

Ia hampir tak bisa menahan diri untuk menjerit.

Di kehidupan sebelumnya, ia adalah penggemar berat kisah Water Margin (Kisah 108 Pendekar Liangshan). Ia mengagumi para jagoan Liangshan hingga ke tingkat fanatik—tapi bukan berarti ia ingin benar-benar mati di tangan mereka! Mengagumi seseorang bukan berarti siap dipenggal oleh idolanya, kan?

Sekarang, pedang para jagoan Liangshan sebentar lagi akan benar-benar mendarat di kepalanya, dan istrinya bahkan akan dibawa pergi oleh si Harimau Kaki Pendek untuk dinodai. Apa dia harus berseru dengan bangga, “Bagus! Tebasan yang indah! Diselingkuhi dengan sempurna!”?

Zhu Biao menepuk-nepuk kepalanya yang semakin nyut-nyutan. Situasinya sungguh gawat. Ia hanyalah seorang guru sejarah biasa—tidak punya sedikit pun kemampuan bela diri. Setelah terlempar ke dunia ini, ia bahkan tidak mewarisi ingatan Zhu Biao yang asli. Yang lebih parah, Hu Sanniang—si tunangan tangguh itu—tiap hari datang menantangnya untuk “berlatih tanding.”

Ia sekarang seperti juara renang yang kehilangan ingatan tentang cara berenang: kalau disuruh terjun ke air, hasilnya cuma satu—mati tenggelam.

Lebih ironis lagi, ia mendengar kalau Zhu Biao yang asli memang mati karena tertampar di kepala saat berlatih dengan Hu Sanniang! Jadi kalau ia ikut berlatih lagi, bukan mustahil nasibnya bakal sama.

“Ya Tuhan, Kau sebenarnya mau aku bagaimana?!” Zhu Biao menengadah ke langit, air mata mengalir di pipinya.

“Kakak ketiga mulai kumat lagi!”

“Kakak ketiga jangan-jangan sudah jadi bodoh karena dipukul?”

“Sejak Kakak ketiga sadar, dia memang terus seperti ini.”

“Diam! Pelankan suaramu!”

Melihat Zhu Biao berjalan gontai melewati mereka menuju rumah besar keluarga Zhu, para petani yang berbisik cepat-cepat menutup mulut. Mereka semua menatap punggungnya yang lesu sampai ia benar-benar hilang di kejauhan.

Akhirnya, seseorang tak tahan lagi dan berbisik, “Kalian tahu tidak, apa yang dikatakan Kakak ketiga beberapa hari lalu?”

“Tahu, tentu tahu! Sekarang seluruh Gunung Dulong tahu!”

“Apa? Apa yang dia bilang?” bisik yang lain penasaran.

“....”

Suasana hening sejenak. Lalu seseorang membuka mulut dan berkata, menirukan kalimat itu dengan nada dramatik,

“Aku... aku rasa aku masih bisa diselamatkan!”

“.....”

Keheningan sesaat, lalu—

Tawa pecah serentak. Gelak tawa keras menggema di seluruh Desa Keluarga Zhu, bergema hingga ke Desa Keluarga Hu dan Desa Keluarga Li, lalu menyebar ke seluruh Gunung Dulong.

Semua orang kini tahu tentang “Kakak ketiga yang masih bisa diselamatkan.”