Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Mentari senja perlahan tenggelam di ufuk barat. Setelah berteriak sepanjang hari, serangga cicada di pepohonan akhirnya berhenti bernyanyi, suasana menjadi jauh lebih tenang. Di bawah rindangnya pepohonan di sepanjang jalan, beberapa petani duduk jongkok beristirahat, sementara jalanan tampak ramai oleh orang yang keluar dan masuk kota. Beberapa anak kecil berlari-larian sambil tertawa riang, pemandangan yang tampak damai dan tenteram.

Seiring matahari merosot semakin rendah, di kejauhan muncul perlahan sebuah kereta kuda. Derap langkah kuda yang mantap terdengar ritmis di atas jalan tanah. Tirai kereta tersingkap, seorang pria muda menoleh ke luar dengan wajah penuh semangat, lalu berseru pada lelaki paruh baya di luar kereta,

“Paman Fang, kita sudah sampai belum?”

Lelaki paruh baya itu mengusap keringat di dahinya, memandang ke depan, ke arah gerbang kota yang tampak reyot dan penuh tambalan, lalu tertawa kecil,

“Kakak ketiga, kamu ini bukan pertama kali masuk kota. Kenapa selalu seperti orang baru datang ke dunia?”

“Paman Fang, kali ini berbeda! Sekarang aku datang untuk mengurus bisnis!” kata pria muda itu sambil menegakkan dada, penuh kebanggaan.

“Hehehe... mengurus bisnis, ya?” Lelaki paruh baya terkekeh pelan, nada suaranya terdengar sedikit menggoda.

Namun pria muda itu berpura-pura tidak mendengar. Ia melompat turun dari kereta, melangkah di atas jalan tanah. Di zaman tanpa semen ini, ketika angin bertiup kencang, debu langsung beterbangan dan menampar wajah, memaksa orang untuk menyipitkan mata agar bisa tetap berjalan.

Rombongan ini tidak lain adalah Zhu Biao dan dua orang pengikutnya yang datang dari Desa Zhu. Ya, Zhu Biao—orang yang belakangan ini menjadi bahan tertawaan seisi desa. Karena tidak disukai oleh ayahnya, Zhu Chaofeng, ia malah “dibuang” ke Kabupaten Dongping untuk mengurus urusan bisnis keluarga. Tapi, bagi Zhu Biao sendiri, ini justru seperti keberuntungan yang terselubung. Ia sudah lama mencari alasan untuk keluar dari desa, dan siapa sangka hanya karena satu kalimat yang salah ucap, ia akhirnya benar-benar dikirim ke luar. Rupanya ia masih meremehkan betapa besar harga diri para “pendekar” di zaman ini.

Dua orang petani yang menemaninya masing-masing bermarga Fang dan Qian. Keduanya katanya orang lama di Desa Zhu, dikenal cekatan dan berpengalaman. Namun sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara, wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda “cekatan.” Ini membuat Zhu Biao merasa nelangsa. Dalam kondisi sekarang, ia ibarat orang buta yang harus dituntun di dunia baru ini—banyak hal yang perlu ia pelajari dan tanyakan—tapi melihat dua orang ini, rasanya seperti ia sedang diantar jalan-jalan oleh dua pengasuh yang tidak mau repot, bukannya bekerja sama membangun bisnis.

Mereka melewati kerumunan orang dan menyeberangi gerbang kota yang setengah runtuh. Di dalam, yang terlihat hanyalah deretan rumah rendah dan kumuh. Zhu Biao menghela napas panjang. Disebut “kota kabupaten,” tapi ukurannya hanya sebanding dengan desa besar di masa modern, hanya saja jumlah rumahnya lebih banyak.

Kereta terus berjalan sampai ke sebuah jalan yang tampak lebih ramai. Di sana orang berlalu-lalang tanpa henti, toko-toko berjajar di kedua sisi jalan, dan suara pelayan toko yang berteriak memanggil pembeli bergema di udara—ini pasti kawasan perniagaan utama.

Akhirnya, kereta berhenti di depan sebuah bangunan dua lantai. Zhu Biao menatap papan besar di atas pintu bangunan itu. Dua huruf besar tertulis dengan tinta hitam tebal: “酒楼” (Penginapan).

Ia terdiam lama. Nama yang... luar biasa sederhana dan to the point.

“Paman Fang,” tanya Zhu Biao akhirnya, menunjuk papan itu, “siapa yang memberi nama seperti ini?”

“Tentu saja Tuan Besar yang menamainya,” jawab Fang dengan bangga. “Bahkan dulu beliau rela mengeluarkan uang untuk meminta seorang sarjana menulis huruf-huruf itu.”

“……”

Zhu Biao hanya bisa terdiam. Di zaman ini, di mana ‘segala sesuatu rendah, hanya belajar yang mulia’, orang-orang biasa memandang kaum terpelajar seperti dewa. Melihat wajah penuh kekaguman Paman Fang saat menyebut nama “sarjana,” Zhu Biao jadi semakin yakin. Padahal cuma dua huruf sederhana, dan yang menulis pun bukan tokoh terkenal—hanya seorang sarjana tingkat rendah—tapi sudah cukup untuk membuat Fang memandangnya dengan penuh hormat.

Ia teringat betapa susah payahnya ia membujuk Fang untuk ikut ke Dongping. Kalau tahu begini, lain kali ia juga harus menyamar jadi “orang berpendidikan,” pikir Zhu Biao dalam hati.

Begitu mereka masuk ke penginapan itu, Zhu Biao langsung merasa ada yang aneh. Tempatnya kosong melompong. Tidak ada satu pun pelanggan di meja mana pun. Padahal sekarang sudah waktunya makan malam! Bagaimana mungkin tidak ada pengunjung sama sekali? Sepertinya tempat ini sudah di ambang kebangkrutan.

Yang membuatnya makin kesal, setelah mereka bertiga masuk, tidak ada seorang pun yang menyambut. Tidak ada pelayan, tidak ada pemilik, bahkan suara langkah pun tak terdengar. Zhu Biao menoleh ke sekeliling, mencari-cari, tapi tetap tak melihat bayangan manusia satu pun.

Ia berdiri di tengah ruangan kosong itu, dikelilingi meja dan kursi kayu yang berdebu, lalu dalam hati hanya bisa menjerit,

“Luar biasa... ini bahkan lebih sepi daripada perpustakaan sekolahku dulu!”

“Orangnya mana? Hei, ada orang tidak di sini?”

Zhu Biao akhirnya tak tahan juga. Bagaimanapun juga, ini nanti akan menjadi usahanya sendiri — kalau karyawan bersikap malas begini, harus ada yang dipotong dari gajinya! Dalam hati, Zhu Biao sudah diam-diam merencanakan “sistem hukuman” di era yang bahkan belum punya sistem gaji seperti itu.

“Lao Zhou! Lao Zhou!”

Paman Fang pun ikut berteriak memanggil. Karena ini memang milik keluarga Zhu, ia kadang-kadang pernah datang sebelumnya, jadi cukup akrab dengan pengurus tempat ini. Melihat penginapan itu sunyi seperti kuburan, ia pun tak tahan bersuara lantang.

“Datang, datang!”

Suara berat dan serak terdengar dari arah dapur. Beberapa saat kemudian, muncullah seorang pria gemuk berperut buncit, mengenakan topi khas orang kaya, langkahnya terhuyung-huyung tapi penuh semangat. Begitu melihat Fang, wajahnya langsung sumringah.

“Paman Fang! Kau datang juga! Sudah lama sekali tak bertemu!” katanya dengan suara riang.

Paman Fang tertawa sambil menepuk pundaknya, lalu memperkenalkan, “Ini Tuan Muda Ketiga. Mulai hari ini, penginapan ini akan diurus oleh beliau.”

“Ah, jadi ini Tuan Muda!” kata Lao Zhou sambil tersenyum lebar — senyumnya begitu lebar hingga seluruh wajahnya seperti berubah jadi sebutir bakpao besar.

Zhu Biao mengangguk ringan, lalu menunjuk ke ruangan kosong di sekelilingnya dan bertanya, “Lao Zhou, ini apa maksudnya? Kenapa sepi begini?”

“Ahh…” Lao Zhou langsung menghela napas panjang. Setelah itu, ia pun perlahan menjelaskan asal-usul masalahnya.

Ternyata bukan karena hal aneh atau kutukan, melainkan karena persaingan bisnis. Di seberang jalan, hanya miring beberapa langkah dari penginapan mereka, baru saja dibuka sebuah tempat baru sebulan lalu — namanya Meiwei Xuan (“Paviliun Cita Rasa”). Dengar-dengar, kokinya didatangkan langsung dari ibu kota Bianjing, seorang ahli masakan terkenal. Katanya masakannya begitu luar biasa hingga aromanya bisa menyebar sejauh sepuluh li! Sejak hari pertama buka, orang-orang langsung berbondong-bondong ke sana. Dalam waktu sebulan, dengan keunggulan warna, aroma, dan rasa, tempat itu meledak popularitasnya. Semua pelanggan lebih rela antre lama di Meiwei Xuan daripada makan di penginapan lama ini.

“Ah, masa sehebat itu?” tanya Zhu Biao, mencoba mencium-cium udara sekitar — tapi tak mencium aroma apa pun selain debu.

“Sehebat itu?” Lao Zhou menatap kosong ke depan, suaranya penuh kenangan manis. “Tuan Muda, itu masakan tumis! Hanya para pejabat tinggi di Bianjing yang bisa mencicipinya…”

Nada suaranya terdengar seperti orang yang pernah “mencicipi dosa.” Dari wajahnya saja, jelas ia sudah beberapa kali diam-diam makan di Meiwei Xuan.

“Cuma masakan tumis saja, masa bisa separah itu?” ujar Zhu Biao tanpa sadar, lalu tiba-tiba tertegun.

Ia baru ingat: teknik menumis baru muncul di zaman Dinasti Song dan baru benar-benar populer di kalangan rakyat jelata pada masa akhir Dinasti Ming. Pada masa ini, rakyat kebanyakan bahkan belum bisa makan kenyang, apalagi punya cukup minyak untuk menggoreng makanan!

Menyadari hal itu, Zhu Biao hanya bisa menggeleng pasrah. Apa yang di dunia modern dianggap hal biasa, di sini justru seperti keajaiban. Ia tiba-tiba merasa hidup di masa depan benar-benar sebuah berkah. Ia bergumam dalam hati, “Kalau sekarang wartawan CCTV datang mewawancara aku, aku pasti akan berteriak: Aku sangat bahagia hidup di Tiongkok modern!”

“Urusan penginapan ini nanti saja,” katanya akhirnya sambil meregangkan badan. “Sekarang tolong atur tempat kami beristirahat dulu.”

Hari itu mereka bertiga sudah menempuh perjalanan jauh dengan kereta kuda. Fang dan Qian — dua petani yang menemaninya — sama sekali tak terlihat lelah, mungkin sudah terbiasa dengan kerja keras di ladang. Tapi bagi Zhu Biao yang tubuhnya tak terbiasa dengan perjalanan semacam ini, seluruh badannya serasa remuk redam. Ia hanya ingin rebah di tempat tidur dan tidur tanpa mimpi. Segala urusan nanti saja setelah bangun.

Mereka makan seadanya malam itu. Setelah tempat tinggal diatur, Zhu Biao langsung menjatuhkan diri ke ranjang dan tidur nyenyak sampai matahari tinggi di langit.

Ketika ia akhirnya bangun, sinar matahari sudah menembus jendela. Setelah beres membersihkan diri, ia turun ke lantai bawah. Melihat deretan meja dan kursi kosong di ruang utama, ia hanya bisa menarik napas panjang.

“Tidak bisa begini,” gumamnya, “kalau terus seperti ini, kita semua benar-benar akan makan tanah.”

“Tuan Muda sudah bangun?” suara Lao Zhou terdengar dari dekat. Ia sedang mengelap meja dengan lap kain, lalu tersenyum ramah menyambut.

“Lao Zhou, di sini cuma ada kamu seorang?” tanya Zhu Biao. Sejak semalam ia sudah curiga, tapi terlalu lelah untuk bertanya. Kini setelah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa bahkan pelayan pun tak ada, ia tak bisa diam saja.

“Dulu masih ada satu pegawai,” jawab Lao Zhou sambil menghela napas panjang. “Tapi karena bisnis sepi, dia sudah kupecat. Kalau begini terus, aku juga sebentar lagi harus berkemas pulang.”

“Tenang saja, semuanya akan membaik.” Zhu Biao menepuk pundaknya pelan.

“Mm.” Lao Zhou mengangguk, tapi jelas dari matanya, ia menganggap ucapan itu hanya sekadar kata penghiburan belaka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel