Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rumah Ezra Davendra

"Itu tempat pakaian yang khusus untuk kamu dan di sana punya saya," tunjuk Ezra. Setelah melepaskan genggaman tangannya, Sayna merasa ada yang hampa. Ezra menjelaskan sedikit info dari setiap sudut kamarnya yang sangat luas tersebut pada Sayna.

Setelah itu, Sayna ditinggalkan sendiri karena Ezra sudah merebahkan tubuhnya di ranjang. Acuh dengan keberadaan Sayna yang lupa untuk diapakan. Wanita itu termenung, duduk di sofa yang tersedia. Dia juga tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Masa iya harus ikut tidur di ranjang suaminya?

Memilih untuk ikut-ikutan acuh, Sayna mengambil ponsel. Ternyata sepi notifikasi. Apa keluarganya tidak khawatir dengan anak gadisnya yang dibawa pergi oleh pria asing? Kenapa mereka tidak mengirim pesan atau sekadar menanyakan keadaannya? Seketika Sayna merasa menjadi manusia yang sudah terbuang. Semua yang terjadi dalam hidupnya sungguh di luar ekspektasi.

Lihatlah, betapa malangnya nasibmu, Sayna.

Setelah merenungi nasib mengingat keluarga, Sayna membereskan pakaiannya. Memindahkan semua pakaian dari koper ke dalam lemari yang sudah tersedia. Ternyata Ezra sudah menyiapkan ruang wardrobe khusus untuknya yang berada bersebelahan dengan milik Ezra sendiri.

Pakaian yang tidak seberapa itu sangat sebentar untuk Sayna memindahkannya. Karena ia memang hanya membawa beberapa helai pakaian untuk ganti selama di hotel, tidak menyangka Ezra akan membawanya pulang secepat ini. Semua barang-barangnya masih berada di rumah Danuarta-ayahnya. Mungkin baru besok, Sayna akan izin pada Ezra untuk mengambilnya.

"Ya, Tuhan ... bosan banget," gumam Sayna, menghempaskan tubuh untuk kembali duduk di sofa.

Selesai dengan pakaian, ia kembali terdiam. Ingin keluar kamar juga tidak bisa. Ezra sudah memperingatinya untuk tidak keluar dulu, kalau ia tidak mengajaknya. Laki-laki itu tidak membolehkan Sayna untuk berinteraksi dengan siapa pun di rumah itu, terutama ibu dan adiknya yang akan banyak mengoceh. Sayna memang harus banyak berinteraksi dengan mereka untuk beradaptasi, namun Ezra bilang, lebih baik dia diam di dalam kamar.

Diam dan hanya menunggu Ezra yang pulas tertidur, maksudnya? Sekarang dia ragu, apa fungsinya bagi Ezra? Mungkinkah hanya seorang pengawal? Menyebalkan!

Lama-lama Sayna muak dengan keadaan. Jiwanya berontak untuk bertindak lebih gila lagi, ketimbang hanya terdiam seperti ini.

"Ez." Dia memberanikan diri untuk beranjak ke dekat ranjang, mengguncang tubuh suaminya. Ezra hanya bergumam dan malah memunggungi Sayna. Laki-laki minim ekspresi itu sungguh membuatnya jengkel. "Ezra, bangun!"

Tidak peduli siapa yang dia guncang, Sayna semakin berani menggoyangkan tubuh Ezra dengan kasar sampai suaminya berbalik lagi dan membuka mata. "Kenapa?"

Sayna meneguk ludah. Suara Ezra ketika bangun tidur ternyata sangat seksi. Serak-serak berdahak gimana gitu. "Aku bosan. Boleh keluar, kan?" Dia juga tidak tahu punya keberanian dari mana sampai bicara seperti itu.

Ezra malah mengernyit melihat padanya, terlihat masih sangat mengantuk.

"Aku bosan, sumpah!" Sayna cemberut sudah seperti anak kecil merengek pada ayahnya. "Boleh, kan?"

"Tidak. Diam di sini sampai jam makan malam tiba."

Gila! Sayna melirik jam di dinding, masih butuh sampai empat jam lagi untuk sampai di waktu itu. Dia sudah bosan, tidak mungkin selama itu hanya menyaksikan suaminya tidur, kan?

"Ez, aku keluar aja, ya? Sebentar, deh. Janji."

"Tidak." Ezra malah kembali memejamkan mata.

Sayna tambah sebal. Dengan usilnya dia mengusap rahang Ezra yang bersih dan tegas. Seketika mata Ezra membuka sempurna, menatap Sayna seperti penjahat.

Bukannya merasa bersalah, Sayna semakin berani untuk bertindak konyol. Dia mendekatkan wajah pada Ezra, tersenyum miring melihat mata suaminya hampir melompat.

"Aku keluar, ya?" bisik Sayna pelan, embusan napasnya menerpa wajah Ezra. Jarak mereka sangat dekat, hanya beberapa senti. Sayna langsung diserang gugup melihat jakun suaminya bergerak. Ezra tetaplah pria normal yang bisa menerkam kapan saja. Apalagi jika teringat semalam, Ezra yang mengajaknya bercinta. "B-boleh, kan?"

Ezra tidak menjawab apa pun. Tangannya bergerak untuk mendorong tubuh Sayna secara halus. Dia pasti tidak nyaman atas sikap Sayna yang berlebihan barusan.

"Boleh, kan?" Sayna tidak juga menyerah. Meskipun Ezra sudah menolak tubuhnya untuk mendekat, setidaknya dia berhasil mendapatkan apa yang dia mau.

"Pergilah! Hanya sebentar dan jangan melakukan apa pun yang macam-macam."

Tentu saja Sayna senang. Dia tersenyum manis dan segera beranjak dari kamar. Mencari udara segar, sekalian belajar mengenal setiap orang yang berada di rumah tersebut.

Orang pertama yang dia termui adalah adik iparnya yang sedang bergoyang sambil merekam diri sendiri, diiringi musik khas aplikasi yang sedang trend saat ini.

Queena menghentikan gerakannya saat melihat Sayna. Ia nampak heran melihatnya turun dari tangga (meski sempat tersesat karena tidak tahu arah rumah besar tersebut), Sayna menyunggingkan senyuman dibuat senatural mungkin. "Hai?"

"Hai ...." Queena tidak seceria biasanya. Gadis itu melihat Sayna dari atas kepala sampai ke alas kaki. "Kenapa Kakak udah turun? Mantap-mantapnya sudah selesai?"

Sialan! Apa semua orang berpikir ia dan Ezra melakukan itu di kamar? Salah Ezra juga yang tadi bilang tidak mau diganggu. Sekarang Sayna paham kenapa suaminya melarang untuk keluar dari kamar. Mereka seharusnya memainkan sandiwara, seolah sedang panas-panasnya menjadi pasangan pengantin baru.

"Kamu Queena, ya? Salam kenal lagi, boleh, kan?" Sayna mengulurkan tangan pada gadis itu. Sebelumnya mereka juga pernah berkenalan, namun saat itu Sayna setengah sadar. Dia ingat-ingat lupa dengan adik suaminya. "Aku pengin tahu kalian lebih jauh lagi. Tahu sendiri 'kan gimana aku menikah sama kakak kamu." Dia terkekeh pelan. Merutuki kegilaan latar belakang pernikahannya.

Queena memang gadis yang baik. Dengan senang hati ia menerima uluran tangan dari Sayna, lalu mereka mengobrol banyak hal di ruang keluarga. Beruntungnya, saat itu Melia sudah pergi bertemu temannya, kata Queena. Sehingga Sayna bisa sedikit santai dengan gadis remaja yang ceplas-ceplosnya melebihi lambe ibu-ibu.

"Kak Ezra pasti capek bikin gempa lokal dari semalam, makanya sekarang tidur nyenyak, ya." Gadis itu tertawa puas, membayangkan bagaimana gempa lokal yang terjadi di hotel, tepatnya di kamar pengantin baru semalam. Padahal tidak terjadi apa pun, tapi semua orang memang berpikir Sayna dan Ezra sudah menghabiskan malam bersama. "Kasihan ranjangnya, tauk. Pasti langsung renyot karena gempa yang kalian buat."

Mau tidak mau Sayna ikut tertawa atas perkataan Queena yang semakin gila dengan pemikiran yang semakin nyeleneh. Mana ada gempat lokal, jika mereka tidur berbeda tempat.

Sepertinya gadis itu sudah tumbuh melebihi umurnya yang baru 17 tahun. Dari gaya bicara dan cara dia berinteraksi dengan Sayna, Queena nampak luwes dan ramah. Sangat asyik diajak ngobrol, sesuai dengan kepribadian asli dari Sayna. Sepertinya dia akan betah berada di rumah itu, karena dari percakapan hari ini dengan Queena, dia mendapatkan teman baru yang lebih asyik diajak ngobrol. Daripada suaminya yang dingin itu.

"O, iya, Kak." Queena semakin mendekatkan duduknya berdempetan dengan Sayna. Gadis itu berbisik di telinga Sayna dengan nada menggoda yang memang sudah sejak tadi ia tunjukkan. Sekarang wajah usilnya berubah jadi semakin serius.

Sayna sudah harap-harap cemas menantikan hal apa yang akan keluar dari mulut tipis adik iparnya.

"Malam pertama itu rasanya gimana, sih? Sharing, dong. Siapa tahu nampah inspirasi, gitu."

Ya, Tuhan ... ternyata Queena cukup menakutkan, untuk dijadikan teman. Sepertinya Sayna telah salah menyimpulkan sikapnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel