Kaku Macam Kanebo Kering
"Turun. Makan siang."
Sayna terperanjat kaget dari duduknya. Tiba-tiba saja Ezra bersuara, ketika ia sedang asyik berselancar di sosial media dalam ponselnya. Sedang enak-enaknya bersantai sambil rebahan, Ezra malah mengganggu. Tapi, tak apa. Setidaknya, di antara mereka ada percakapan, meski hanya sekali dalam rentang waktu lima jam berlalu.
Buru-buru Sayna bangun dari ranjang, menyimpan ponsel di atas nakas dan segera merapikan diri. Dia kira Ezra akan pergi duluan, tapi ternyata laki-laki itu terdiam di depan pintu menunggunya dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku dan satu lagi memegang handle pintu.
"Yuk!" Sayna melupakan rasa malunya, malah melingkarkan tangan di lengan suaminya. Tubuh Ezra terasa menegang dan kaku seketika seperti kanebo kering. Sayna mendongak untuk melihat wajahnya. "Kenapa?"
Ezra sama sekali tidak memberikan ekspresi apa pun, hanya diam saja melihat tangan Sayna yang melingkar di lengannya. Sayna tentu saja sudah memutuskan urat malu dan malah semakin mengeratkan tangannya. Dia tersenyum lebar pada Ezra dan kembali mengajaknya untuk segera pergi.
Bisa didengar oleh Sayna, ketika Ezra mengembuskan napasnya kasar, lebih terdengar sepertinya dia tidak suka, namun harus pasrah karena Sayna sekarang adalah istrinya. Perkembangan yang bagus. Mereka berjalan beriringan keluar dari kamar menuju ke tempat makan yang katanya sudah disiapkan khusus untuk mereka. Jangan berpikir karena mereka pengantin baru, tapi karena-tanpa sepengetahuan Sayna sebelumnya-hotel yang dia reservasi untuk pernikahan dua bulan yang lalu ini, ternyata milik seorang Ezra Davendra. Mereka juga menempati kamar mewah yang dikhususkan hanya untuk pemilik hotel.
Beruntung sekali Sayna mendapatkan pengganti yang kaya raya. Ezra memang berasal dari keluarga terpandang yang sudah tidak diragukan lagi kekuasaannya sebanyak apa. Yang selalu menjadi pertanyaan Sayna adalah kenapa laki-laki itu mau menikah dengannya yang bahkan tidak ia kenali?
"Ez."
Sayna merengut ketika Ezra melepaskan tangannya dan menjaga jarak saat sudah sampai di tempat yang dituju. Tempat yang disediakan ternyata terdapat di halaman belakang taman hotel. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa dengan berbagai hidangan mewah yang tersaji. Ini terlalu berlebihan. Sayna tidak pernah mengkhayalkan, setelah menikah akan mendapat hal seindah ini. Persiapannya terlihat romantis, tapi tidak demikian karena mereka masih terasa asing untuk saat ini.
"Kenapa sebagus ini, Ez? Kita hanya makan siang, kan?" Sayna duduk di kursi yang sudah Ezra tarik untuknya. Pria dingin itu ternyata juga bisa berprilaku manis. Sekali lagi, tidak seburuk yang dia bayangkan.
"Nikmati dan makanlah! Setelah ini kita bersiap untuk pulang."
Bola mata Sayna hampir keluar dari kerangkanya, terkejut mendengar ucapan Ezra barusan. "Pulang?" Baru juga kemarin mereka berada di sana dan sekarang Ezra bilang mereka akan pulang. Bukankah waktunya sampai tiga hari ke depan? Mereka hanya akan menikmati masa pengantin baru di hotel. "Kenapa?"
Ezra duduk di hadapan Sayna, mengangkat tangan pada salah satu pelayan yang sudah sejak tadi berada di sana menyiapkan semua itu. "Saya banyak kerjaan. Di sini hanya membuang waktu, jadi nikmati makan siangnya, setelah itu kita pulang."
Banyak pertanyaan berkecamuk di kepala Sayna, ia hanya menurut akhirnya. Memangnya apa yang dia harapkan dari seorang pengantin pengganti? Berada di hotel pun juga percuma, karena mereka tidak akan melakukan hubungan seperti para pengantin baru pada umumnya. Memang lebih baik mereka pulang. Tapi ...
"Kita pulang ke mana?" Sebelum menyuap makan siangnya, Sayna masih sempat bertanya. Ezra nampak terganggu karena baru saja dia memasukkan suapan pertamanya.
"Ke rumah saya." Laki-laki baru menjawab setelah kunyahannya halus dan berhasil ditelan. "Kamu keberatan kalau pulang ke rumah saya?"
Sayna terdiam. Dia juga tidak tahu apa dia keberatan atau tidak. Memang sudah kewajibannya untuk mengikuti suami, tapi bagaimana keadaan rumah Ezra nanti? Sayna belum pernah ke sana sebelumnya. Dia takut tidak betah atau banyak berbagai kejadian menimpanya di rumah itu.
"Saya harap kamu setuju. Saya tidak mungkin pulang ke rumah lain, untuk saat ini."
Ya, Sayna pun paham. Tapi, bagaimana dia di sana nanti? Dan siapa saja keluarga Ezra, Sayna belum mengenalnya dengan baik. Dia takut sulit beradaptasi.
Tuhan ... ternyata menikah dengan orang asing terasa serumit ini.
***
Seperti perkataan Ezra tadi siang, mereka bersiap untuk pulang. Pulang ke rumah Ezra yang katanya hanya ditempati oleh ibu dan adiknya. Itu yang Sayna tahu sejauh ini. Laki-laki itu memang minim dalam segala hal. Selain ekspresi yang tidak pernah menampilkan raut apa pun, ucapannya juga selalu singkat. Sayna yang biasanya petakilan pun jadi ikutan irit bicara, jika sedang berhadapan dengannya.
"Kakak!" Gadis remaja yang tadi pagi menggodanya, kini menyambut riang di depan pintu utama. Tangannya terentang luas sambil tersenyum lebar. "Welcome to my home, Sister!"
Sayna hanya menanggapinya dengan senyuman canggung. Ia memperhatikan rumah Ezra dengan seksama. Rumahnya sangat besar dan terlihat modern. Sayna terus melafalkan doa dalam hati, semoga ia bisa betah di rumah barunya.
"Lho, kok udah pulang?" Melia muncul di balik pintu, nampak bingung melihat anak dan menantunya yang baru turun dari mobil.
Senyuman Sayna dipaksakan untuk terlihat ramah, karena mau dikatakan bagaimanapun, Melia sekarang adalah mertuanya yang harus dia hormati.
"Ezra?" Wanita paruh baya itu menuntut penjelasan dari putra sulungnya.
Ezra hanya menanggapi dengan gumaman, melengos ke belakang mobil untuk mengambil koper-koper mereka dari dalam bagasi.
"Ada kejadian apa sampai kamu pulang lebih dulu dari jadwal, Zra?" Melia tidak menyerah juga. "Harusnya kan kalian menghabiskan waktu di hotel saat ini. Honeymoon, gitu."
"Ma ...." Ezra nampak tidak suka dengan ucapan ibunya. "Aku banyak kerjaan, gak bisa menghabiskan waktu buat dibuang-buang cuma diam di hotel. Aku banyak urusan, Ma."
"Lho, kan bukan cuma diam. Kalian juga punya misi yang harus dijalankan. Itu juga pekerjaan, lho, Zra. Siapa tahu mama cepat dapat cucu, kan?"
Ezra menghela napas kasar. Tidak mempedulikan lagi ocehan ibunya dan malah menarik tangan Sayna untuk masuk ke dalam rumah. Koper-koper mereka sudah diurus oleh pekerja yang Ezra panggil. Sedangkan Melia dan Queena mengikutinya dari belakang, terdengar berbisik-bisik sambil sesekali terkikik.
Sayna juga tahu apa yang mereka tertawakan. Mereka tidak tahu saja jika jantungnya kini berdegub sangat kencang seolah ingin melompat dari rongga dada. Bisa-bisanya Ezra menggamit tangan Sayna tanpa pemberitahuan dan itu dilakukan di hadapan orang lain. Laki-laki itu memang susah ditebak bagaimana aslinya.
"Aku ingin istirahat, jangan diganggu dulu, ya. Nanti jam makan malam, baru aku turun."
Queena mengacungkan kedua jempolnya ke arah Ezra sambil memberikan cengiran lebar. "Siap, Bos! Lanjutkan bersenang-senangnya. Kami paham kok, apa yang kalian butuhkan."
Melia di belakangnya ikut tertawa menggoda. Dan Sayna? Jangan ditanya bagaimana keadaannya saat ini. Dia hanya ingin menenggelamkan diri di danau toba dan enggan untuk muncul ke permukaan lagi. Sudah teramat malu dan pipinya terasa sangat panas dirasakan.
"Semoga segera hadir kabar baik, ya, Zra! Mama dukung kalian!"
"Jangan hiraukan keberadaan kami! Lanjutkan saja mantap-mantapnya!"
Samar-samar Sayna masih bisa mendengar teriakan dua perempuan itu. Ezra terlihat tenang seperti biasa, seolah tidak terusik. Dia juga tidak melepaskan tangan Sayna sama sekali sampai ia dibawa ke sebuah kamar yang pintunya saja sangat besar dan mewah. Di dalam ruangan itu penampakkannya juga tidak kalah mewah. Seorang Ezra Davendra sungguh luar biasa. Beruntung sekali Sayna bisa mendapatkan pengganti yang berkuasa dan kaya raya sepertinya. Meskipun, jika mengingat kejadian sebelum pernikahan, ia nampak bagai wanita paling mengenaskan di dunia.
